Mongabay.co.id

Jika Bengkulu Diterjang Tsunami, Begini Pemodelan Tinggi Gelombang dan Waktu Evakuasi [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya: Masih Membekas, Gempa Bengkulu 12 Tahun Lalu [Bagian 1]

**

 

Tsunami bisa terjadi kapan saja di pantai barat Sumatera. Wilayah ini rentan karena berada di Lempengan Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Jika pergerakan kedua lempengan ini terjadi, akan membangkitkan potensi tsunami.

Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, Sumatera memiliki sejumlah megathrust [gerak sesar naik] yang berjejer dari Provinsi Aceh hingga Lampung. Ada segmen Aceh-Andaman, Nias-Simelue, Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai-Pagai, Mentawai, Batu-Mentawai Siberut, Enggano, dan Sunda Strait [SS].

Peneliti yang fokus mengkaji gempa di pantai barat Sumatera adalah Dwi Pujiastuti dan Rahmad Aperus dari Universitas Andalas Padang, serta Rachmad Billyanto dari BMKG Padang Panjang.

Ketiga peneliti ini menganalisis pemodelan tinggi dan waktu tempuh gelombang tsunami di pesisir Bengkulu, menggunakan data historis gempa Bengkulu, 12 September 2007.

Gempa 12 tahun lalu itu memiliki getaran magnitudo 8,4. Lokasinya di barat laut Lais, Bengkulu, sejauh 105 kilometer, kedalaman 10 kilometer di bawah laut.

Pare peneliti melakukan simulasi tinggi dan waktu tempuh gelombang tsunami menggunakan Software L-2008 and Travel Time Tsunami [TTT]. Dengan demikian, jika terjadi tsunami di Bengkulu, persiapan menghadapi bencana sudah ada dan korban jiwa bisa diminimalisir.

“Fokus pengamatan di Kabupaten Muko-Muko, Ipuh, Seblat, Ketahun, Lais, Kota Bengkulu, Seluma, Mana, Kaur dan Pulau Enggano,” tulis Dwi Pujiastuti dalam Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya 2016. Laporan itu berjudul “Analisis Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami di Pesisir Pantai Bengkulu dengan Menggunakan Data Historis Gempa Bengkulu 12 September 2007.”

 

Bengkulu harus siap menghadapi terjadinya bencana tsunami. Foto: Rhett Butler/Mongabay Indonesia

 

Alasan 10 wilayah diteliti karena berada paling depan di pesisir Bengkulu. Wilayah itu juga berhadapan langsung dengan segmen Mentawai dan segmen Enggano yang sangat aktif kegempaannya.

Bahkan, segmen Mentawai kini berada di periode waktu perulangan sekitar 175 tahunan. Selain itu, Bengkulu pernah diterjang tsunami pada 1833.

Untuk mengetahui ketinggian dan kecepatan gelombang air laut, Dwi Pujiastuti menjelaskan langkah pertama yang mereka ambil, yakni membuat peta kedalaman di bawah air [batimetri] perairan Bengkulu. Dapat disimpulkan, kedalaman bawah air Bengkulu tidak sama. Terdangkal di utara, sedangkan barat lebih dalam. Tercatat, kedalaman laut Bengkulu berkisar 1.296 meter hingga 6.484 meter.

Selanjutnya, mereka meneliti perubahan bentuk akibat gaya yang terjadi pada skala satu dimensi [deformasi vertikal] berdasarkan gempa Bengkulu 2007. Hasilnya, didapat kejelasan bahwa kekuatan magnitudo 8.4 [sesuai kekuatan gempa 2007], akan mampu membangkitkan gelombang tsunami dengan luasan sesar 30.478,95 kilometer persegi dan jenis sesar naik ke zona subduksi.

Tinggi gelombang tsunami [run up] pun diketahui, maksimal 8,05 meter di sekitar episenter gempa bumi.

Mereka juga meneliti waktu penjalaran dan tinggi gelombang hingga ke daratan, titik pengamatan. Didapatkan data, wilayah paling cepat terdampak dari 10 titik yang diteliti adalah Pulau Enggano, yaitu 27 menit 46 detik setelah kejadian gempa.

Disusul Kota Bengkulu [32 menit 52 detik], Seluma [33 menit 58 detik], Mana [35 menit 8 detik], Seblat [36 menit 56 detik], Ketahun [37 menit 22 detik], Lais [38 menit 20 detik], Ipuh [39 menit 7 detik], Mukomuko [47 menit 39 detik], dan Kaur [48 menit 9 detik].

Berdasarkan pemodelan, Kota Bengkulu akan dihantam gelombang tertinggi dari seluruh lokasi yang diteliti. Gelombang setinggi 2,07 meter dengan perkiraan gempa magnitudo 8; gelombang setinggi 4,5 meter untuk skenario magnitudo 8,5; serta 9,83 meter bila diguncang magnitudo 9.

 

Hutan mangrove yang sangat penting untuk wilayah pesisir. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Tata ruang berbasis risiko tsunami

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika], Daryono mengatakan, sudah saatnya penataan ruang berbasis risiko tsunami diutamakan di wilayah rawan bencana. Salah satu hal penting adalah membuat tata ruang pantai yang aman tsunami. Caranya, meminimalisir pembangunan permukiman sekiar pantai.

“Jangan bangun permukiman dan tempat usaha yang menempel pantai,” terangnya, Kamis [18/9/2019].

Masalahnya saat ini, permukiman penduduk dan fasilitas umum semakin padat di sepanjang pantai, mulai pusat belanja yang menjalar di Pantai Panjang, hingga bangunan PLTU di Pantai Teluk Sepang. Pemukiman di sepanjang pantai, karena kehidupan warga kebanyakan nelayan.

Bila kondisinya seperti ini, masyarakat harus paham konsep evakuasi mandiri. Caranya, menjadikan gempa kuat di pantai sebagai peringatan dini tsunami. “Bisa dengan konsep 20-20-20,” terangnya.

Konsep itu adalah bila merasakan 20 detik gempa, minimal 20 menit untuk evakuasi diri, ke daerah tinggi minimal 20 meter. “Catatannya, di pantai sudah tersedia informasi ketinggian, jalur evakuasi, dan titik kumpul yang aman,” lanjutnya.

Selain itu, di pantai bisa direalisasikan penggunaan vegetasi sebagai penyangga terjangan gelombang tsunami. Misalnya, hutan mangrove atau kelapa. “Tapi bila mangrove tidak rapat ya sama saja, lemah, tidak bisa menahan laju gelombang. Makanya harus padat,” kata dia.

 

Mangrove yang penting, dapat menahan laju ombak dan pencegah abrasi pantai. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Terkait vegetasi sebagai pejangga terjangan tsunami, Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eddy Z Gaffar dalam jurnal Pemetaan dan Kajian Bencana Daerah Kota Bengkulu 2007 menuliskan perlunya vegetasi sebagai penyangga sekaligus pelindung pantai.

Menurut dia, hutan mangrove bisa digunakan sebagai pelindung karena kekuatan akar-akarnya menahan gelombang air. “Pesisir Bengkulu yang relatif memiliki kawasan kosong selain permukiman di pesisir, memiliki peluang besar untuk mengurangi hantaman tsunami. Vegetasi mangrove sangat baik sebagai pemecah gelombang ombak jika terjadi tsunami,” jelas Eddy.

Bengkulu harus waspada tsunami. “Sadar diri hidup di wilayah rawan bencana bisa jadi solusi. Mengenal dan menjaga potensi alam merupakan mitigasi bencana terbaik,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version