Mongabay.co.id

Kemarau Panjang, Lombok Krisis Air dan Gagal Panen, 30 Desa di Sumenep Kekeringan

Dua anak di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, bermain di sawah yang kering. Terlihat rekahan tanah karena kemarau panjang. Sebagian besar petani di desa ini tak menanami sawah mereka dan sebagian gagal panen. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Mahrip, petani dari Dusun Sinte Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya pasrah kala 50 are lahan pertanian gagal panen.

Padi gogo rancah (gora) yang tak lama lagi berbuah mengering. Sudah berbulan hujan tak turun. Tak ada air mengalir dari saluran irigasi. Air sumur bor di kampung pun untuk keperluan sehari-hari.

Mahrip, tahu menanam padi pada musim kemarau penuh risiko. Kalau berdasarkan pengalaman tahun-tahun lalu, padi gora bisa tumbuh dengan baik. Dia bisa menikmati panen. Tahun-tahun lalu selalu ada air mengalir di saluran irigasi. Walau tak banyak banyak, cukup sekadar mengairi, terlebih padi Gora bisa tahan di lahan kering.

Dusun Sinte, berjarak 20 menit dari Bendungan Batujai. Bendungan terluas di Pulau Lombok, 3.350 hektar ini jadi tumpuan air irigasi bagi warga Lombok Tengah. Walaupun posisi bendungan di bawah Kampung Sinte, tetapi air masih bisa mengalir

Dia yakin, dengan mesin penyedot air irigasi di Dusun Sinte bisa teraliri. Petani sudah tahu, tak akan menanam selain padi gora. Mereka juga akan tanam jagung dan padi gora.

“Mati semua. Kering,’’ kata Mahrip.

Tanaman mengering bak batang padi sisa panen. “Itu tanaman padi. Bukan [sisa] panen.” Dia menunjukkan lahan lain bekas panen. Tanah retak, merekah. Di sela-sela tampak batang padi sudah terpotong.

“Ini baru sisa batang pagi, jagung juga mati,’’ katanya.

Di usia tak muda, Mahrip, tak bisa bekerja lain. Sesekali kalau ada yang meminta jadi buruh bangunan, barulah dia ikut. Itupun tidak bisa setiap hari, tergantung proyek dan mandor bangunan yang mau mengajak. Biasanya, mereka lebih memilih anak-anak muda.

Nganggur selama enam bulan ini,’’ katanya.

Faisal, petani lain juga gagal tanam. Dia tanam jagung dan padi gora seluas satu hektar. Tanaman tak mengering, tak bisa berbuah. Jagung bisa tumbuh, tetapi tidak besar. Sedikit demi sedikit jagung mengering. Kalau sampai akhir Oktober, tidak ada air, Faisal, pasrah. Tahun ini, dia bakal gagal tanam dan gagal panen.

Daerah-daerah di selatan Lombok Tengah, meliputi Kecamatan Praya Barat, Praya Barat Daya, sebagian Praya Timur, dan Pujut, setiap tahun dilanda kekeringan. Kontur geografis berbukit, tanah liat lebih sering dilanda kekeringan. Daerah selatan ini juga kekurangan mata air. Walaupun ada beberapa hutan, tetapi tak mampu memberikan air cukup.

Sebaliknya, hutan itu terancam akibat pembalakan liar dan tambang emas ilegal.

 

Areal persawahan yang ditanami padi gora (gogo rancah) yang gagal panen. Padi ini bisa tumbuh di musim kemarau, tetapi tetap perlu sedikit air agar bisa tumbuh baik. Di Lombok Tengah, tercatat 1.116 hektar lahan pertanian gagal panen. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Setiap kemarau, biasa mulai Agustus sampai November, daerah selatan Lombok Tengah, jadi daerah langganan pengiriman air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sumur-sumur warga mengering. Jaringan pipa PDAM tak menjangkau seluruh wilayah. Yang berlangganan PDAM pun, jarang melihat air keluar. Debit air di hulu sumber air bersih PDAM berkurang. Daerah dekat dengan sumber PDAM pun sering kesulitan mendapatkan air bersih.

