Mongabay.co.id

Wawancara Eksklusif Bima Arya: Terlalu Lama Kita Meninggalkan Ciliwung

 

 

Ciliwung merupakan satu dari 14 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Selain Ciliwung, ada Sungai Asahan Toba, Siak, Musi, Sekampung, Cisadane, Citarum, Serayu, Solo, Brantas, Kapuas, Moyo, Limboto, Saddang, dan Jeneberang.

Ciliwung membentang dari hulu di Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di pantai utara Jakarta. Panjangnya 120 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai [DAS] 387 kilometer persegi.

Sungai bersejarah ini pun dibagi tiga sub DAS. Ciliwung hulu seluas 15.251 hektar [di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor], Ciliwung tengah seluas 16.706 hektar [di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Bekasi], serta Ciliwung hilir seluas 6.295 hektar [di DKI Jakarta].

Nama Ciliwung saat ini, selalu disebut sebagai biang banjir yang terjadi di Jakarta, ketimbang sumber penghidupan masyarakat dan habitat berbagai jenis ikan. Ciliwung pun diidentikkan sebagai sungai bertabur sampah dan tempat pembuangan limbah, tak terkecuali kotoran manusia.

Apakah kondisi Ciliwung tetap dibiarkan kumuh? Mongabay Indonesia secara eksklusif mewawancarai Wali Kota Bogor, Bima Arya, terkait penataan Sungai Ciliwung beserta harapannya, di Balai Kota Bogor, Jumat [20 September 2019].

 

Terlalu lama Ciliwung diabaikan. Penataan dan perbaikan harus dilakukan agar Ciliwung menjadi sumber air bersih dan penghidupan masyarakat. Foto: Dok. Pemerintah Kota Bogor

 

Mongabay: Kabar gembira apa yang bisa kita sampaikan kepada masyarakat akan kondisi Ciliwing hari ini?

Bima Arya: Saya harus mengakui, sudah sangat lama kita mengabaikan penataan Ciliwung. Ini disebabkan beberapa hal: tidak ada program prioritas, faktor pendanaan, masalah kepedulian, dan lainnya.

Dalam dua tahun terakhir, kita terus memperbaiki Ciliwung. Ada komitmen politik yang diturunkan dalam bentuk konsep, pendanaan, alokasi anggaran dinas, dan fokus kegiatan. Ini kabar baik Ciliwung sekarang yang bisa saya katakan.

Namun tentunya ini bukan hal mudah, kenapa? Kita harus memastikan, konsep yang disiapkan itu bisa dilaksanakan setiap tahun.

 

 

 

 

Mongabay: Terkait konsep penataan Ciliwung, bisa dijelaskan lebih spesifik? Misal, mengembalikan fungsi DAS Ciliwung?

Bima Arya: Sebagai gambaran, sudah sangat lama sekali masyarakat kita, di kota-kota besar Indonesia, menjadikan sungai sebagai pekarangan belakang rumah. Sebuah kultur yang tertanam kuat.

Untuk mengubah itu semua, situasi ideal harus dijalankan, yaitu menjadikan sungai sebagai pekarangan depan, merubah pola yang ada. Tentu saja ini tidak mudah. Meski begitu, secara bertahan kami melakukannya.

Pertama, kami bergerak memetakan lokasi dibantu tim lapangan, Komunitas Peduli Ciliwung, dan selanjutnya dibentuk Satgas Naturalisasi Ciliwung. Pemetaan bertujuan mengetahui masalah-masalah apa saja yang harus ditangani. Titik-titik mana yang harus dilakukan intervensi fisiknya, yang perlu segera dibangun infrastrukturnya. Terutama, pembuatan septic tank dan membangun manajemen pengelolaan sampah.

 

Sukasari merupakan wilayah yang dialiri Sungai Ciliwung. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kedua, membangun kultur masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi. Targetnya ada tiga: [1]. Peningkatan kualitas hidup. Kita tidak mau di pusat Kota Bogor, yang dekat Istana Presiden dan Kantor Wali Kota Bogor, ada warga yang hidupnya rentan terhadap penyakit. Air harus layak dan lingkungan harus sehat.

[2]. Kita harus bisa mengelola alam agar banjir terkendali, apakah banjir yang terjadi di Kota Bogor atau daerah tetangga akibat belum maksimalnya pengelolaan sampah. [3]. Menjadikan Ciliwung sebagai wisata air dan Kampung Tematik terintegrasi. Ada potensi besar yang harus diwujudkan.

Bila Ciliwung bersih, rapi, dibangun titik-titik destinasi wisata, dan UMKM [Usaha Mikro Kecil dan Menangah] berjalan, maka kehidupan warga bisa lebih sejahtera.

