Mongabay.co.id

Wawancara dengan Benediktus Bedil: Menjaga Pesisir Pulau Lembata dengan Adat “Muro”

Sosoknya sederhana, bisa dibilang pendiam. Namun ternyata dibalik semua itu, pria bernama Benediktus Bedil ini memberikan kontribusi yang tidak bisa dipandang sebelah mata untuk upaya pengelolaan wilayah konservasi pesisir didaerahnya. Dia bersama dengan Barakat, lembaga yang dia dirikan, melakukan revitalisasi aturan adat yang disebut “muro” untuk menjaga lingkungan pesisir dan laut di Teluk Hadakewa, Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Mongabay berkesempatan mewawancarai Benediktus Bedil (55) atau biasa di sebut “om Ben” sesaat setelah dia mendapat anugerah Birdlife Indonesia Award dalam acara “Merayakan Capaian Konservasi di Wallacea, di Makassar-Sulawesi Selatan pada awal Oktober 2019 lalu. Berikut petikan wawancaranya:

 

Ikan-ikan karang mulai kembali di ekosistem yang mulai terpulihkan di Teluk Hadakewa. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Mongabay (M): Selamat atas anugerah yang diberikan kepada om Ben. Bisa ceritakan sejak kapan Anda mulai terjun ke dunia sosial kemasyarakatan. Apa yang menjadi latar belakangnya?

Benediktus Bedil (BB): Sejak tahun 1993, saya tertarik pada dunia pemberdayaan sosial kemasyarakatan alih-alih menjadi PNS. Diawali saat bergabung dengan sebuah LSM, Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel)-Keuskupan Larantuka. Kami melakukan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Selanjutnya sempat bergabung selama satu tahun dengan lembaga internasional, Oxfam GB. Tidak lama kemudian, saya dan beberapa kawan mendirikan LSM sendiri bernama Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat).

Kecintaan pada lingkungan tersebut yang mengantar saya pada keputusan untuk memperkuat Barakat untuk kegiatan di wilayah pesisir dan laut.

Baca juga: Saat Laut Dijaga dengan Muro, Ikan-Ikan pun Datang Kembali ke Lamatokan

M: Apa yang selama ini sudah dilakukan oleh Barakat untuk alam dan masyarakat di Lembata?

BB: Kami melakukan pengelolaan pesisir dan laut dan ketika ada dukungan peluang pendanaan dari program The Criticial Ecosystem Partnership Fund (CEPF) Wallacea. Barakat memberanikan diri untuk menangkap peluang itu. Tentunya tidak semudah yang kita bayangkan semula, karena lewat proses yang panjang, dan perlu  dukungan dari teman-teman di NTT maupun dari luar NTT.

Dalam program ini, kami mendapat pengalaman pengembangan daerah perlindungan laut (DPL) ketika memiliki kesempatan belajar di Desa Bahoi Sulawesi Utara. Proses ini didukung oleh Penabulu dan Burung Indonesia, serta kami banyak didukung teori dan praktek lapangan oleh Yapeka dan Yayasan Manengkel.

Pelajaran selanjutnya ketika bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Luwu pada tahun 2018. Kami menyadari bahwa DPL sama dengan zona inti, padahal disisi lain ada pemanfaatan masyarakat disitu. Misalnya, masyarakat di Teluk Hadakewa, Lembata sebenarnya telah memiliki kearifan adat dalam menjaga lingkungan yaitu “muro”. Muro adalah kawasan di darat-laut dan darat yang disepakati oleh mayarakaat adat untuk dilindungi lewat peraturan adat.

 

Ben Bedil saat menerima penghargaan Birdlife Indonesia Award di Makassar pada tanggal 2 Oktober 2019 yang lalu. Foto: A. Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

M: Dalam pelaksanaan program ini, dimana peran Pemerintah Daerah?

BB: Awalnya kami belum mendapat dukungan nyata. Namun berjalan waktu, saat ini Pemerintah Daerah memiliki kepedulian kepada masyarakat dan perlindungan pesisir dan laut di Kabupaten Lembata. Pemerintah Daerah pun telah mengakui muro dan mengeluarkan SK Gubernur No. 192/KEP/HK/209 tentang pencadangan kawasan konservasi perairan daerah di Kabupaten Lembata.

M: Saat ini bagaimana setelah adanya pendampingan?

BB: Di Teluk Hadakewa, saat ini telah ada perluasan dan penguatan konservasi pesisir dan laut menjadi lima desa dan berkembang dari 44,86 hektar menjadi 350,28 hektar.

Baca juga: Perairan Teluk Hadakewa, Dulu Marak Potas dan Bom Ikan, Sekarang Dilindungi lewat Adat

M: Apa tantangan yang Anda dan Barakat hadapi, dan bagaimana solusinya?

BB: Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membangun pemahaman di tingkat masyarakat tentang pentingnya muro. Di sisi lain, melakukan pendekatan dengan Pemerintah pun tidak bisa instan.

Proses pendekatan yang kami lakukan dilakukan dengan langsung turun bertemu dengan masyarakat. Kami menelusuri dan menjelaskan pada masyarakat. Kami jelaskan bahwa dahulu kala sudah ada muro, ada larangan menangkap ikan sembarangan karena ada tempat-tempat tertentu yang dikenal sebagai lokasi “tabungan” ikan. Kami jelaskan pula, bahwa muro ada karena berkaitan dengan ketahanan pangan.

Melalui seri konsultasi publik dan juga kesepahaman dan kesepakatan adat, muro hidup kembali. Pihak Pemerintah juga datang hadir, seperti dari DKP, TNI AL, Pemerintah Desa. Selanjutnya ada sumpah adat. Pada kesepakatan adat hadir juga Bupati dan Gubernur.

M: Apa harapan Anda ke depan?

BB: Di Teluk Hadakewa ada 14 desa, saat ini yang terdampingi baru empat desa, masih ada 10 desa yang belum terdampingi. Sementara itu di Teluk Leuleba baru satu desa yang didampingi, sementara itu jumlah total desanya ada 17.  Harapan kami semua desa bisa membuat muro, terdampingi prosesnya dan didukung oleh semua pihak termasuk Pemerintah Daerah. Catatan lain adalah, untuk perjalanan kegiatan ke depannya, maka penguatan institusi lembaga adat sangat penting untuk menjalankankan muro.

M: Masih optimiskah harapan itu tercapai? Mengapa?

BB: Optimis. Proses yang dilakukan dan ada beberapa pihak dari lima desa yang sudah dilakukan fasilitasi, mereka menunjukkan antusias tinggi. Melanjutkan apa yang telah dirintis, bahkan perlu diperluas ke daerah lain lewat dukungan legislasi para pengambil kebijakan.

M: Apa pesan untuk kita semua?

BB: Dunia konservasi seperti kajian keragaman hayati di Lembata itu penting. Lembata kaya akan biota laut yang berguna untuk ketahanan pangan. Sekarang Lembata banyak mendapatkan tantangan sehingga penting untuk lakukan terobosan dengan waktu yang ada.

Melalui muro sebagai kearifan lokal, kami coba untuk mempertahankan dan memanfatkan sumber daya alam secara berkelanjutan di Lembata. Mari bersama menjaga alam ini untuk generasi kita dan generasi yang akan datang.

 

Foto utama: Nelayan Desa Lamatokan di Teluk Hadakewa, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version