Mongabay.co.id

Ini Champion Penjaga Hutan dan Pemberdaya Masyarakat di Jabar

 

Lee Roy Matia berusaha mencerna kata-kata Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Heather Variava yang diucapkan setengah memaksa berbahasa Indonesia itu dengan logat khasnya di Gedung Sate, Minggu (6/10/19) lalu.

Siang itu, ia memenuhi undangan Project Thrive, suatu program pendampingan kolaborasi bagi kelompok tani seperti Roy. Roy merupakan Ketua Harian Paguyuban Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jawa Barat yang membawahi 6.000 kelompok tani yang beranggotakan sekitar 4,4 juta orang.

Roy dan kelompoknya terpilih sebagai salah satu champion lokal di Jawa Barat. Mereka dianggap berhasil memberdayakan masyarakat dekat hutan melalui usaha hasil hutan bukan kayu. Peternak sapi perah, perkebunan kopi, serta ekowisata adalah unit usaha yang dikembangkan Roy dan kawan – kawan.

Selain Roy ada empat nama yang memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan pola sama. Mereka juga telah mengikuti pendampingan hampir satu tahun.

Ada Abdul Kodir Kelompok Landuni dengan madu hutan Cianjur, Abdul Latief Kelompok Jaka Kencana membudidayakan mangrove di pesisir Indramayu, Sutardi Kelompok Tani Hutan mengembangkan jamur tiram Cirebon serta Enung Nuraeni Kelompok Indung yang mengolah limbah sayur menjadi sop kering di perbatasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Di ujung mikrofon, Heather Variava memuji kerjasama yang tengah dijalankan Indonesia-Amerika Serikat yang kini menginjak 70 tahun. Katanya, hubungan bilateral itu perlu dirawat keberlanjutannya.

“Kami senang bisa berkolaborasi dengan Indonesia dalam bidang konservasi, sosial, budaya maupun hal lainnya. Di Jawa Barat, Amerika Serikat bangga atas kerjasama yang melibatkan warga,” kata Heather Variava.

baca : Mangrove yang Tidak Pernah Mengkhianati Abdul Latief

 

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Heather Variava mengungkapkan hubungan kerjasama Amerika – Indonesia yang sudah berjalan 70 tahun di Gedung Sate, Minggu (6/10/19) lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Project Talent-Hardwork-Grit-Creativity (Thrive) sendiri terbentuk atas komitmen pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Project ini digagas berkat menjuarai “sayembara” di Amerika Serikat dan mulai dilaksanakan pada tahun 2018. Isunya fokus pada sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.

Ketua Project Thrive, Gita Syahrani, menuturkan alasan mengangkat tema perhutanan sosial dirasa bermanfaat. Pasalnya, model ini jadi tumpuan untuk mengatasi persoalan pengelolaan kehutanan dengan cara menyejahterakan masyarakat.

Pertanyaan besar yang selama ini kerap dilontarkan: mampukah masyarakat lokal secara efektif mengelola dan melindungi hutan? Beberapa skema perhutanan sosial kemudian dibangun, diantaranya melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan adat. Tujuannya akses hutan untuk kesejahteraan.

Projek ini, kata Gita, secara spesifik mencoba untuk memformulasikan bidang keahlian yang relevan ke dalam pelatihan melalui kolaborasi antara keahlian hukum bisnis dari Social Corporate Law Society (Socolas), kemampuan branding dan komunikasi dari Mongabay-Indonesia, bimbingan kemampuan kewirausahaan berbasis masyarakat oleh The Local Enablers (TLE), serta berjejaring bersama Ikatan Alumni (IKA) Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Jabar, dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.

“Mengapa di Jawa Barat? Karena Jawa Barat memiliki penduduk yang paling padat,” kata Gita.

“Agaknya, perlu usaha untuk menpertahankan hutan. Sebab, secara esensial, hutan adalah sumber air bagi sungai-sungai yang menjadi sumber air minum. Hutan adalah rumah oksigen dengan pepohonan yang ada di dalamnya.”

baca juga : Enung, Sang Pemberdaya dari Kaki Gunung Gede Pangrango

 

Para Champion dari Proyek Thrive berfoto bersama Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Mereka dianggap berhasil memberdayakan masyarakat dekat hutan melalui usaha hasil hutan bukan kayu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Gita bilang, tujuan akhir Project Thrive sebetulnya membuat rencana aksi jangka panjang. Hal ini diperuntukan untuk menjamin komitmen bersama terkait ekonomi hijau (green economy) sebagai paradigma anyar memadukan ekonomi berwawasan konservasi.

Meskipun, implementasi prinsip ekonomi hijau membutuhkan kreativitas agar bisa bertahan. Pekerjaan rumah berikutnya bagi program perhutanan sosial adalah pendampingan yang tepat agar mendatangkan manfaat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Output-nya kami mendorong mereka agar bisa berjejaring dan survive mempertahankan idealism mereka yakni tentang konservatif,” tutur Gita.

