Mongabay.co.id

Sepucuk Surat Buat Greta

 

Mungkin lebih dari dua dekade lalu saya membaca kalimat sastrawan besar Kurt Vonnegut, “The good Earth—we could have saved it, but we were too damn cheap and lazy.” Ia sedang membayangkan kondisi di mana umat manusia di masa depan yang menyesali kepandirannya, membiarkan Bumi terus sakit hingga akhinya meninggal. Lalu dituliskanlah kalimat itu di nisan Bumi.

Greta, saya betul-betul merasa ketakutan ketika membacanya. Lalu saya berupaya untuk mencegah jangan sampai gambaran distopia dari Vonnegut itu terjadi. Tetapi, agaknya saya juga termasuk yang murahan dan pemalas itu. Saya tak cukup bersedia membayar harga penyelamatan Bumi dan bekerja sekeras yang dibutuhkan.

Ketika melihatmu pertama kali di pojokan sekolahmu, menyerukan anak-anak seusiamu untuk tak perlu bersekolah lantaran masa depan kalian sudah dibuat suram oleh keputusan orang-orang dewasa, saya terhenyak. Betapa pandirnya kami secara kolektif, lantaran membiarkan Bumi terus bertambah buruk. Sains sangat jelas, indikator-indikator dipampang tegas, tetapi kami seperti orang buta huruf dan buta angka. Itu yang pertama saya rasakan.

baca : Kegelisahan dan Asa Anak-anak akan Masa Depan Bumi

 

Aktivis iklim remaja Swedia, Greta Thunberg (tengah), bersama anak muda lainnya dalam aksi mogok sekolah dan melakukan aksi di luar kantor PBB di New York pada 30 Agustus 2019. Foto : Manuel Elias/UN Photo

 

Ya, saya malu. Itu yang saya sejujurnya saya rasakan. Sebelum engkau lahir, saya sudah lama mendengar soal perubahan iklim. Saya membaca Earth in Balance di bangku kuliah, di tahun buku itu terbit. Itu sudah seperempat abad lampau. Saya juga membaca peringatan Limits to Growth yang ternyata betul-betul mendekati kebenaran walau model dan kekuatan komputasi waktu itu, setahun sebelum saya lahir, sangat jauh dari yang kita lihat sekarang.

Saya jelas bukan satu-satunya orang yang membacanya. Buku-buku itu popular luar biasa. Disebutkan di banyak ruang seminar. Bukan sekadar oleh mereka yang punya gelar akademis yang berderet dari kalangan kampus. Orang-orang yang memegang kekuasaan untuk membuat kebijakan publik juga tak jarang mengutip jargon-jargon dari buku itu. Belakangan, saya juga mendengar hamburan jargon dari mulut mereka yang ada di posisi-posisi tinggi di korporasi.

Tapi jelas kami semua lembam, kalau bukan memang munafik. Kami seakan tak punya nalar. Atau mungkin cuma tak punya nurani. Kami sering bilang bahwa Bumi ini titipan anak-cucu, bukan warisan dari nenek moyang. Kenyataannya, kami terus merampok jatah kalian tanpa kenal ampun. Air menghilang, udara mencekik, tanah mengering, dan hutan menghilang. Lalu Bumi memanas. Itu yang bakal kami wariskan ke generasimu, generasi anakmu, dan generasi cucumu.

Kami sibuk luar biasa di keramaian seminar, lokakarya, dan pertemuan-pertemuan global yang membuat kami tampak mentereng sedang memerjuangkan lingkungan yang baik untuk kalian. Tapi sains berkata lain. Memang ada satu dua kemajuan yang bisa kami raih. Memang ada banyak kerusakan yang tampak melambat. Tetapi, secara umum kami bakal mewariskan Bumi dalam kondisi centang perenang.

baca juga : Catatan Hari Bumi 2019: Memilih Sendiri Masa Depan Kita

 

Aktivis iklim remaja Swedia, Greta Thunberg. Foto : EPA/BBC.com

 

Ketika gerakanmu menjadi lebih popular, engkau muncul di mana-mana. Mungkin di Parlemen Inggris-lah tamparan pertamamu engkau lancarkan kepada orang dewasa. “We’re facing an immediate unprecedented crisis that has never been treated as a crisis and our leaders are all acting like children. We need to wake up and change everything.” Saya yang merasakan malu luar biasa ketika dirimu melancarkan demonstrasi sendirian di sekolahmu menjadi bertambah malu. Saya bagian dari orang dewasa yang berperilaku seperti anak-anak itu.

