Mongabay.co.id

Sutardi yang Nyaman dengan Jamur Tiram

 

 

Sutardi, petani asal Desa Sindanglaya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tak menampik ingin hidup sejahtera dari profesi yang ditekuninya.

Seperti biasa, siang itu, dia menuju rumah jamur atau biasa disebut kumbung. Pria paruh baya ini mesti mengumpulkan 80 kilogram jamur tiram, sebelum pelanggan tiba.

Bagi Sutardi, prospek Pleurotus ostreatus sangat cerah. Sejauh ini, permintaan rekanan bisnisnya yang mencapai 3 kuintal, baru bisa dipenuhi sepertiga. Satu kilogram dihargai 14-15 ribu Rupiah.

Jamur tersebut berada di rak-rak bambu sebanyak 40.000 baglog, yaitu wadah silinder berbungkus plastik yang ujungnya dilubangi sebagai tempat tumbuhnya jamur. Tempat seluas 500 meter persegi ini dulunya kandang ayam. Usaha tersebut goyah, ongkos pakan lebih besar ketimbang pendapatan.

Baca: Mangrove yang Tidak Pernah Mengkhianati Abdul Latief

 

Budidaya jamur di Desa Sindanglaya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sutardi memutuskan bangkit, beralih menjadi petani jamur. Sejak awal merintis, dia getol mengikuti berbagai pelatihan. Di tengah proses belajar, ia juga “jalan-jalan” ke tempat lain, mencari referensi tambahan.

“Dalam budidaya jamur tak ada rumus tunggal,” katanya kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu. Ide bertani ramah lingkungan dipilihnya sebagai pondasi mengembangkan usaha.

Sedari awal, Sutardi ingin punya konsep beda, budidaya jamur sekaligus mengolah limbahnya. Sebisa mungkin, tak ada limbah yang mencemari lingkungan [zero waste]. Aturannya, setiap baglog yang sudah dipanen akan dikumpulkan. Bubuk regaji itu akan diolah menjadi pupuk kompos. Sisanya, berupa sampah plastik didaur ulang atau kadang juga dipakai lagi.

Konsep ini berjalan otodidak. Hingga, suatu waktu pelanggannya memberi respon positif. “Katanya, kualitas jamur saya lebih baik. Terutama dari segi tekstur cenderung lebih kenyal dan tak mudah patah. Hasilnya menggembirakan.”

Baca juga: Enung, Sang Pemberdaya dari Kaki Gunung Gede Pangrango

 

Budidaya jamur ini telah dirintis sejak 2012. Perlu ketekunan dan kerja keras. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Konsep ramah lingkungannya juga mendulang keuntungan lain. Satu yang utama, menekan biaya operasional. Biasanya, Sutardi memanen jamur tiram rata-rata 1 ton tiap bulan, dengan kebutuhan 12.000-15.000 baglog [bubuk kayu 240 karung].

Semula, ongkos membikin baglog seharga Rp3.500. Setelah menerapkan konsep tersebut, biaya menjadi Rp1.400. Tak hanya itu, Sutardi pun bertekad membudidayakan jamur sedari pembibitan.

Belajar dari internet sekaligus melakukan percobaan, ia pun mampu menghasilkan bibit jamur dari jagung, serbuk kayu dan EM4 [efektif mikroorganisme]. Bahkan, EM4 dibuat sendiri dengan memfermentasi biji, sayuran, dan buah busuk.

“Ini bibit jamur yang sudah jadi,” terang Sutardi. Tak tanggung, 1.500 botol bibit varietas F2 diproduksi tiap bulannya. Sekitar 800 botol, ia gunakan untuk kebutuhan sendiri, selebihnya, ia jual ke petani lain dengan harga Rp7.000.

Kualitas bibit jadi faktor krusial jika ingin mengembangkan budidaya jamur berkelanjutan. Sutardi pun teguh tak mau memakai pupuk kimia.