 

Hutan Jawa Barat

Sekilas tentang hutan Jawa Barat. Luas dan kualitas hutan diprediksi semakin menurun. Bahkan, sebagian besar hutan rusak berat. Hal ini dapat mengancam keselamatan manusia akibat bencana yang disebabkan rusaknya hutan tersebut.

Berdasarkan rekapitulasi Dinas Kehutanan Jabar tahun 2017, tingkat lahan kritis yang tersebar di 27 kabupaten/kota sudah menembus angka 1.264.839,97 hektare. Adapaun laju upaya penghijauan lahan luasnya kecil sekalui hanya 60.270,88 hektar selama periode penanaman mulai 2013-2017. Kondisi kian mengaskan bahwa banyak hutan dalam kondisi gundul.

Secara legislasi, luasan hutan di provinsi berpenduduk 50 juta ini telah diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/2003, seluas 816.603 hektare. Jumlah itu terdiri dari, hutan konservasi 132.180 hektare, hutan lindung 291.306 hektare, hutan produksi tetap 202.965 hektare dan hutan produksi terbatas 190.152 hektare.

Sekitar 684.423 hektar diantaranya di kelola Perum Perhutani Regional III Jawa Barat-Banten. Berdasarkan catatan Perhutani, hampir separuh kawasan yang dikelola BUMN ini masuk kategori kritis.

Akibatnya, Perhutani menanggung kerugian finansial. Pada periode 2017 hingga saat ini saja, kerugian mencapai Rp15 miliar. Angka segitu setara dengan anggaran Dinas Pendidikan Jawa Barat untuk membantu 7.000 siswa miskin bersekolah di sekolah negeri dan swasta untuk tahun ajaran 2019/2020.

Pelbagai informasi menyebut bahwa pembalakan liar paling parah terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Tahun itu merupakan tahun krisis moneter dan reformasi. Sebab, saat itu kondisi perpolitikan dan perekonomian nasional tidak stabil, sementara orang-orang jelata belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Padahal, mereka terimpit berbagai kebutuhan.

perlu dibaca : Sutardi yang Nyaman dengan Jamur Tiram

 

Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan akan melanjutkan program Thrive yang lebih besar di Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perubahan

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengapresiasi konsep Project Thrive tentang sustainable development yang merangkul isu lingkungan, kehutanan, ekonomi dan kesertaan masyarakat.

“Karena polanya dirancang secara profesional. Saya mendukung dan akan kita perbesar di tahun depan,” katanya.

Ridwan menuturkan, ekonomi hijau dapat menjadi spirit pembangunan baru. Ia juga memaparkan pentingnya penerapan indeks kebahagiaan dalam pembangunan. Menurutnya, ukuran kebahagiaan sangat penting demi mengasah wawasan yang konservatif.

“Kalau hutan lestari kan planet bumi ini lestari, kalau hutan di kita ada kerusakan yang merasa dampak kerugian kan bukan hanya di Indonesia, juga negara lainnya,” kata Ridwan Kamil.

Jauh sebelumnya, Indonesia memang berkomitmen terhadap green economy dengan berencana melakukan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Dasarnya, hutan Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia dengan hutan tropisnya. Sial, luasan tiap tahunnya menyusut drastis. Bahkan, pelbagai lembaga yang berfokus pada isu kehutanan keseringan mengeluarkan data – data cukup membikin kerut dahi.

baca juga : Ini Lebah Traveler dari Sukaresmi, Penghasil Madu Laduni

 

Gubenur Jawa Barat Ridwan Kamil menandatangi nota kesepahaman pengembangan Project Thrive di Gedung Sate Jalan Diponegoro Kota Bandung, Minggu lalu. Program ini merupakan Social Corporate Law Society (Socolas), Mongabay Indonesia (situs web asal AS), The Local Enablers (komunitas asal Unpad), IKA SKMA Jabar, dan Dinas Kehutanan Provinsi Jabar ini bisa memajukan ekonomi lokal atau UMKM sekaligus melestarikan kawasan hutan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sampai getol mengeluarkan laporan muram. Menurut laporannya, iklim global telah berubah. Dampaknya tidak hanya perubahan musim, tetapi juga bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Bencana hidrometeorologi ini, rupanya akan menjadi ancaman terbesar manusia ke depan.

Menurut United Nations Environment Program (UNEP), ekonomi hijau adalah ekonomi yang meningkatkan taraf hidup dan sekaligus keadilan sosial juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa merusaknya.

Seperti kata William Ruckelshaus, Direktur Environmental Protection Agency, Amerika Serikat, dalam “Business Week”, pada tahun 1990, “Nature provides a free lunch, but only if we control our appetites.”

Pasca ungkapan William, lahirlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. Maka KTT Bumi melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, model pembangunan yang menyejajarkan aspek ekonomi dengan sosial dan lingkungan.

Di sudut bangku penonton, Roy mengangguk paham. Ia semakin mantap menatap usahanya. Meski, ia harus mengakui tantangan berat yang dihadapi tak jauh dari cuaca dan musim yang tak menentu.

 

Exit mobile version