Mongabay.co.id

Pari Kekeh dan Pari Kikir Kini Terancam Langka

 

 

Dua jenis pari ini namanya memang unik: pari kekeh [Wedgefish] dan pari kikir [Giant Guitarfish]. Kini, keduanya bakal langka, mengapa?

Pari kekeh umumnya memiliki pertumbuhan lambat. Begitu juga dengan kematangan reproduksinya yang tidak cepat ketika dewasa, sehingga sangat sedikit pari kekeh muda yang dihasilkan. Spesies ini hidup di dasar perairan dengan habitat pesisir yang dampaknya adalah lebih mudah ditangkap.

Ditangkap karena siripnya yang dihargai tinggi dalam perdagangan [nasional dan internasional]. Dagingnya juga sering dikonsumsi masyarakat, meski utamanya adalah sirip, yang membuatnya terus diburu. Bahkan di Kalimantan, harga daging pari kekeh lebih tinggi dibandingkan pari jenis lain [Dharmadi 2019, hasil survei pasar 4 provinsi di Kalimantan].

Hasil studi WCS dan Humane Society International 2018 pun menunjukkan, sirip pari kekeh memiliki nilai tertinggi dibanding semua sirip yang ditemukan di pusat perdagangan sirip dan ritel global di Hong Kong.

 

Pari kekeh yang diperdagangkan di pasar. Foto: Rima W. Jabado/citesshark.org

 

Bagaimana dengan pari kikir? Sebut saja Glaucostegus typus memiliki tubuh datar dan beradaptasi sempurna dengan kehidupan laut. Namun, jenis ini juga dicirikan dengan pertumbuhan lambat, reproduksi rendah dan perlahan mencapai kematangan kelamin/gonad. Tentu saja, sangat rentan terhadap penurunan populasi bila ditangkap berlebihan.

Sejauh ini, secara global, data penangkapannya sebagian besar tidak diketahui, akibat kesalahan identifikasi, kurangnya data, dan penelitian yang minim.

Sebagai gambaran, dari Mediterania hingga Samudra Hindia, populasi pari kikir diperkirakan menurun hingga 50 persen. Bahkan jumlahnya berkurang hingga 80 persen yang bisa mengakibatkan kepunahan lokal. Di Senegal misalnya, dalam 7 tahun terakhir penangkapan dari 4.050 ton [1998] menjadi 821 ton [2005], yang menunjukkan populasinya di alam berkurang.

Di Pakistan, data pari kikir menunjukkan penurunan tajam hanya dalam satu generasi. Lebih dari 2.018 metrik ton ditangkap tahun 2000 menjadi 403 metrik ton tahun 2011. Perburuan untuk diambil siripnya memang menjadi perdagangan internasional yang tidak bisa dielakkan.

Nasib pahit pari kekeh dan pari kikir ini sama, di pasar ritel sirip hiu Hong Kong, masuk dalam kategori tertentu [“Qun Chi”] yang artinya paling sering dijual. Sekali lagi, perdagangan yang sebagian besar tidak diatur telah mendorong penurunan populasi dua jenis tersebut.

 

Pari kikir yang juga diperdagangkan di pasar Bangladesh. Foto: WCS Bangladesh/citesshark.org

 

Belum dilindungi di Indonesia

Di Indonesia, perburuan pari kekeh dan pari kikir juga terjadi. Nelayan di Pulau Jawa dan Kalimantan banyak menangkap jenis ini. Terutama, masyarakat pesisir Jawa Tengah, tidak asing dengan jenis tersebut, yang sering dikonsumsi sebagai menu ikan asap. Diperkirakan, nilai sirip keduanya mencapai 200 miliar Rupiah per tahun. Kekhawatiran muncul, bagaimana kondisinya saat ini?

 

 

Dharmadi, Peneliti Pusat Riset Perikanan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan [BRSDM KKP], menuturkan tren produksi pari kekeh [Liong bun] dalam satu dekade, sejak 2005 hingga 2016, menunjukkan penurunan sebesar 80 persen. Angkanya, dari 28.492 ton [2005] menjadi 7.483 ton [2016] berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2017.

Sementara produksi pari kikir mengalami peningkatan, juga berdasarkan data statistik Produksi Perikanan Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2017. Dari angka 120 ton [2005] menjadi 1.011 ton [2016].

Tentunya, ini berkaitan dengan pengelolaan, terutama perburuan yang masif dilakukan masyarakat. “Untuk itu, perlu pembatasan jumlah tangkapan [kuota tangkap] beserta kuota ekspor,” terangnya kepada Mongabay, Senin, 7 Oktober 2019.

Dharmadi melanjutkan, meski sudah resmi masuk Apendiks II CITES, namun kedua jenis pari ini belum ditetapkan perlindungannya di Indonesia. Semua masih proses pembahasan di KKP, untuk pengaturan lebih lanjut.