Budidaya jamur yang dirintis Sutardi sejak 2012 itu tidak hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga memberdayakan 20 kelompok tani di Cirebon dan sekitar. Di Kelompok Tani Hutan Mekar Jaya, Desa Sindanglaya, Sutardi selalu berbagi ilmu jamur tiram. Gratis, terbuka untuk umum.

 

Budidaya jamur tiram ini telah mampu memberdayakan 20 kelompok tani di Cirebon dan warga sekitar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bermanfaat

Sore itu, Uha Suhara, Pendamping Perhutanan Kabupaten Cirebon dan Lutfi Tjipto, Ketua Paguyuban Jamur Tiram Jawa Barat, datang ke kediaman Sutardi. Kehadirannya disampaikan Ruwiah [55], sang istri yang menghampirinya di rumah jamur.

Uha bertandang dengan tujuan menyampaikan rencana optimis, menjadikan budidaya jamur sebagai wisata desa. Mereka juga tengah mendorong pemerintah desa mengalokasikan dana pengembangan jamur tiram.

Targetnya adalah warga bisa menerima manfaat ekonomi yang dihasilkan dari hutan bukan kayu. Sebab, sebelum bergabung Kelompok Tani Hutan Mekar Jaya, Sutardi merupakan anggota Kelompok Tani Penghijauan.

 

Jamur Tiram yang hasilnya menjanjikan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dia dan kelompoknya telah memulihkan hutan kritis desa seluas 22 hektar. “Saya berkeyakinan, keberhasilan budidaya jamur tiram tak lepas dari hijaunya hutan tersebut,” terangnya. Bersama Uha dan Lutfi, ia mantap menyongsong terwujudnya kampung jamur.

Sementara itu, dengan Ruwiah, ia membuat produk turunan jamur menjadi keripik, kerupuk, sate, serta baso. Produk itu memanfaatkan batang atau bonggol jamur yang selama ini dibuang.

Kini, Kelompok Tani Mekar Jaya beranggotakan 21 orang. Di balik keberhasilannya, Sutardi punya keyakinan yang terus ia resapi. “Usaha ini akan berkembang bila ada regenerasi,” katanya.

 

Sutardi berhasil mengembangkan konsep zero waste di Desa Sindanglaya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi

Gayung bersambut, Sutardi mendapat dukungan Project Thrive pada 2018. Aris Dwi Subiantoro, perwakilan program menjelaskan, kegiatan ini merupakan kolaborasi Ikatan Alumni Sekolah Kehutanan Menengah Atas [IK SKMA] Jawa Barat, Mongabay Indonesia, Social Corporate Law Society [Socolas] dan The Local Enablers [TLE].

“Tujuan program untuk meningkatkan kapasitas melalui pendampingan serta pemberdayaan,” kata Aris.

Thrive menyasar masyarakat yang dekat hutan, tetapi pemanfaatannya berupa hasil hutan bukan kayu, mirip skema Perhutanan Sosial. Skema ini dinilai sebagai kunci agar lingkungan terjaga dan masyarakat sejahtera.

“Inti dari program ini sebetulnya adalah keberlanjutan,” papar Aris. Kami memilih kelompok tani yang anggotanya relatif muda atau setidaknya ada anak mudanya agar ada regenerasi.

Tantangannya, menurut Aris, bagaimana membuat masyarakat berdaya dengan menyisipkan pesan konservasi. Ada potensi besar yang bisa dikembangkan. “Ada 820.000 hektar hutan dikelola Dinas Kehutanan Jawa Barat atau setara 22,2 persen dari luas Jawa Barat,” terangnya.

Kelompok Sutardi adalah satu dari 5 peserta kelompok tani yang dibina Thrive. Mereka mendapatkan pembinaan satu tahun, termasuk pemetaan masalah dan metode pemasaran kekinian.

Cita-cita sejahtera, tujuan budidaya berkelanjutan, adalah harapan besar Sutardi. Ia bahagia, anak bungsunya Sri Wahyuni [24], tergugah melanjutkan usaha rintisnya. Budidaya jamur tiram yang harus terus berjalan.

 

Exit mobile version