Menyiasati kondisi geografis dan tanah seperti ini, para petani menanam palawija. Lebih banyak jagung, sebagian kedelai dan kacang tanah, sampai padi gora. Ada juga yang tak bercocok tanam sama sekali. Mereka tak mau mengambil risiko. Biaya untuk menanam cukup besar, sementara tak ada jaminan turun hujan atau mendapatkan pasokan air.

“Sebagian petani membiarkan menganggur lahan mereka,’’ kata Faisal.

Empat bulan menanam padi, enam bulan menganggur. Hal ini jadi pilihan berat bagi para petani di selatan Lombok Tengah, termasuk petani di bagian selatan Lombok Timur, meliputi Kecamatan Keruak, Kecamatan Jerowaru.

Tembakau yang jadi favorit petani di wilayah selatan juga tidak bisa ditanam tanpa air. Kalau sudah tumbuh tembakau tak boleh banyak air. Dalam proses pembibitan, ketika pemupukan, tembakau perlu air. Beberapa petani menyiasati kesulitan air dengan membawa air dalam tandon.

Air tandon itu dialirkan ke sawah mereka ketika pemupukan. Dengan cara ini petani bisa menyelamatkan tembakau tetapi air tak mudah.

Di Desa Ungga, Kecamatan Praya Barat Daya, petani harus membeli 350 liter air Rp65.000. Air tandon itu diantar dengan mobil pick up dan diturunkan ke kolam penampungan berlapis terpal. Air itulah untuk mengairi sawah.

Praktik ini biasa dilakukan para petani di Lombok Timur dan Lombok Tengah, bagian selatan. Tidak semua petani mampu, terutama yang memiliki lahan cukup luas.

Biaya pembelian air sangat mahal bagi mereka. Apalagi, modal sudah terserap habis untuk pembibitan hingga pemupukan. Mereka hanya pasrah, sambil berharap turun hujan.

 

Seorang petani jagung di Desa Ungga, Kecamatan Praya Barat Daya, Kabupaten Lombok Tengah, terpaksa membeli air untuk mengairi jagung. Karena ketiadaan air, jagung tidak tumbuh baik dan terancam gagal panen. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Adaptasi perubahan iklim

Kusnadi, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) NTB bilang, kondisi tanah di selatan Lombok, berbeda dengan bagian utara. Daerah ini berbukit, dan berbatu. Kalau menggali sumur sulit menemukan air di permukaan, begitu juga sumur bor. Tak semua titik cocok untuk sumur bor. Kondisi ini, kata Kusnadi, alami hingga warga harus beradaptasi.

“Kadang ada yang asal ngebor bikin sumur, tapi tidak dapat air sampai puluhan meter,’’ katanya, yang sering mendampingi penelitian air tanah dalam.

Masyarakat Lombok bagian selatan sadar dengan kondisi daerah mereka, sebagian mampu beradaptasi. Mereka tahu jenis tanaman tertentu masih bisa tumbuh dalam kondisi kemarau esktrem, salah satu turi.

Di persawahan kering kerontang, bahkan tanah sampai pecah, pohon turi tetap hijau. Petani memanfaatkan turi untuk ternak. Musim kemarau, ternak seperti sapi, kambing, dan kerbau hadi solusi bagi petani Lombok Selatan, bertahan.

Inaq Kus, petani Lombok Selatan jadikan ternak sebagai tabungan pada musim paceklik. Musim kemarau, sawah tak bisa ditanami alias gagal. Dia tak terlalu kesulitan karena masih ada sapi.

“Kalau butuh uang jual satu,’’ katanya.