 

Penataan Sungai Ciliwung di wilayah Kelurahan Sukasari menjadi prioritas. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Perbaikan ekologi Sungai Ciliwung, apakah bisa dilakukan?

Bima Arya: Ini kembali pada fokus pemetaan yang telah dilakukan. Ada wilayah-wilayah yang setelah dilihat ternyata memang aset Pemerintah Kota Bogor, untuk itu kita ikhtiarkan dikembalikan pada fungsinya semula. Apakah sebagai ruang terbuka hijau atau fasilitas umum untuk warga. Dan bila ada lahan yang dikuasai pihak-pihak tertentu dengan kepemilikan tidak sesuai, akan ditertibkan.

Fakta di lapangan, saya juga melihat ada kegiatan ekonomi berujung limbah domestik, yang tentunya harus ditertibkan juga. Selain itu, ada juga PKL liar, yang sampahnya dibuang menutupi aliran sungai, kondisinya sudah menahun.

Terkait itu semua, selain masalah anggaran, penataan Ciliwung juga harus bersinergi denga otoritas lain seperti Kementerian PUPR dan Provinsi DKI Jakarta.

 

Sungai Ciliwung di wilayah Sempur yang terlihat bersih. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Bagaimana mengedukasi masyarakat untuk menjaga lingkungan, terutama tidak buang sampah ke Ciliwung?

Bima Arya: Edukasi dilakukan di berbagai jalur. Saya sering sampaikan kepada dinas dan kelurahan, jangan hanya mengandalkan kegiatan resmi yaitu mengundang masyarakat datang. Tapi sebaliknya, pihak dinas, kelurahan, dan kepala seksi harus turun langsung ke warga, berdialog membangun cara pandang baru. Kunjungi masyarakat dan bangun simpul-simpul gerakan peduli Ciliwung. Kita tidak cukup mengandalkan Komunitas Peduli Ciliwung.

Kami juga membuat kegiatan-kegiatan yang dianggarkan dalam APBD Kota Bogor. Seperti, lomba kebersihan tingkat RT yang semakin banyak kategorinya. Tahun ini, bukan hanya RT terbersih yang dipilih tapi juga wilayah yang memiliki konsep Kampung Tematik. Hadiah yang diberikan ke masyarakat pun mendukung penataan Ciliwung.

Targetnya membangun militansi pengelolaan air dan lingkungan dari warga sendiri, dari paling bawah. Jadi, bukan hanya Pemerintah Kota Bogor yang membuat gagasan, masyarakat juga dirangsang memberikan ide kreatif. Membangun komunikasi dua arah.

 

Sampah plastik masih terlihat di sekitar Katulampa. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Penataan ruang terbuka hijau yang aman untuk anak-anak dan keluarga, sudah diprioritaskan?

Bima Arya: Hal penting yang harus saya sampaikan adalah, kadang wilayah tersebut bukan kewenangan Kota Bogor. Misal, kami ingin menata wilayah yang rapi, tapi harus mendapat rekomendasi teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai [BBWS] Ciliwung Cisadane, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [Kementerian PUPR].

Tidak masalah, kami selalu komunikasikan agar terbangun kerja sama yang baik. Meski begitu, kami berharap birokrasi ini ada akselerasi. Seringkali setelah diajukan, prosesnya lama, atau belum ada jawaban. Hal-hal seperti ini yang harus diselesaikan agar penataan dan pengelolaan Ciliwung berjalan cepat dan efektif.

 

Kondisi Sungai Cikapancilan awal September 2019 yang viral karena dipenuhi sampah. Pembersihan telah dilakukan setelah temuan tersebut. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Banjir Jakarta selalu dikaitkan limpasan air Ciliwung, air kiriman dari Bogor. Bagaimana Anda melihat persoalan ini?

Bima Arya: Betul, saya pikir memang benar adanya. Apa yang kita lakukan di Bogor menetukan apa yang terjadi di daerah lain, Depok dan Jakarta. Sering saya sampaikan, ikhtiar kita di sini adalah menjaga air tidak semua mengalir ke Jakarta. Kita tahan, masukkan ke kolam retensi, sumur resapan, lubang biopori, dan sampahnya dikurangi. Itu porsinya.

Apa yang bisa dilakukan, kita kerjakan sejauh kewenangan dan otoritas, tentunya.

Bila sampah berkurang dari Bogor, dan airnya bisa diresapkan, tentu warga Jakarta juga yang menerima manfaat. Saya juga ingin, warga Jakarta memberikan perhatian yang sama pada persoalan Ciliwung.

