- Suaka Margasatwa Rawa Singkil merupakan hutan rawa gambut di Aceh yang menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser. Berdasarkan SK Nomor: 859/MenLKH/Sekjen PLA/11/2016, luasnya sekitar 81.802,22 hektar.
- Perambahan untuk perkebunan sawit masih terjadi di Suaka Marga Satwa Rawa Singkil, pihak BKSDA terus berupaya menyelesaikan tapal batas yang menjadi tuntutan masyarakat.
- Laporan Rainforest Action Network [RAN] 2019 menyebutkan, sawit ilegal yang ditanam di hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh, telah digunakan oleh perusahaan-perusahaan makanan ringan besar dunia.
- Pabrik sawit yang diinvestigasi RAN, sama sekali tidak memiliki sistem monitoring dasar untuk memastikan minyak yang dikelola tidak bersumber dari perusakan hutan. Padahal, hutan gambut Rawa Singkil dijuluki “Kota Orangutan Sumatera” karena populasi padatnya di sana.
Laporan Rainforest Action Network [RAN] 2019 menyebutkan, sawit ilegal yang ditanam di hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh, telah digunakan oleh perusahaan-perusahaan makanan ringan besar dunia. Sebut saja Unilever, Nestlé, PepsiCo, Mondelēz, General Mills, Kellogg’s, Mars dan Hershey.
Gemma Tillack, Direktur Kebijakan RAN mengatakan, sejumlah perusahaan besar tersebut telah mengadopsi kebijakan untuk mengakhiri deforestasi dalam rantai pasokan, namun dalam perkembangannya masih masih menerima minyak sawit yang ditanam ilegal di Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilindungi. Hutan ini merupakan bagian dari hutan hujan dataran rendah Kawasan Ekosistem Leuser yang terkenal di dunia.
“Bukti investigasi kami sangat jelas,” ungkapnya, Rabu [02/10/2019].
Gemma menambahkan, pabrik sawit dalam investigasi RAN tersebut, sama sekali tidak memiliki sistem monitoring dasar untuk memastikan minyak yang dikelola tidak bersumber dari perusakan hutan. Padahal, hutan gambut Rawa Singkil dijuluki “Kota Orangutan Sumatera” karena populasi padatnya di sana.
“Hutan gambut ini tersambung dengan landskap Bengkung yang masuk Taman Nasional Gunung Leuser, yang juga habitat satwa liar dilindungi seperti harimau dan gajah sumatera.”
Baca: Laporan RAN: Pembukaan Lahan Seluas 245 Hektar Terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser
Investigasi RAN yang dilakukan awal 2019 menemukan, pohon sawit yang ditanam ilegal di Rawa Singkil telah menghasilkan tandan buah segar [TBS], yang dikumpulkan di perkebunan ilegal lalu dijual ke CV. Buana Indah.
“CV. Buana Indah merupakan satu dari lebih 20 agen yang menampung sawit hutan Singkil-Bengkung di Kawasan Ekosistem Leuser. CV. Ini mengirim sawit ke pabrik sawit yang dioperasikan PT. Global Sawit Semesta [GSS], yang kemudian memasok minyak sawit ke kilang-kilang yang dioperasikan perusahaan minyak sawit raksasa Golden Agri Resources [GAR] dan Musim Mas,” terangnya.
Baca: Laporan RAN: Perambah Kawasan Ekosistem Leuser Tetap Terjadi
GAR memiliki fasilitas pengilangan besar di Medan yang dipasok langsung dari pabrik-pabrik di sekitar kawasan Singkil-Bengkung. Menurut daftar pabrik yang dipublikasikan Januari dan Maret 2019, PT. GSS dan PT. Samudera Sawit Nabati [PT. SSN] merupakan pemasok GAR dan masuk daftar baru periode April hingga Juni 2019.
“Daftar pabrik yang diakses 7 Agustus 2019, menunjukkan bahwa Unilever, Nestlé, PepsiCo, Mondelēz, General Mills, Kellogg’s, Mars dan Hershey’s, semuanya mencantumkan PT. GSS dan PT. SSN sebagai pemasoknya. Karena itu, berisiko membeli minyak dari kelapa sawit ilegal yang dipasok dari CV. Buana Indah,” terang Gemma.
Baca: Laporan RAN Ungkap Usaha Sawit Indofood Terindikasi Langgar Hak Buruh
Sementara GAR, sambung Gemma, melalui rilis media yang dikeluarkan 30 September 2019 mengakui pabrik sawit sebagaimana yang diungkap dalam laporan RAN belum mampu melakukan monitoring keterlacakan rantai pasok 100 persen hingga ke perkebunan.
“Pabrik-pabrik tersebut menghadapi kesulitan mencapai tanggal tenggat yang diterapkan GAR pada Februari 2019, khususnya pada proses mendaftarkan dan memetakan tandan buah segar yang berasal dari petani swadaya. Pabrik-pabrik tersebut tidak membeli langsung dari petani tetapi melalui broker atau agen,” tegasnya.