Turi yang ditanam di sepanjang pematang sawah tumbuh lebat. Inaq Kus tak perlu jauh-jauh mencari pakan ternak. Kalau perlu tambahan rumput, barulah suami mencari rumput di utara Lombok yang lebih subur. Biasanya, para petani berangkat mencari rumput berkelompok. Mereka menyewa pick up atau truk. Satu kelompok terdiri dari 5-10 orang. Mereka akan menyabit rumput dari pagi hingga sore. Satu orang bisa mendapatkan empat sampai enam karung rumput. Rumput ini jadi pakan ternak mereka hingga beberapa hari ke depan.

“Kalau tidak ada ternak ini, tak ada lagi uang kami. Susah bertani di daerah selatan pak.”

Dalam kajian kerentanan dampak perubahan iklim Desa Mertak Kabupaten Lombok Tengah, tahun 2012 oleh USAID melalui program Indonesia Marine and Climate Support (IMACS) mencatat, beberapa praktik adaptif.

Desa Mertak ini, di Kecamatan Pujut, kontur berbukit, kering, dan memiliki pesisir. Pujut, salah satu daerah terdampak kekeringan. Petani sudah bisa membaca tanda alam hingga bisa mengambil keputusan, akan menanam padi, palawija, atau membiarkan tanah menganggur.

Masyarakat mengenal istilah musim balet atau musim kemarau selama enam bulan. Musim balet ditandai angin selaboh. Angin selaboh, yaitu, angin yang datang dari arah timur laut, kadang-kadang kencang, kadang tak terlalu kencang. Angin selaboh disebut juga angin pegerik buak bagek. Biasanya, kalau akan memasuki kemarau, angin bertiup cukup kencang dan bisa menjatuhkan buah asam.

 

Kemarau panjang, bendungan di Lombok mengering. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bagi para nelayan Desa Mertak, musim balet ini masa untuk melaut. Lain dengan petani, musim ini, petani mengalami masa paceklik, tepatnya, bulan empat (penanggalan Sasak) atau Agustus (masehi).

Walaupun panen tembakau di daerah lain di Lombok Selatan, tetapi petani Desa Mertak menganggur karena tak cukup biaya menanam tembakau. Pertanian di Desa Mertak, hanya mengandalkan hujan untuk pengairan karena tak ada bendungan atau sumber air lain.

Untuk itulah, musim balet ini petani di Mertak lebih baik membiarkan lahan menganggur, atau mencari ikan.

Madani Murakom, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB mengatakan, warga Lombok bagian selatan mampu beradaptasi dengan iklim lebih kering. Mereka tahu, pada musim kemarau hanya turi bisa tumbuh. Mereka juga tak bercocok tanam. Ternak, adalah bentuk tabungan mereka.

“Sekarang mereka juga menanam lamtoro. Ini untuk pakan ternak,’’ kata Madani.

 

Antisipasi kekeringan

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sejak awal tahun merilis musim kemarau panjang pada 2019. Untuk Pulau Sumbawa, hampir merata hari tanpa hujan antara 30-60 hari, bahkan ada wilayah antara 30-70 hari.

Di Pulau Lombok antara 20-30 hari, kecuali Lombok bagian selatan hari tanpa hujan antara 30-60 hari. Dinas Pertanian, semua kabupaten termasuk Dinas Pertanian NTB, sudah mewanti-wanti petani tak menanam padi.

Lalu Iskandar, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Tengah menyebutkan, luas lahan tanaman padi yang gagal tanam di Lombok Tengah mencapai 1.116 hektare. Dari hasil pemantauan petugas Dinas Pertanian di lapangan, sekitar 20 hektare lainnya terancam gagal.

“Tinggal menunggu waktu saja,’’ katanya.

Dinas Pertanian, tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan lahan pertanian yang gagal tanam, gagal panen, dan terancam gagal itu. Pada tahun-tahun sebelumnya, masih mengandalkan keberadaan bendungan dan embung (bendungan yang luasnya lebih kecil) yang tersebara di beberapa kecamatan. Pada tahun ini, debit air bendungan sangat surut, sementara embung-embung mengering.

Pengalaman petani yang masih bisa bercocok tanam pada tahun-tahun sebelumnya membuat petani yakin masih bisa menanam padi dan jagung pada musim kemarau ini.

 

Seorang petani di Desa Batujai Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, berdiri di sawah yang tidak bisa ditanami karena ketiadaaan air irigasi. Padahal, Desa Batujai ini tempat Bendungan Batujai, bendungan terbesar di Lombok Tengah. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Padahal, kata Iskandar, jauh sebelumnya dia sudah mewanti-wanti agar petani tak menanam padi. Dinas Pertanian sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dari hasil koordinasi itu, Dinas PUPR memetakan, debit air bendungan dan embung.

Dinas PUPR, memetakan perhitungan air irigasi yang mampu dilayani. Hasil perhitungan ini menyebutkan, lahan pertanian Kecamatan Janapria, Praya Timur, Pujut, Praya Barat, Praya Barat Daya, Praya Tengah, Jonggat dan sebagian Kecamatan Praya, akan kekurangan air irigasi.

Hasil itu kemudian disampaikan Dinas Pertanian melalui UPT, kelompok tani, dan sering dibahas dalam rapat-rapat di tingkat kabupaten.

“Padahal, sudah berkali-kali kami ingatkan agar jangan menanam padi,’’ katanya.

Untuk lahan gagal panen, Dinas Pertanian, tak bisa berbuat banyak. Dinas Pertanian Lombok Tengah, hanya bisa melaporkan ke pemerintah pusat. Harapannya, akan ada ganti rugi bagi petani atau kompensasi lain.

Laporan ini, katanya, disampaikan karena tak semua petani gagal panen dan gagal tanam ini mengasuransikan lahan. Hanya sebagian petani yang masuk asuransi tani.

Ahsanul Khalik, Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) NTB mengatakan, tahun ini pemerintah provinsi mengusulkan pembangunan 10 sumur bor. Sumur ini untuk antisipasi krisis air bersih. Masyarakat juga bisa memanfaatkan air sumur bor untuk sekadar mengairi tanaman mereka yang tak jauh dari rumah.

BPBD NTB merilis, 301 desa kekeringan di NTB. Dari jumlah desa ini sebanyak 183.250 keluarga atau 658.759 jiwa terdampak  kekeringan.

Tim BPBD NTB terjun ke seluruh kabupaten dan kota. Mereka melihat kondisi kekeringan dan bantu yang kekurangan air bersih, BPBD NTB bersama Dinas Sosial dan BPBD kabupaten mengirimkan air bersih ke kampung-kampung terdampak kekeringan.

Dengan kondisi armada dan anggaran terbatas , kata Ahsanul tak bisa menjangkau semua dusun di NTB.

Untuk kekeringan ke sektor pertanian, BPBD juga mengusulkan pembangunan embung di setiap desa. Bila perlu, kalau ada desa cukup luas bisa membangun beberapa embung.

Embung ini penting jadi cadangan air saat kemarau. Air yang tertampung di embung bisa untuk keperluan ternak, pertanian, bahkan kalau air masih banyak bisa untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci pakaian dan perabotan dapur.

“Kita bangun 36 embung kecil di Pulau Sumbawa,’’ katanya.

Ahsanul bilang, bencana kekeringan di Lombok dan Sumbawa, rutin setiap tahun. Untuk itu, selalu ada anggaran suplai air bersih, pembangunan sumur bor, dan pembangunan embung. Karena anggaran terbatas, katanya, tak semua bisa dijangkau.

BPBD NTB juga mengajak pihak swasta, perusahaan, perbankan, lembaga kemanusiaan untuk membantu penyaluran air bersih. Bantuan dari lembaga swasta ini cukup membantu mengatasi krisis air bersih.

 

 

 

30 desa di Sumenep kekeringan

Tak hanya di Lombok, Pulau Madura pun, salah satu di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, alami kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, menetapkan ada 30 desa di 11 kecamatan di Sumenep mengalami kekeringan, 11 kering kritis dan 19 kering langka. Sumenep terdiri dari 27 kecamatan dengan 330 desa.

