- Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Sabajarin (Al-Furqon) punya aturan ketat dengan sampah plastik. Penghuni pondok dilarang pakai kemasan makanan atau minuman. Bahkan, kalau ada yang pakai kemasan, sampai disimpan dan mereka bawa pulang.
- Kiai M Faizi, inilah pengasuh pondok Al-Furqan, juga sastrawan yang ketat tak gunakan plastik sekali pakai. Tak pakai plastik bukan hanya buat warga atau santri, tetapi baginya sendiri. Bahkan, sang kiai sampai tirakat anti plastik.
- Pemberian pemahaman kepada warga, kadang Kiai M Faizi sampaikan kala ada pertemuan ada acara-acara keagamaan.
- Sang kiai juga penulis buku Beauty in the Bis ini berusaha mendekatkan isu sampah pada kehidupan sehari-hari warga. Bahkan, mulai dari diri sendiri, di rumah, kehidupan sehari-hari itu bisa berkontribusi kurangi sampah plastik.
Tampak mobil Mitsubishi T-120 terparkir di halaman pondok pesantren itu. Halaman bersih, ada tiga pohon rindang di bagian depan. Tak ada satupun sampah plastik terlihat di kompleks pondok itu. An-Nuqayah Daerah Sabajarin (Al-Furqan), itulah nama pondok pesantren di Sumenep, Jawa Timur ini. Pondok ini bisa dikatakan terbebas dari sampah plastik. Sang pengasuh pondok, anti sampah plastik.
Adalah Kiai M Faizi, selaku pengasuh pondok. Selain kiai, dia juga dikenal sebagai sastrawan nan sederhana dan satire.
Kesatiran dia bukan hanya lewat tulisan, baik puisi atau esai, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kerap kali menggunakan bahasa-bahasa satire dalam “mendakwahkan” sesuatu, salah satu soal kepedulian terhadap lingkungan.
Dia mempunyai gerakan ‘bawah tanah’ dari bilik pesantren dengan menanamkan kesadaran kepedulian lingkungan.
Kampanye M Faizi, tidak bersifat verbal, lebih ke gerakan. Kampanye bawah tanah di sini, dia menyampaikan secara halus agar mengurangi penggunaan plastik, misal saat kumpulan dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), biasa menyuguhkan makanan dan minuman. Dengan halus, dia bilang ke tuan rumah supaya nanti pakai gelas saat menyuguhkan minuman, bukan minuman kemasan, supaya tak aburombu (membuat sampah).
“Lessoh kuleh se aburombueh e kaentoh. Soalla dha’ nikah ghi, plastik nika malarat se ancorah… Empean cobak ka gel-teggal, tekka’a sapolo taon mun esabe’ e teggal paggun bede plastikeh, tak kera ancor [Malas saya mau nyampah di sini. Soalnya, plastik ini susah hancur. Coba saja tinggalkan sampah, ini sampai sepuluh tahun dan dicek, masih ada plastiknya. Tak akan hancur],” kata Faizi, menirukan hal yang bisa dia sampaikan kepada warga.
Salah satu momen biasa dia sampaikan pada Maulud Nabi (Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW). Dia akan menyarankan, pakai piring, gelas, sendok, dalam menyuguhkan hidangan, tidak menggunakan minuman kemasan, dan makanan dari bahan lokal seperti umbi-umbian, buah-buahan, dan semacamnya. Dengan begitu, katanya, selain mengurangi plastik juga memberdayakan hasil tani masyarakat setempat.
Faizi bilang, menjaga lingkungan atau bumi dari kerusakan, antara lain, tak bikin sampah suatu tindakan bagus dan berpahala. Sebaliknya, bagi kontributor sampah bisa dapat dosa.
Penulis buku Beauty in the Bis ini berusaha mendekatkan isu sampah pada kehidupan sehari-hari warga. Bahkan, mulai dari diri sendiri, di rumah, kehidupan sehari-hari itu bisa berkontribusi kurangi sampah plastik.
Orang Madura, umumnya memiliki perabotan rumah tangga cukup banyak di rumah, biasa saat ada hajatan atau acara tertentu mereka pakai. Seiring banyak air dalam kemasan plastik, gelas atau cangkir-cangkir itu mulai jarang digunakan dengan alasan lebih praktis pakai air kemasan.
Kini, Faizi ingin mengembalikan kebiasaan lama, pakai piring dan cangkir atau barang pecah belah warga, tak perlu pakai produk kemasan sekali pakai. Faizi imbau, masyarakat gunakan gelas, minum air dari sumur—air di Madura bisa langsung minum tanpa dimasak—pakai gelas.
Khusus untuk dua “kompolan” pimpinannya, dia menginstruksikan langsung, wajib pakai gelas, tak gunakan air dalam kemasan, kecuali sangat terpaksa.
Tirakat anti plastik
Tak sekadar memerintah, Kiai Faizi juga memberikan teladan kepada masyarakat dan para santri. Dia sendiri nyaris tak menggunakan plastik sama sekali dalam kehidupan sehari-hari demi memberikan contoh kepada para santri dan masyarakat.
Dia mentolerir para santri yang membuang sampah organik sembarang, seperti kulit pisang, tetapi tak mentolerir sama sekali buang sampah plastik.
“Kamu, kalau makan pisang, tabur tidak apa-apa di tengah jalan, tetapi kalau kamu minum air (kemasan-red), meskipun hanya sedotan, akan dimarahi oleh saya,” kata Faizi.
Menurut dia, sampah organik seperi kulit buah-buahan seperti pisang, salak, kalau ditabur sekalipun mudah terurai. Berbeda dengan sampah plastik yang memerlukan ratusan tahun untuk terurai. Kalau terpaksa mau pakai plastik, katanya, meskipun hanya sebuah sedotan, sampah dia minta taruh di saku dan dibawa pulang ke rumah mereka sendiri. Mungkin, katanya, sikap terhadap para santri itu, terlalu ekstrim, tetapi itu perlu.
Ke manapun dia pergi, seperti menghadiri undangan dan lain-lain, botol minum tak pernah lupa, selalu menemani. Seandainya, lupa bawa botol minum lalu disuguhi air kemasan, dia akan mencari air gelasan sisa orang lain untuk diminum. Kalau tak menemukan, dia memilih tak minum.
“Niat saya, niat tirakat. Itu ghun (saja). Niat mentirakati anak-anak atau santri, orang yang diajari saya,” katanya.
A Makki Fawaid, santri Al-Furqan, mengatakan, sang kiai mengedepankan kepedulian terhadap lingkungan. Bagi mereka, ungkapan, “buanglah sampah pada tempatnya,” tak berlaku. Karena pernyataan itu kurang baik, seakan-akan boleh memproduksi sampah asal membuang pada tempatnya.
Padahal, “membuang” di sini tak lebih dari memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain. Bagi mereka, terbaik dan terpenting, tak bikin sampah.
“Kalau masih mau beli nasi dari luar, harus dipegang dengan tangan. Tidak boleh dibungkus plastik,” kata Makki, peraturan yang di pondoknya.
Santri asal Desa Taman Sare, Kecamatan Dungkek, Sumenep, yang mondok sejak 2015 itu mengatakan, di pondoknya ada tempat minum khusus, jadi para santri tak usah membeli air kemasan.
Ketika pulang ke rumah saat libur, Makki juga mengajak keluarga seperti spirit Kiai Faizi, meminimalisir penggunakan plastik, atau gunakan kembali plastik berulang-ulang.
Selaras dengan apa yang disampaikan Kiai Faizi, menanamkan kesadaran peduli lingkungan, antara lain, berawal dari sekolah dan rumah. Berawal dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari.