Mongabay.co.id

Orangutan Tapanuli Masuk Daftar Primata Paling Terancam Punah di Dunia

 

 

Ketika orangutan Tapanuli ditemukan pada 2017 di hutan hujan Sumatera, Indonesia, mereka menjadi spesies kera besar ke delapan yang dikenal di dunia [termasuk manusia]. Terakhir kali spesies kera besar dideskripsikan dalam sains adalah ketika bonobo ditemukan di Republik Demokratik Kongo pada 1929.

Dari awal keberadaan orangutan Tapanuli, hingga ditemukan, bagaimanapun, kehidupannya terus dalam bahaya besar akibat aktivitas manusia seperti konversi habitat menjadi lahan pertanian serta deforestasi dan degradasi hutan disebabkan pembangunan bendungan dam hidroelektrik yang terdapat di area tersebut.

Interaksi dengan manusia sering membuat orangutan terluka atau mati. Spesies ini berstatus Kritis [Critically Endangered] dalam Daftar Merah IUCN.

 

 

Diperkirakan, kurang dari 800 orangutan Tapanuli tersisa di alam liar, menjadikannya sebagai salah satu primata paling terancam punah di dunia, menurut sebuah laporan baru yang dikeluarkan Bristol Zoological Society [BZS], Primate Specialist Group of the International Union for Conservation of Nature [IUCN] Species Survival Commission [SSC], International Primatological Society [IPS], dan Global Wildlife Conservation [GWC].

“Primata Dalam Ancaman: 25 primata paling terancam punah di dunia 2018-2020” adalah iterasi ke sepuluh dari laporan yang dikeluarkan setiap dua tahun yang mendokumentasikan spesies primata dari seluruh dunia, yang menghadapi ancaman kepunahan paling parah. Ditemukan bahwa orangutan Tapanuli adalah salah satu primata paling terancam di dunia karena dampak kegiatan manusia, hampir tidak sendirian dalam hal itu: hampir 70 persen dari 704 spesies primata dan subspesies yang dikenal di dunia dianggap terancam; lebih dari 40 persen terdaftar sebagai Kritis [Critically Endangered] atau Genting [Endangered]. Daftar itu termasuk tujuh spesies primata dari Afrika, tujuh dari Asia, enam dari Neotropik, dan lima dari Madagaskar.

“Dimasukkannya orangutan Tapanuli yang sangat terancam punah dalam daftar resmi primata yang paling terancam di dunia tidak mengherankan jika mengingat ancaman yang ada pada populasi kecil ini, tetapi ini juga menandakan adanya peluang luar biasa,” Dirck Byler, direktur konservasi kera besar GWC dan wakil ketua untuk Kelompok Spesialis Primata SSC IUCN tentang Kera Besar, mengatakan dalam sebuah pernyataan.

“Sebagai rumah bagi orangutan Tapanuli dan dua spesies orangutan lainnya, Indonesia kini memiliki peluang untuk menjadi pemimpin dalam upaya konservasi kera besar dengan menerapkan berbagai langkah yang tidak hanya akan melindungi hewan khusus ini dan habitatnya, tetapi juga memiliki potensi untuk memberikan dampak positif bagi ekonomi dan mata pencaharian lokal melalui ekowisata.”

 

Owa Gaoligong hoolock, atau owa Skywalker. Foto: Fan Pengfei

 

Banyak spesies, seperti orangutan Tapanuli, mengalami penurunan populasi menjadi beberapa ratus individu atau kurang. Owa hoolock Skywalker, misalnya, hanya dinaikkan ke status spesies penuh [lengkap] oleh para ilmuwan pada 2017 dan menjadikannya masuk daftar 25 primata paling terancam punah tahun ini karena ada kurang dari 150 di alam liar.

“Perambahan pertanian, pembalakan komersial, fragmentasi dan isolasi habitat, serta perburuan [untuk perdagangan daging dan hewan peliharaan],” dikutip dalam laporan tersebut sebagai “ancaman utama” terhadap owa, yang ditemukan di hutan Pegunungan Gaoligong di perbatasan antara barat daya China dan Myanmar utara.

Diperkirakan kurang dari 2.000 monyet roloway tersisa di alam liar, meskipun spesies Critically Endangered dapat ditemukan di banyak hutan tropis Ghana dan Pantai Gading. “Penghancuran dan degradasi habitat mereka disertai perburuan tanpa henti untuk perdagangan daging hewan telah mengurangi jumlah populasi mereka menjadi seperti kumpulan kecil terisolasi,” tulis laporan itu.

Dalam beberapa kasus, hanya ada puluhan spesies tertentu yang tersisa. Lutung berkepala emas berada di ambang kepunahan hanya 50-60 individu tersisa di pulau Cat Ba di utara Vietnam, satu-satunya jajaran spesies yang diketahui.

“Perburuan telah diidentifikasi sebagai satu-satunya penyebab penurunan populasi yang dramatis dan drastis dari sekitar 2.400-2.700 pada 1960-an menjadi sekitar 50 individu pada 2000,” menurut laporan itu. “Lutung itu diburu untuk perdagangan obat-obatan tradisional dan olahraga.”

 

Monyet roloway. Foto: Andrew Gooch

 

Selain orangutan Tapanuli dan Owa hoolock Skywalker, enam spesies lain juga masuk dalam daftar untuk pertama kalinya: lemur tikus Bemanasy [Madagaskar], buffy tufted-ear [Brasil], Ecuadorian white-fronted capuchin [ditemukan di Peru dan Ekuador), monyet titi Olalla bersaudara [Bolivia], pied tamarin [Brasil], dan simpanse barat [Afrika Barat].

Ada empat spesies lain yang sebelumnya masuk daftar namun tidak lagi muncul dalam daftar terakhir ini: galago kerdil Rondo, kipunji, kolobus merah Sungai Tana, dan indri, tetapi spesies ini ditambahkan kembali ke daftar setelah sebelumnya dihapus.

 

Lutung berkepala emas. Foto: Neahga Leonard

 

Sekitar 12 spesies yang muncul pada daftar sebelumnya telah dihapus dari daftar saat ini, meskipun penulis laporan mencatat bahwa perubahan ini “tidak [dilakukan] karena situasi ke dua belas spesies yang turun secara populasi telah membaik. Dalam beberapa kasus, situasinya malah memburuk. Dengan melakukan perubahan ini, kami bermaksud menyoroti spesies lain yang terkait erat, yang diperkirakan akan sama suramnya dalam bertahan hidup.”

“Laporan ini mengungkapkan prediksi suram atau memburuk dari beberapa hewan paling luar biasa di dunia. Beberapa di antaranya sangat terkenal dan yang lainnya masih jarang dipelajari, tetapi semuanya dalam bahaya kepunahan dari penghancuran tanpa henti terhadap habitat mereka, perdagangan satwa liar ilegal dan perburuan hewan liar secara komersial, ”kata Christoph Schwitzer dalam sebuah pernyataan.

Schwitzer adalah Chief Zoological Officer di BZS dan juga berfungsi sebagai koordinator otoritas daftar merah IUCN untuk Grup Spesialis Primata SSC.

“Meski begitu, saya masih berharap ini semua belum terlambat. Ada peningkatan minat dan kesadaran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap masalah lingkungan di dunia, khususnya di kalangan generasi muda, yang banyak di antaranya lebih terinspirasi, bersemangat, dan termotivasi dari sebelumnya untuk mengambil bagian membuat perbedaan. Dukungan semacam ini, dikombinasikan dengan tindakan konservasi yang efektif, menjadi sangat penting jika kita ingin menghindari kepunahan hewan-hewan yang luar biasa dan karismatik ini selamanya.”

 

Orangutan Tapanuli. Foto: Maxime Aliaga

 

Sumber

Schwitzer, C., Mittermeier, R.A., Rylands, A.B., Chiozza, F., Williamson, E.A., Byler, D., Wich, S., Humle, T., Johnson, C., Mynott, H., and McCabe, G. (eds.). (2019). Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2018–2020. IUCN SSC Primate Specialist Group, International Primatological Society, Global Wildlife Conservation, and Bristol Zoological Society, Washington, DC.

 

Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.

 

 

Exit mobile version