Warga pun kesulitan mendapatkan air bersih ke sumber mata air. Mereka perlu mencari air berjarak dari 500 meter (kering langka) sampai tiga kilometer (kritis).

Secara nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis bencana kekeringan, per 11 September 2019, terdampak pada 11 provinsi, 109 kabupaten dan kota, 844 kecamatan, dan 2. 945 desa. Ada empat kabupaten berstatus tanggap darurat, 31 kabupaten dan kota siaga darurat.

Di Jawa Timur, terdapat 26 kabupaten dan kota, 196 kecamatan, 588 desa, satu kabupaten tanggap darurat, dan 14 kabupaten dan kota siaga darurat.

Moh Sya’rawi, warga Desa Badur, Kecamatan Batu Putih, mengatakan, sejak dulu memang langganan kekeringan setiap tahun tetapi kini mereka terbantu karena ada sumur bor.

Sebelum 2017, dia dan keluarga harus memikul air pakai dua jerigen berkapasitas 30 liter, 40 liter, dari pesisir Pantai Badur, sejauh dua kilometer dari rumah. Biasa, mereka dua kali sehari, pagi dan sore.

Kalau kemarau bertepatan dengan puasa, waktu memikul air pagi dan setelah shalat tarawih, kadang pula setelah maghrib.

“Selesai shalat tarawih tak bisa langsung tidur,” katanya, baru-baru ini.

Bagi warga desa dengan jarak lebih dua kilometer, biasa membuat jeding (penampungan air) besar untuk menampung air hujan ukuran 5×4 meter persegi, kedalaman lima meter.

 

Di Desa Montorna, Kecamatan Pasongsongan, Sumenep, kekeringan. Desa lain di kecamatan itu yang alami kekeringan kritis seperti Desa Campaka, Prancak, Montorna, Lebeng Barat. Foto: Fathol Amin

 

Sebelumnya, pada 2006, pernah pengeboran, namun hasil minim alias tak menemukan sumber mata air.

“Awalnya, tidak pasrah ngebor karena pemerintah ngebor tidak dapat (sumber air), hingga putus asa. Tidak ada jalan lain,” kata Sya’rawi.

Pada 2017, ada pengeboran air berhasil dan terus bertambah hingga kini. Setidaknya, ada tujuh bor di desanya dengan rata-rata kedalaman setiap bor 80 meter.

Dia sendiri sudah tak memikul air dari pinggir pantai. Namun, katanyam sebagain warga masih ada yang memerlukan air dari pemerintah.

Sedikit berbeda yang terjadi di Desa Montorna, Kecamatan Pasongsongan. Warga Montorna, Rosidi Bahri, warga Montorna, mengatakan, dalam lima bulan ini tak turun hujan, bisa dipastikan kekurangan air, terutama di bagian utara. Di dusun bagian selatan, menyuplai air dari desa tetangga, Payudan Daleman, Kecamatan Guluk-guluk, dengan pipa. Di sana, sebagian warga mempunyai sumber air.

Di Montorna, pasokan air bersih warga, biasa dari sisa-sisa air sumur dan sawah masing-masing, ada juga yang mendapatkan suplai air dari pemerintah, atau membeli dari desa tetangga.

Menurut Rosidi, tarif air bermacam-macam, biasa dalam satu tandon air dengan volume 1. 000 liter diangkut dengan mobil Mitsubhishi L300 Rp150. 000. Uang itu, katanya, lebih tepat disebut biaya pengangkutan air dari Desa Lebbeng Barat, Pasongsongan.

“Sebenarnya, kalau warga Montorna itu tak menanam tembakau atau tanaman yang membutuhkan air, saya rasa meskipun tak hujan sampai lima bulan, cukup kalau hanya untuk minum dan mandi. Air cepet habis untuk menyiram tembakau,” katanya.

Air dari pemerintah untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, cuci, dan mandi.

Masyarakat Dusun Tanunggul, Bangsoka, Komis, Delima, dan Berkongan, terletak di bagian utara desa, katanya, paling terkena dampak kekeringan karena jarak cukup jauh dari sumber air di Desa Payudan Daleman.

Di Montorna, ada sungai, namun debit air kurang besar, kala musim kemarau panjang akan kering.

Abdul Rahmad Riadi, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pemerintah Kabupaten Sumenep, mengatakan, dalam menangani kekeringan mereka lakukan ada tiga cara, penanggulangan jangka pendek dengan dropping air, dan jangka menengah pengeboran. Kemudian, jangka panjang akan berkoordinasi dengan berbagai organisasi perangkat daerah untuk menangani kekeringan yang terjadi setiap tahun.

Dia bilang, hujan diperkirakan turun akhir September tetapi memasuki Oktober juga belum hujan.“Kalau prediksi awal sebenarnya September ini sudah berakhir. September perkiraan sudah masuk musim penghujan, tapi sampai sekarang ternyata masih belum ada,” kata Rahman.

Menurut dia, pasokan air yang dibagikan ke desa-desa menyesuaikan jumlah kartu keluarga masyarakat setempat.

 

Kekeringan di Desa Badur, Sumenep, Madura, yang menyebabkan kekeringan hingga warga krisis air. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Rahman mencontohkan, jumlah air yang sudah didistribusikan kepada masyarakat, Desa Juruan Laok, sebanyak tujuh rit, Juruan Daya (9), Badur (11), Tengedan (8), Batu Putih Daya (9), Bantelan (4), Larangan Barma (7), dan Montorna (20).

Suplai air itu, katanya, hanya untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, mandi, dan nyuci, bukan untuk pertanian. Pemerintah dropping air sejak Juli 2019 dengan dana Rp80 juta.

“Kalau sampai akhir September tak turun hujan, pasti pasokan bertambah, kita akan mengajukan tahap kedua dropping air,” katanya.

Untuk penanganan kekeringan jangka panjang, BPBD sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air akan membangun perpipaan dari sungai di bawah tanah, di Desa Montorna. Pipa akan menuju tempat tinggi menggunakan terknologi pompa tanpa mesin berkekuatan tekanan sampai 200 meter.

Dia mengatakan, kalau proyek ini berjalan lancar, mampu mengairi 200 hektar lahan pertanian.

Menurut Rahman, teknologi ini sudah diterapkan di Gunung Kidul dan ada hak paten. Proyek ini akan dibangun di Desa Montorna pada 2020 yang memiliki struktur geografis serupa dengan di Gunung Kidul.

“Nanti, lihat saja realisasi 2020, teknologi baru tanpa mesin, pompa tanpa mesin.”

Noer Lisal Ambiyah, Kepala Bidang Waduk, Sungai, dan Pantai Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Sumenep, membenarkan rencana yang dikatakan BPBD itu.

Selain itu, untuk mengatasi kekeringan, mereka juga akan membangun dua embung baru, satu di Desa Montorna,Kecamatan Pasongsongan, dan Desa Sawah Sumur, Kecamatan Arjasa. Saat ini, katanya, masih proses pembebasan lahan.

Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Alam, katanya, sudah membangun 28 embung tersebar di seluruh Sumenep, dua bocor, yaitu di Kolpoh dan embung Juruan.

Lisal mengatakan, pembangunan embung sesuai lokasi, terutama di cekungan biar tak banyak biaya.

“Jadi harus perhitungan analisa yang menguatkan, bagaimana setelah embung itu dibangun, air itu bisa penuh, dimanfaatkan di musim kemarau,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama:

Dua anak di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, bermain di sawah yang kering. Terlihat rekahan tanah karena kemarau panjang. Sebagian besar petani di desa ini tak menanami sawah mereka dan sebagian gagal panen. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Bantuan air bersih kepada warga di Sumenep. Foto: Rosidi Bahri
Exit mobile version