 

Sungai CIkapancilan yang merupakan anak Sungai CIliwung terus dibersihkan. Sungai bukan tempat sampah tapi sumber air bersih dan kehidupan. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Bagaimana Anda melibatkan pihak lain untuk menata Ciliwung, misal Provinsi Jakarta, Kementerian PUPR, juga swasta?

Bima Arya: Paling penting adalah perencanaan. Rencana itu saya sampaikan ke Gubernur Jakarta, apa saja kebutuhan yang diperlukan. Gubernur Jakarta bersama stafnya memutuskan bantuan apa yang bisa diberikan.

Sekarang, kita dibantu membangun kolam retensi di Cibuluh, Bogor. Tapi kita ingin juga, Jakarta dengan APBD yang memungkinkan, membantu hal lain. Misal, memperbanyak kolam retensi yang ada, membuat sumur resapan, pengelolaan sampah, juga membuat IPAL [Instalasi Pengelolaan Air Limbah].

Kami sangat senang Jakarta ikut menata Ciliwung, bukan hanya Kementerian PUPR, karena memang banyak kebutuhannya. Saat ini, dari Kementerian PUPR ada program penataan Ciliwung, mulai Kelurahan Sempur hingga Pulo Geulis, Kelurahan Babakan Pasar, Bogor. Ini meliputi penataan infrastruktur.

Untuk pelibatan swasta, ada juga bantuan CSR, tapi tidak banyak. Beberapa pelaku usaha juga ikut dengan jumlah belum maksimal.

 

Sungai Ciliwung selain sebagai sumber air bersih juga tempat hidupnya berbagai jenis ikan. Foto: Dok. Pemerintah Kota Bogor

 

Pastinya, penataan Ciliwing tidak cukup dengan aksi simbolik atau seremoni. Kita harus terus bergerak. Dana alokasi umum untuk 13 kelurahan di Kota Bogor yang fokus penataan Ciliwung terus dianggarkan.

Lebih jauh, masalah lingkungan Jabodetabek memang harus ditangani efektif, karena melibatkan beberapa wilayah. Contoh, awal September sempat viral sampah di Sungai Cipakancilan, anak Sungai Ciliwung, perbatasan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Setelah dilakukan koordinasi, pembersihan dilakukan.

Artinya, titik-titik sampah seperti ini memang banyak, kami tidak bisa bekerja sendiri.

 

Kelurahan Bantar Jati yang terus menata Sungai Cibagolo, anak Sungai Ciliwung, bersama warga setempat. Sebelumnya, aliran sungai ini dipenuhi sampah dan keramba. Foto: Dok. Pemerintah Kota Bogor

 

 

Mongabay: Komitmen Anda untuk Ciliwung, termasuk pengerahan staf kerja demi penataan Ciliwung lebih baik?

Bima Arya: Saya sampaikan kepada seluruh staf, kita harus berpikir strategis dan substantif. Jangan hanya berperan, istilahnya sebagai pemadam kebakaran, bersih-bersih sampah terus. Harus betul-betul ada infrastruktur yang dibangun, bertahap.

Untuk penegakan hukum, saat ini tidak bisa dilakukan karena belum ada sistem terbangun.

Saya berharap, ketika selesai menjabat Wali Kota Bogor, siapa saja yang menggantikan, sistem penataan Ciliwung berjalan lancar. Infrastruktur siap sedia.

 

Ciliwung sebagai sungai bersih terwujud, kualitas hidup warga meningkat, dan banjir bisa dicegah adalah harapan kita bersama. Foto: Dok. Pemerintah Kota Bogor

 

Tahun 2024, Ciliwung yang aliran airnya dilalui 13 kelurahan jauh lebih baik dan tertata. Kelurahan itu adalah Sindangrasa, Katulampa, Tajur, Baranangsiang, Sukasari, Babakan Pasar, Sempur, Bantarjati, Tanah Sareal, Cibuluh, Kedung Badak, Kedung Halang, dan Sukaresmi.

Ciliwung juga steril dari kotoran manusia [tidak lagi dijadikan lokasi buang air besar]. Kualitas airnya bagus. Tidak ada lagi timbunan sampah. Untuk Kampung Tematik yang telah berjalan, gerakannya lebih menggema.

Saya tidak ingin terjebak dengan nomenklatur, normalisasi atau naturalisasi Ciliwung. Intinya, Ciliwung sebagai sungai bersih terwujud, kualitas hidup warga meningkat, dan banjir bisa dicegah.

Saya tidak pernah pesimis!

 

 

Exit mobile version