Saya tak bisa tidak terkagum-kagum pada pernyataanmu kemudian TEDx Stockholm, “We can’t change the world by playing by the rules, because the rules have to be changed.” Entah dari mana sumber kalimat-kalimatmu yang tak pernah tak menghunjam ke hati, namun kalimat itu adalah salah satu yang saya tandai sebagai pembangkit kesadaran. Saya pernah membaca banyak kalimat serupa, seperti dari mahafisikawan Albert Einstein, namun kalimatmu punya efek pembangkit yang luar biasa buat benak, hati, dan tekad saya. Terima kasih banyak untuk mengingatkan bahwa banyak aturan bodoh yang kami buat ini memang mengekang kami sendiri. Di ujung tahun 2018, engkau lalu membetot perhatian dunia di COP24.

Berpindah tahun, engkau memberi pernyataan di World Economic Forum, dengan naik kereta selama 32 jam dari tempat tinggalmu ketika para penggede itu naik jet pribadi. Engkau kemudian berdiri di Parlemen Uni Eropa lalu berkata “If we fail to do so, all that will remain of our political leaders’ legacy will be the greatest failure of human history.” Betul, kalau kami meneruskan ‘kebijakan’ yang ada sekarang, di tahun 2100 dunia memang akan memanas antara 2,4 hingga 4,3 derajat Celsius, dengan kemungkinan terbesar ada pada 3,2 derajat Celsius. Dengan sains, kita bisa memeriksa apa yang bakal terjadi di Bumi bila angka itu benar-benar terwujud. Tak ada orang cerdas yang bakal bilang itu bukan kegagalan terbesar dalam sejarah manusia.

Di penghujung Maret 2019, pidatomu di depan 25.000-an orang yang berkerumun di Gerbang Brandenburg, Berlin, kembali mengusik kesadaran saya sebagai manchild, anak kecil di tubuh orang dewasa. Engkau bilang, “We live in a strange world where children must sacrifice their own education in order to protest against the destruction of their future. Where the people who have contributed the least to this crisis are the ones who are going to be affected the most.” Kerumunan di hadapanmu jelas antusias dan berada bersamamu sepenuhnya. Mungkin saat itu juga saya bertekad bahwa suatu saat saya akan ikut berada di kerumunan yang engkau inspirasi.

Saya setuju dengan pernyataan Guardian bahwa sudah seharusnya kita berhenti menggunakan istilah perubahan iklim yang mengesankan hal ini terjadi secara perlahan dengan konsekuensi yang masih bisa diterima. Guardian menyatakan bahwa mereka akan menggunakan istilah krisis iklim yang lebih tepat. Saya bersyukur Guardian mendengarkan nasihatmu kepada pada para pimpinan negara-negara Uni Eropa sebulan sebelumnya. Di situ engkau bilang, “We have not treated this crisis as a crisis; we see it as another problem that needs to be fixed. But it is so much more than that. It’s an existential crisis, more important than anything else.”

Dengan sains di sisimu, dan artikulasi sebaik itu, engkau juga dengan lantang menjadi juru bicara generasi muda dan mendatang. Engkau bicara di Austrian World Summit di bulan Mei lalu. Engkau muncul di Prix Liberte di Normandy untuk menerima penghargaan bergengsi itu di bulan Juli.

perlu dibaca : Aksi Pelajar Minta Pemerintah Serius Tangani Perubahan Iklim

 

Aktivis iklim remaja Greta Thunberg (kanan) bersama dengan Sekretaris Jenderal António Guterres (paling kiri) saat berbicara pada pembukaan KTT Aksi Iklim PBB 2019 di New York, Amerika, September 2019. Foto : Cia Pak/UN Photo

 

Anggota Kongres AS kemudian harus mendengarkan padasnya, atau lebih tepat panasnya, kata-katamu di bulan September lalu. Tak mau bicara banyak, engkau cuma melampirkan laporan IPCC yang terbit di penghujung tahun lalu seraya menyatakan “I don’t want you to listen to me. I want you to listen to the scientists. And I want you to unite behind the science. And then I want you to take action.” Engkau mengingatkan saya pada masalah ‘klasik’ dalam kebijakan publik—mereka yang punya kekuasaan tak punya pengetahuan, mereka yang punya pengetahuan tak punya kekuasaan—dan menegaskan solusinya yang terang benderang.

