Mongabay.co.id

Berbenah Petani Swadaya, Desa Mandiri dan Maju di Kalbar Tak Ada Perusahaan Sawit

Sawit, komoditas dengan kuasa terbesar korporasi, menguasai pasar menggantikan kelapa. Saatnya, kembalikan masa kejayaan kelapa. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat, sawit disebut-sebut sebagai komoditas andalan, setelah era keemasan industri kayu berlalu. Klaim industri sawit menumbuhkan pusat-pusat ekonomi di perdesaan pun biasa muncul. Pendapat berbeda dari Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, yang menyatakan, kebun sawit di Kalbar tak berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat di perkebunan sawit. Ia juga tak masuk dalam pendapatan asli daerah.

“Kalbar penghasil kedua CPO (minyak sawit mentah/crude palm oil) terbesar di Indonesia. Namun, tak sedikitpun hasil dari CPO masuk dalam distribusi APBD Kalbar,” kata Midji, panggilan akrabnya, di Borneo Forum, beberapa waktu lalu. Acara ini, agenda tahunan Gabungan Produsen Sawit Indonesia.

Ucapan Midji antara lain terbukti dari masih banyak desa-desa dengan status tertinggal di Kalbar, yang berada di sekitar perkebunan sawit.

Perkebunan sawit di Kalbar begitu luas. Pada 2004-2010 saja, tercatat lebih 4,9 juta hektar lahan, 50,91% dikuasai 326 perkebunan sawit.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalimantan Barat (2011), pertambahan lahan sawit dari 2000- 2012, rata –rata naik sebanyak 107.342 hektar per tahun.

Isu kemiskinan desa di sekitar perkebunan sawit masih jadi masalah mendasar, termasuk soal kesejahteraan petani sawit rakyat. Di Kalbar, menurut angka sementara keluaran BPS 2017, petani sawit ada 128.251 keluarga.

Petani sawit menghadapi berbagai masalah, seperti kebun dalam kawasan hutan, legalitas lahan, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga anjlok, perbedaan harga petani mandiri dan plasma.

Sonny Mumbunan, periset Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia, mengatakan, berbagai masalah petani sawit mandiri itu antara lain, solidaritas pekebun rendah, kekurangan modal, ketiadaan dana bank, pengurusan sertifikasi RSPO/ISPO mahal, mengurus legalitas lahan, pembukaan lahan sawit, kebakaran lahan dan kesulitan menjual tandan buah segar (TBS).

“Paling mendasar, pupuk, kekeringan panjang, dan fluktuasi harga TBS,” katanya.

Sonny riset terhadap petani sawit mandiri pada 2016 melibatkan 1.350 pekebun di 96 desa yang tersebar di lima kabupaten di Riau dan Sumatera Selatan. Hasilnya, pekebun kecil sawit masih memandang ekstensifikasi atau perluasan lahan sebagai cara utama meningkatkan produksi dan sawit merupakan komoditas yang tak mudah tergantikan.

Sebanyak 69% pekebun kecil sawit tak bersedia menerima kompensasi untuk tak membuka lahan baru, termasuk membuka hutan. Sisanya, 31% menerima kompensasi tak membuka lahan baru, termasuk tak membuka hutan dengan rata-rata mengharapkan kompensasi Rp116 juta per hektar.

 

Tampak hamparan lahan bekar dibuka dalam konsesi PT Kusuma Alam Sari, di Kubu Raya, Kalbar. Foto: Aseanty Pahlevi

 

Sekitar 85% petani sawit tak bersedia beralih profesi, sisanya, 15% bersedia menerima kompensasi dan beralih pekerjaan dari sawit ke komoditas atau pekerjaan lain dengan kompensasi rata-rata Rp234 juta per hektar.

Di Indonesia, kata Sonny, peran petani sawit skala kecil penting karena kelompok ini mengelola sekitar 42% kebun sawit.

Siapa petani sawit skala kecil ini? Dari kajian Sonny, dia mengusulkan petani kecil itu antara dua hingga delapan hektar.

Satu sisi, sawit dengan tata kelola buruk masih kuat, tampak pada temuan empirik tentang keinginan tinggi petani sawit kecil membuka lahan dan hutan, serta ketergantungan pada sawit tinggi sebagai mata pencaharian utama.

Kalau praktik perkebunan baik bisa terimplementasi, pekebun diyakini tak akan membuka lahan baru dalam meningkatkan produksi. Untuk itu, katanya, perlu ada kebijakan pengembangan insentif dan inovasi yang menguntungkan banyak pihak, hingga mendorong petani kecil menuju praktik-praktik sawit berkelanjutan.

Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, sependapat, petani mandiri perlu mendapatkan perhatian, salah satu soal pembenahan tata kelola. “Kalau mereka sudah merasakan manfaat dan keuntungan, pasti tertarik,” katanya.