Langkah perlindungan ini meliputi monitoring [pemantauan populasi] beserta analisa data tangkapan berdasarkan time series. “Tak kalah penting adalah membuat naskah akademik sebagai bahan kajian mengenai status perlindungannya,” jelasnya.

Di Indonesia jenis pari kekeh yang ditemukan adalah Rhynchobatus australiae, Rhynchobatus springeri, Rhynchobatus djidensis, Rhynchobatus palpebratus, dan Rhynchobatus cf. laevis.

Sementara dari golongan pari kikir yaitu Glaucostegus typus, Glaucostegus thouin, dan Glaucostegus obtusus. Sebagai informasi Glaucotegus typus lebih sering ditangkap nelayan.

Dua kelompok pari ini menjadi target dengan alat tangkap jaring dasar atau jaring liong bun, biasa disebut. Bahkan, sering tertangkap juga bycatch dari rawai dasar.

Rawai merupakan pancing dengan banyak mata menggunakan umpan. Sasarannya ikan-ikan dasar seperti kakap, manyung dan jenis lain yang bernilai ekonomi.

 

Infografis perdagangan pari kekeh dan pari kikir di pasar dunia yang menyebabkan populasi keduanya turun. Grafis: Gulf Elasmo Project – Rima W. Jabado/citesshark.org

 

Terancam langka

IUCN telah memasukkan dua kelompok pari ini dalam status terancam. Pari kikir berstatus Kritis [Critically Endangered], sementara pari kekeh Whitespotted Wedgefish [Rhynchobatus spp] statusnya juga Kritis.

Terhadap kondisi itu, Dharmadi menyatakan, secara global terjadi penurunan populasi terhadap dua kelompok pari tersebut. Alasan kuat adalah karena permintaan yang tinggi dan eksploitasi tidak terkendali. Harga sirip memang lebih mahal ketimbang sirip hiu. “Ini sudah dibahas dan menjadi keputusan sidang CoP 18 di Jenewa, Swiss, September 2019,” terangnya. Sebagai gambaran, di pasar domestik, harga sirip kering satu kilogram berkisar 2-3 juta Rupiah.

Lagi-lagi, pengaturan penangkapan berupa pembatasan jumlah alat tangkap, porsi pari kekeh dan pari kikir yang tertangkap melalui pengaturan kuota tangkap, harus dilakukan.

Cukup? Tentu tidak. “Menghindari penangkapan pari berukuran kecil hingga remaja melalui pengaturan mata jaring dan melepas pari yang tertangkap dalam kondisi mengandung, harus dijalankan,” paparnya.

Di masyarakat kita juga, perlu dilakukan sosialisasi atau penyadartahuan terhadap karakteristik biologi dua jenis pari itu. Terutama, jumlah anakan yang sedikit dan pertumbuhannya yang lambat menyebabkan populasinya bisa habis bila ditangkap tak terkendali.

“Penelitian mendalam, peran aktif institusi riset beserta perguruan tinggi dan instansi terkait, termasuk pengawasan lapangan, keterlibatan LSM dan masyarakat akan sangat mendukung keberhasilan pengelolaan perikanan ini agar lestari dan berkelanjutan. Tentu saja, melalui upaya konservasi sumber daya di alam,” ujar Dharmadi.

 

Filogeni pari kikir dan pari kekeh. Ilustrasi: Gulf Elasmo Project – Rima W. Jabado/citesshark.org

 

Adaptasi

Berdasarkan teori evolusi, ikan pari merupakan bagian ikan hiu yang telah beradaptasi dengan kehidupan dasar laut. Tekanan air di dasar laut merupakan faktor utama yang merangsang dan mengarahkan arus revolusi ikan pari terjadi. Penjelasan tersebut sebagaimana dipaparkan Nurdin Manik, dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, dalam Jurnal Oseana, Volume XXVIII, Nomor 4, 2003: 17-23.

Bergesernya celah insang ke sisi bawah tubuh tidak hanya memungkinkannya mampu lepas landas dengan “daya dorong semburan”, tetapi juga memungkinkan sirip dadanya terbentang di sekitar kepala. Kondisi ini menyebabkan hadirnya ikan pari zaman moderen dengan sirip dada mirip sayap [van HOEVE, 1992].

Habitat yang disenangi pari adalah dasar perairan pantai yang dangkal dengan substrat pasir dan lumpur. Juga, dekat rataan terumbu karang [reef flat], laguna, teluk, muara sungai dan air tawar. Ada juga beberapa jenis pari yang hidup di laut lepas, dekat permukaan sampai kedalaman lebih dari 2.000 meter.

 

 

Exit mobile version