Dua hari setelah pidato singkatmu di Kongres, sekitar 4 juta orang di seluruh dunia ikut di belakangmu. Bersetuju dengan kata-katamu, kami menuntut seluruh pihak, terutama para pemangku kebijakan untuk berubah. Seminggu kemudian, tercatat 7,6 juta orang berpartisipasi dalam demonstrasi agar krisis iklim diatasi dengan kebijakan dan tindakan yang setara dengan tantangan yang ada, bukan sekadar kata-kata manis dan tindakan seadanya. Kami, yang berbaris di seluruh dunia, ingin mengajak seluruh dunia untuk benar-benar mewujudkan janji untuk menyayangi anak-cucu, bukan sekadar menyirami mereka dengan kata-kata hampa lalu meneruskan perilaku yang menyengsarakan mereka.

Tanggal 23 September lalu, di depan para pemimpin dunia engkau kembali menjadi suara generasimu dan generasi sesudahmu. Lantang engkau berkata, “People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction. And all you can talk about is money and fairytales of eternal economic growth. How dare you!” Saya bukanlah pemimpin dunia yang kepada mereka kata-kata itu engkau tunjukkan. Tetapi, percayalah, saya tak bisa merasa bahwa saya tak turut berada di dalam pihak yang engkau tunjuk hidungnya. Begitulah yang saya rasakan, walau saya berbaris untuk mendukungmu di Bangkok beberapa hari sebelumnya.

Engkau mungkin perlu tahu bahwa sepanjang saya menyusuri jalanan dari Sena Place Hotel hingga gedung Kementerian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Thailand, sebagian waktu saya menunduk. Malu. Sebagian waktu lagi saya menengadah, meneriakkan tuntutan sambil mengangkat tinggi-tinggi poster yang saya pilih untuk menyuarakan yang paling ingin saya dorong: investasi berkelanjutan, termasuk dan terutama dalam energi terbarukan. Kalau dunia investasi masih agnostik terhadap iklim—dan berbagai dampak keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi lainnya—tak bakal ada perbaikan yang kita butuhkan.

You are failing us. But the young people are starting to understand your betrayal. The eyes of all future generations are upon you. And if you choose to fail us, I say: We will never forgive you. We will not let you get away with this. Right here, right now is where we draw the line. The world is waking up. And change is coming, whether you like it or not.” Begitu kata-katamu menutup pidato yang bakal dikenang sepanjang masa itu.

baca juga : Katowice, Janji Perubahan Iklim dan Nasib Generasi Mendatang

 

Greta Thunberg saat berbicara pada pembukaan Climate Action Summit 2019 di New York, Amerika. Foto : Cia Pak/UN Photo

 

Greta, saya tak bisa tidak berterima kasih untuk seluruh tindakan dan kata-katamu. Dari perasaan malu bahwa saya tak berbuat memadai buat generasimu, kini saya merasa terinspirasi untuk berbuat dengan jauh lebih serius lagi. Saya tak ingin ada di sisi yang salah ketika generasi mendatang menilai apa yang saya lakukan. Tetapi, lebih daripada itu, saya tak ingin dihantui oleh perasaan bersalah bahwa saya bertindak atas Bumi di bawah kapasitas optimal yang bisa saya lakukan.

Teruslah berteriak, Greta. Teruslah menampar kesadaran kami semua dengan kata-katamu yang kuat. Sains di sisimu, tetapi ia perlu juru kampanye yang tak kenal lelah dan tak kenal takut. Ketika dirimu diserang oleh banyak pihak seperti yang saya saksikan sekarang, sesungguhnya itu pertanda bahwa kampanye berbasis sainsmu efektif, dan sudah berhasil mengganggu mereka yang seharusnya memang tak pernah diizinkan untuk mengelola Bumi kita satu-satunya. Seperti yang engkau bilang, “Right here, right now is where we draw the line.”

 

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability

 

Exit mobile version