Untuk itu pula, Kubu Raya, akan prioritas memperbaiki tata kelola sawit mandiri dan menyetop izin-izin kepada perusahaan skala besar.

Dari sisi kebijakan, Pemerintah Kubu raya membuat terobosan untuk memudahkan petani memasarkan hasil ke pabrik kelapa sawit (PKS) yang bersertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). “Kita juga membantu, petani dapat mengajukan kredit ke perbankan,” katanya.

Kubu Raya juga jadikan prioritas Musrenbang Desa yang belum terakomodir program pembangunan menjadi sasaran tanggung jawab sosial perusahaan. Termasuk, katanya, meningkatkan inovasi atau integrasi budidaya sawit dengan ternak, untuk menambah nilai ekonomi.

Saat ini, katanya, Kubu Raya mulai menyusun peta jalan untuk rencana pertumbuhan hijau (green growth plan) kemitraan bersama organisasi non pemerintah dan lembaga donor.

Menurut Muda, Kubu Raya mempunyai pekerjaan rumah cukup pelik yakni, menangani masalah konflik antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit.

Berdasarkan data Lingkaran Advokasi dan Riset (Lingkar) Borneo, Kubu Raya menempati urutan kedua wilayah rawan konflik perkebunan sawit. Konflik-konflik ini berpotensi besar menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang jadi satu alasan mendasar protes produk-produk sawit Indonesia di dunia internasional. Sebagian besar konflik dalam masalah kemitraan, banyak kasus menunjukkan ketidakjelasan implementasi plasma perkebunan untuk masyarakat.

Untuk skala provinsi, gubernur meminta perusahaan dan para pihak perkelapasawitan lebih intensif memperhatikan masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit agar lebih sejahtera.

“Saya berharap desa yang sangat tertinggal di sekitar perkebunan sawit dapat berubah, minimal jadi desa maju. Tidak juga mengharuskan perusahaan sawit mengikuti 50 indikator desa mandiri. Setidaknya, bisa bersinergi dengan pemerintah desa, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk menyelesaikan itu,” katanya.

 

Konflik warga dan perusahaan. Aksi warga mengambil alih alat berat perusahaan dan merusak jembatan pembatas pada 2012. Foto: dokumen Serikat tani Kubu Raya

 

Desa mandiri dan desa maju di Kalbar, tak ada perusahaan sawit

Dari 2031 desa se-Kalbar, hanya satu desa mandiri yaitu terletak di Desa Sutra, Kabupaten Kayong Utara. “Di situ tidak ada perusahaan sawit, mereka bisa jadi desa mandiri. Ada 53 desa maju juga tidak ada sawit. Sisanya, adalah desa tertinggal. “Mirisnya, di situ, ada perkebunan sawit itu masalah.”

Dia mengharapkan, peran asosiasi perkebunan sawit lebih maksimal dalam mensejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan. Asosiasi harus mengingatkan kepada perusahaan, terutama corporate social responsibility (CSR) untuk kepentingan masyarakat. Bukan hanya kewajiban sebagai perusahaan perkebunan, katanya, asosiasi harus lebih mengetahui kebutuhan masyarakat dan desa.

Midji berkesimpulan, selama ini perkebunan sawit tidak memberikan perubahan signifikan terhadap desa-desa di wilayah konsesi perusahaan. Kalau sawit berkontribusi bagi masyaraka, sulit pihak lain melakukan ‘kampanye hitam’.

Selain sawit tak berkontribusi dalam pendapatan daerah, katanya, setiap tahun Kalbar harus mengeluarkan ratusan miliar untuk perbaikan infrastuktur di daerah karena kendaraan pengangkut sawit yang sarat muatan merusak jalan.

Mengacu pada UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, katanya, memungkinkan Kalbar dapat dana bagi hasil.

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari APBN untuk daerah berdasarkan persentase tertentu guna mendanai kebutuhan daerah. Tujuan DBH, memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Pembagian DBH, berdasarkan prinsip by origin alias berdasarkan prinsip based on actual revenue.

“Ini yang akan kami perjuangkan. Kalau dana bagi hasil bisa terealisasi, pemanfaatan bisa kembali kepada petani sawit. Ini bentuk pemberdayaan dan peningkatan kinerja lembaga ekonomi desa terutama sentra sawit di Kalbar,” kata Midji.

 

Keterangan foto utama: Petani sawit swadaya termasuk di Kalimantan Barat, menghadapi berbagai masalah, seperti,  kebun dalam kawasan hutan, legalitas lahan, soal bibit, produktivitas, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga anjlok, perbedaan harga petani mandiri dan plasma dan lain-lain. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version