Mongabay.co.id

Memori Bencana Merapi di Museum Warga

Sepeda motor dan mobil yang terbakar terkena wedhus gembel jadi antara lain koleksi museum warga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Asap putih menyembul dari kepundan. Merapi tampak jelas di kejauhan. Bayu menepikan Jeep wisatanya di depan Museum Omahku Memoriku, di Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Jawa Tengah. Jarak ke puncak Merapi dari sini sekitar tujuh kilometer. Dua wisatawan yang dia bawa turun, menuju ke rumah yang dialihfungsikan jadi museum.

Sebenarnya, bangunan itu tak bisa disebut rumah, karena seluruh bagian terbuat dari kayu seperti atap, langit-langit, pintu dan jendela luluh lantak diterjang wedhus gembel pada erupsi Merapi 2010.

Wedhus gembel adalah sebutan warga Merapi untuk awan panas yang keluar dari kerongkongan Merapi. Suhu bisa mencapai 600 derajat Celcius saat tiba di permukiman. Di papan nama yang terletak dekat jalan masuk terpampang tulisan Galeri Merapi, Omahku Memoriku, Erupsi Merapi 2010.

Bayu sigap menjawab pertanyaan ketika mereka tertarik pada benda-benda yang dipamerkan di rumah itu. Ada peralatan dapur, alat elektronik, perkakas rumah tangga. Banyak yang sudah berubah bentuk. Hampir semua berwarna abu-abu pucat oleh pasir dan debu Merapi yang melekat.

Bayu dan dua tamu tiba di ruang tengah. Di hadapan mereka tergantung jam dinding yang sudah meleleh laksana lukisan surealis Salvador Dali. Ada tulisan The moment time of eruption, 5 November 2010.

“Jarum jam menunjuk pukul 12.15 menit. Itu saat erupsi menerjang rumah ini,” kata Bayu, kepada mereka.

Pada 20 September 2010, status Gunung Merapi ditingkatkan dari normal jadi waspada. Sebulan kemudian, pada 21 Oktober naik lagi jadi siaga. Kurang dari seminggu, pada 25 Oktober, status jadi awas.

Pada 26 Oktober, Merapi erupsi. Pertengahan November aktivitas Merapi mulai menurun, setelah pada 5 November awan panas menjangkau hingga 15 kilometer ke Kali Gendol.

Letusan Selasa, 26 Oktober, dari gunung berapi paling aktif di Indonesia itu disebut-sebut sebagai letusan terbesar dalam kurun satu abad. Data letusan besar sebelumnya tercatat Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTKG) pada 1930.

 

Jam dinding saksi bisu erupsi Merapi 2010. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Bukti erupsi

Museum mini Omahku Memoriku, menempati rumah milik Sarsuwadji, semasa hidup bekerja menjadi pegawai di Dinas Kesehatan Sleman. Dari catatan yang diperoleh di lokasi, yang dikumpulkan Ahmad Athoillah, seorang peneliti, menyebut, rumah ini adalah Krajan atau rumah pemukim awal.

Awalnya, ia berupa rumah sederhana dengan banyak tiang kayu. Setidaknya ada 16 tiang utama, dan 12 tiang beranda. Rumah menghadap ke selatan atau ke arah jalan, dan memunggungi merapi. Bentuk awalnya khas rumah Jawa yaitu Limasan bercorak Semar Pinondong. Sebagaimana warga Merapi lainnya yang beternak dan bertani, Sarsuwadji juga memelihara sapi. Ada dua kandang sapi dekat rumah ini.

Rumah yang jadi museum ini terbilang berada di pusat Dusun Petung. Dulu berdampingan dengan pendopo kelurahan. Sebelum erupsi kerap buat berbagai kegiatan warga, seperti karawitan, kethoprak, maupun wayang kulit. Juga sering untuk tempat pemungutan suara (TPS). Begitu juga prosesi budaya bersih-bersih sungai dan mata air, yaitu dandan kali atau memetri kali juga di sini.

Sekitar 300 meter, ke arah utara juga ada museum yang diinisiasi warga bernama Museum Sisa Hartaku. Barang yang ditampilkan antara lain peralatan makan, perkakas dapur, juga perabot rumah.

Banyak yang rusak, terbakar, atau meleleh karena diterjang wedhus gembel. Ada juga kerangka sapi, bukti keganasan erupsi Merapi kala itu. Museum Sisa Hartaku dirintis Sriyanto, pemilik rumah.

Dampak erupsi itu sebanyak 351 orang penduduk Dusun Petung tinggal di relokasi. Tanah tegalan nyaris tak bisa ditanami lagi karena tertutup batu dan pasir. Sekitar 65% dusun rusak.

Berdasar Peraturan Daerah Nomor 12/2010, Dusun Petung jadi hutan rakyat bebas hunian dan masuk kawasan rawan bencana III Merapi atau paling rentan bencana.

Sekitar tiga kilometer ke utara mendekati puncak, ada petilasan Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Rumah mantan juru kunci Merapi ini juga mengoleksi dan memamerkan aneka benda yang jadi saksi bisu keganasan erupsi Merapi 2010. Ada sisa gamelan, kerangka sepeda motor, mobil, dan foto-foto penyelamatan warga dari erupsi Merapi.

