Mongabay.co.id

Potensi Gempa Itu Ada dan Harus Diantisipasi

 

 

Peringatan pontensi gempa di Kota Surabaya dengan kekuatan maksimal magnitudo 6,5 yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] pada 2017, harus disikapi dengan kewaspadaan. Edukasi dan sosialisasi merupakan langkah antisipasi yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya.

“Kita sudah sosialisasi ke pelajar dan masyarakat yang terdampak. Bila dua sesar itu aktif, seluruh Surabaya terdampak, sehingga kita perlu ada pencegahan dan pendidikan gempa itu sendiri,” terang Whisnu Sakti Buana, Wakil Wali Kota Surabaya, Kamis [03/10/2019].

Pemerintah Kota Surabaya juga melakukan pengecekan kesiapan bangunan, baik rumah biasa maupun gedung bertingkat, memastikan apakah sudah memenuhi persyaratan tahan gempa atau belum.

Menurut Whisnu, Pemerintah Kota Surabaya akan menjadikan kajian dan hasil penelitian tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya sebagai bahan evaluasi menyusun Perda Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] tahun 2022. Perda saat ini belum memasukkan SNI Bangunan Tahan Gempa, meski pada persyaratan untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan [IMB] sudah mengarah pada ketentuan yang disyaratkan.

“Sambil evaluasi Perda RTRW, seluruh bangunan di sekitar, yang memang berada di sesar aktif akan dievaluasi IMB berikut standarisasinya,” jelasnya.

Baca: Dapatkah Satwa Memprediksi Terjadinya Gempa?

 

Taman Bungkul, taman terbaik se-Asia 2013 yang menjadi tempat favorit masyarakat Surabaya berkumpul. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pada seminar “SNI Bangunan Tahan Gempa dan Penelitian Gempa Kota Surabaya” yang digelar Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim [PSKBPI] ITS Surabaya bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR], Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian PUPR, Lukman Hakim mengatakan, Standard Nasional Indonesia [SNI] merupakan syarat mutlak mendirikan sebuah bangunan, terutama mengantisipasi potensi gempa. Bangunan diharapkan tahan dan terhindar kerusakan saat terjadi gempa.

“SNI kita sudah diakui, karena kita memperbaiki kondisi kegempaan maka konstanta satu wilayah berbeda-beda, baik itu mengenai pembagian wilayahnya, A, B, C, dan D. Semua bangunan di wilayah tertentu, harus update dengan SNI baru,” paparnya.

Penghitungan mengenai massa bangunan dan percepatan gempa menjadi dasar penentuan kategori bangunan. Perubahan SNI yang memperhatikan hal-hal terperinci terkait daya tahan gempa, harus menjadi standar semua bangunan. SNI Bangunan Tahun Gempa nantinya akan jadi acuan penerbitan izin pemerintah daerah atas bangunan yang akan berdiri di suatu kawasan.

“Semua bangunan harus berstandar nasional,” terangnya baru-baru ini.

Baca: Banyak Satwa Laut Terdampar, Apakah Terpengaruh Gempa?

 

Gambaran identifikasi struktur patahan yang melintasi Kota Surabaya, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Dua patahan

Dua patahan atau sesar aktif yang ada di Surabaya dan Waru dapat menimbulkan gempa sewaktu-waktu. Cara pandang masyarakat terhadap bencana harus diubah, dari responsif atau baru bertindak setelah bencana terjadi, menjadi antisipatif melalui mitigasi bencana.

Amien Widodo, geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim [PSKBPI] ITS Surabaya, menyebut dua sesar aktif yang berpotensi gempa tersebut tidak perlu membuat takut, namun tetap waspada. Edukasi penguatan bangunan tahan gempa harus diberikan kepada masyarakat, sambil melakukan penilaian bangunan yang telah ada selama ini.

“Tinggal menyiapkan rumahnya, tanahnya, dan orangnya. Harus ada assessment terhadap bangunan sekolah, bangunan heritage, dan cagar budaya, karena dipakai banyak orang sehingga harus ada yang menilai. Kita menyarankan, Pemkot Surabaya melakukan penilaian dan memberikan contoh bagaimana cara menguatkan rumah warga,” terang Amien.

Pengenalan bencana dan hidup harmoni dengan alam sekitar harus menjadi pedoman masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Kesadaran itu, merupakan salah satu cara meminimalkan risiko, termasuk gempa. Cara-cara menyelamatkan diri dan bertahan hidup menjadi modal menghindarkan jatuhnya banyak korban,” jelasnya.

Baca: Surabaya, Wajah Kota Ramah Lingkungan di Indonesia

 

Bangunan tahan gempa ini berlokasi di Desa Deah Glumpang, Meuraxa, Banda Aceh, sebagai lokasi penyelamatan warga. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Guru Besar Fakultas Teknik Sipil, ITS Surabaya, Prof. Priyo Suprobo, menyatakan masyarakat harus diberi pemahaman mengenai potensi kekuatan gempa di Surabaya, serta cara menyelamatkan diri. Kondisi bangunan di Surabaya, meski diyakini sudah menerapkan SNI Bangunan Tahan Gempa, tetap perlu diperiksa kondisinya.

“Kita harus bersahabat dengan gempa. Surabaya sudah melakukan penelitian yang dilakukan Pak Amien dan teman-teman dalam dua tahun ini. Ini merupakan bagian mengantisipasi gempa,” katanya.

Selain itu, dibutuhkan pula peta zonasi gempa di Kota Surabaya. Peta itu nantinya dijadikan pedoman dan petunjuk warga kota untuk evakuasi, menyelamatkan diri ke tempat lebih aman. “Setelah itu, perlu ada kawasan, khusus peta gempa di Surabaya. Langkah berikutnya, kita cek satu persatu bangunan-bangunan yang ada,” tutur Priyo.

Jawa Timur pernah diguncang gempa besar yang dirasakan seluruh Jawa pada 1836. Pada 1953, terjadi juga gempa yang dirasakan cukup kuat di wilayah Surabaya dan sekitar.

 

 

Exit mobile version