Baca: Laporan RAN: Leuser Makin Terdesak, Warga dan Satwa Terancam
GAR sebagaimana keterangan tertulisnya mengatakan telah melakukan koordinasi dengan dua perusahaan pemasok mereka, yaitu PT. GSS dan PT. SSN, selain mengirim tim pengaduan untuk langsung verifikasi lapangan.
“Salah satu pabrik atau perusahaan pemasok sawit kami mengaku tidak membeli dari CV. Buana Indah dan perusahaan telah setuju untuk diaudit oleh tim pengaduan,” terang GAR menaggapi laporan RAN, 30 September 2019.
GAR menyebutkan, mereka menunggu tanggapan kedua perusahaan itu. GAR juga mengatakan, secara aktif berkoodinaasi dengan perusahaan pemasok yang dekat Kawasan Ekosistem Leuser, sejak diperkenalkan Kebijakan Sosial dan Lingkungan GAR pada 2015.
“Kami sedang membangun praktik bertanggung jawab dan membangun kemampuan penelusuran ke kebun atau Traceability to the Plantation hingga 2020,” jelas jawaban itu.
Namun, GAR mengakui perusahaan-perusahaan itu belum mampu membangun pelacakan hingga 100 persen karena terkendala kekurangan kapasitas dan diperlukan intervensi untuk melacak sekaligus memetakan buah sawit segar yang berasal dari petani swadaya.
Baca: Komitmen Keterlacakan Rantai Pasok Sawit Golden Agri, Bagaimana Perkembangannya?
Sementara Musim Mas, menanggapi laporan RAN mengatakan, Musim Mas telah melakukan pendekatan dengan pemasok dalam lima tahun terakhir. Telah memetakan area berisiko hingga tingkat desa.
“Pemasok kami telah diminta mengecualikan dua perusahaan seperti yang disebut laporan, PT. Indo Sawit Perkasa dan PT. Laot Bangko, sekaligus memastikan agen mereka tidak memasok dari Rawa Singkil,” terang Carolyn Lim, Corporate Communications Musim Mas.
Carolyn mengatkaan, Musim Mas terus berupaya menuju transformasi, khususnya di wilayah Singkil, dan memastikan dampak positif bagi petani sawit.
“Dua pabrik yang disebutkan di dalam laporan tersebut segera masuk mekanisme keluhan kami, dan memenuhi syarat menjalani Protokol Pembelian Terkendali/ Controlled Purchased Protocol kami setelah melalui pendekatan dan verifikasi lebih lanjut. Tidak ada kemungkinan menjalin bisnis baru dengan salah satu pabrik ini sampai mereka memenuhi persyaratan keberlanjutan kami,” ujar Carolyn.
Ada sembilan pabrik dalam rantai pasokan Musim Mas yang beroperasi di Kabupaten Singkil dan telah mencapai ketelusuran 53%, termasuk petani swadaya. Ditargetkan, akan 100 persen ketelusuran pada akhir 2020.
“Untuk petani sawit, kami menggunakan metodologi berfokus pada risiko, sentris desa, dan sumber daya di area beresiko tinggi,” ujarnya.
Baca juga: Perambahan di SM Rawa Singkil untuk Dijadikan Kebun Sawit Masih Terjadi
Tapal batas
Suaka Margasatwa Rawa Singkil berada di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, merupakan hutan rawa gambut bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser. Perambahan untuk dijadikan perkebunan sawit terus berlangsung di wilayah ini. Berdasarkan SK Nomor: 859/MenLKH/Sekjen PLA/11/2016, luas Suaka Margasatwa Rawa Singkil sekitar 81.802,22 hektar.
Data Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menunjukkan terjadinya perusakan. Pada 2016, deforestasi mencapai 219 hektar, di 2017 sekitar 520 hektar, dan 2018 mencapai 126 hektar. Sementara Januari – April 2019 terjadi deforestasi 17 hektar.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Sapto Aji Prabowo mengakui, perambahan Rawa Singkil untuk ditanam sawit memang terjadi.
“Hasil pantauan satelit yang dilakukan BKSDA Aceh bersama WCS, sekitar 77 hektar areal ini telah ditanami sawit ilegal,” terangnya, 7 Oktober 2019.
Sapto mengatakan, beberapa waktu lalu telah dilakukan pemasangan tapal batas antara Suaka Margasatwa Rawa Singkil dengan kebun atau tanah masyarakat. Namun, ada beberapa lokasi, khususnya di Kabupaten Aceh Selatan terjadi penolakan masyarakat sehingga tapal gagal dipasang.
BKSDA Aceh juga mengindentifikasi perusahaan yang menampung sawit dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
“Kami sedang menginisiasi pertemuan dengan sejumlah perusahaan sawit, membuat kesepakatan tidak lagi menerima sawit yang ditanam di Rawa Singkil. Terlebih, dijual ke luar negeri. Perusahaan-perusahaan itu memiliki persyaratan, salah satunya tidak merusak hutan,” tandasnya.