Ada pula foto-foto dampak letusan Merapi di Kinahrejo, berikut upaya evakuasi warga kala itu. Terdapat foto yang menyentuh berupa seorang ibu yang menyusui bayi dengan wajah penuh debu tengah dibimbing petugas untuk mengungsi.

Tak jauh dari bekas rumah Mbah Maridjan, Mursani, menantunya, membuka warung cinderamata. Asih, suami Mursani, atau anak ketiga kini menggantikan Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi. Udi, adik Mbah Maridjan, membuka warung jadah tempe, penganan khas Merapi, di petilasan Mbah Maridjan.

Pada erupsi Merapi 2010, Mbah Maridjan turut jadi korban. Belasan orang ditemukan tak bernyawa di sekitar rumah, antara lain relawan dan wartawan yang berusaha membujuknya untuk bersedia dievakuasi.

Marsono, kerabat Mbah Maridjan, selamat dari peristiwa itu karena bersama-sama Asih, turun meninggalkan Kinahrejo menuju Balai Desa Umbulharjo. Pada 26 Oktober 2010, awan panas menerjang Kinahrejo, selepas magrib.

“Saya kehilangan seorang anak, dan dua menantu,” katanya.

Dia kini tinggal di relokasi hunian tetap di Dusun Gondang, Umbulharjo.

 

Bagian dalam museum mini Omahku Memoriku. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Museum Gunung Merapi

Berjarak tujuh kilometer ke arah selatan, berdiri Museum Gunung Merapi, kini dikelola Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman. Sebelumnya, museum ini berada dalam kewenangan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Museum Merapi, salah satu museum tematik yang mengangkat tentang kegunungapian khusus Gunung Merapi. Di situ, kita bisa belajar karakteristik Merapi, mitigasi bencana, ilmu pengetahuan kegunungapian, kondisi sosial budaya masyarakat lereng Merapi, “ kata Ari Triyono, Kasubag Museum Merapi kepada Mongabay.

Museum yang buka tiap hari kecuali Senin ini, memajang koleksi dari badan geologi, Energi Sumber Daya Mineral, vulkanologi. Ditambah sumbangan warga di wilayah terkena erupsi Merapi.

Museum resmi buka 1 Oktober 2009, dan untuk umum 1 Juni 2010. Ia museum pertama khusus tentang Merapi. Meski ada museum juga berisi tentang Merapi, misal di Ketep, yaitu Museum Vulkanologi Ketep Pass, Magelang. Juga museum mini yang diinisasi warga terkait Merapi. Museum-museum ini tidak selengkap museum Merapi.

Menurut Ari, kementerian menawarkan ke pemerintah kabupaten untuk mengelola penuh dan mandiri. Pemkab Sleman lalu menangkap itu sebagai kesempatan bisa mengelola museum dua lantai ini, dengan pendanaan dari APBD Sleman.

“Keberadaan museum-museum itu saling melengkapi. Kami tergabung dalam forum komunikasi museum, termasuk Museum Merapi dan museum mini itu. Jadi, kita saling bersinergi, misal, dalam pameran kami bekerja sama, pameran bareng,” kata Ari.

Dengan rata-rata pengunjung tiap bulan 15.000-16.000 orang, museum Gunung Merapi jadi salah satu rujukan bagi mereka yang ingin mengetahui kegunungapian terutama Merapi.

“Pusat Bencana UGM memasang alat pemantau di sini. Bagian yang bisa digunakan juga untuk edukasi,” katanya.

Saat ini, museum belum meregister seluruh koleksi, baru inventarisasi barang. Aset gedung masih proses hibah.

Museum-museum ini masuk dalam keanggotaan Badan Musyawarah Museum (Barahmus) Yogyakarta. Hingga kini, anggota mencapai 38 museum, baik anggota tetap maupun rintisan seperti museum inisiasi warga.

Bambang Widodo, Ketua Barahmus Yogyakarta mendukung keberadaan museum warga di sekitar Merapi.

“Selama inipun sudah ada berbagai kerja sama yang melibatkan mereka dalam kegiatan pameran, workshop, pelatihan pemandu wisata dan sejarah, hingga pelatihan permuseuman,” tulisnya lewat pesan elektronik kepada Mongabay.

 

***

“Aku ora ngalahan, tur yo ora pengen dikalahke. Nanging mesti tekan janjine, mung nyuwun pengapuro nek ono seng ketabrak, keseret, kenter, kebanjiran lan klelep. Mergo ngalang-ngalangi dalan seng bakal tak lewati.”

Tulisan itu berarti, aku tidak selalu mengalah, pun tidak juga ingin dikalahkan. Namun pasti akan menepati janji, hanya ingin minta maaf jika ada yang tertabrak, terseret, terbawa arus, digulung banjir dan tenggelam. Karena menghalang-halangi jalan yang bakal kulewati.

 Begitu pesan Merapi tertera pada potongan tembok di Museum Mini Sisa Hartaku.

 

Keterangan foto utama:    Sepeda motor dan mobil yang terbakar terkena wedhus gembel jadi antara lain koleksi museum warga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Pengunjung mengambil gambar di ruang Museum Gunung Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version