Mongabay.co.id

Palembang Tetap Berkabut Asap, Meski Penegakan Hukum Dijalankan

 

 

Tiga hari terakhir kabut asap pekat melanda Palembang, Sumatera Selatan. Padahal, dua pekan lalu lahan seluas 5.200 hektar milik delapan perusahaan disegel KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan], sejumlah pelaku pembakaran pun ditangkap dan ditahan. Palembang juga sesekali diguyur hujan. Lalu, mengapa kabut asap masih ada?

“Dibandingkan tahun kemarin [2018], musim kemarau kali ini masih ada hujan. Tapi, kenapa ya kabut asap tebal nian?” kata Susilo [57], warga Palembang, di Pasar 16 Ilir Palembang, Selasa [15/10/2019].

Kabut asap yang menyebabkan udara tidak sehat, ISPU [Indeks Standar Pencemaran Udara] di Palembang mencapai angka 192 pada Senin [14/10/2019] sore. Akibatnya, mengganggu berbagai aktivitas masyarakat, termasuk sekolah diliburkan hingga udara kembali sehat, atau tidak berbahaya.

Baca: Dikawal, Proses Hukum 8 Perusahaan di Sumatera Selatan yang Disegel KLHK

 

Kabut asap di pagi hari yang menyelimuti Kota Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Aparat kepolisian juga telah menangkap 23 tersangka pembakaran hutan dan lahan, serta penyegelan delapan perusahaan, yang seharusnya memberi efek jera para pelaku.

Delapan perusahaan itu adalah tiga perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] yakni PT. DGS, MBJ dan WAG, dua perusahaan di Musi Banyuasin yakni PT. HBL dan PT. TAC, dua perusahaan di Musirawas yakni PT. DIL dan TIA, serta satu perusahaan di Ogan Komering Ulu [OKU] yakni PT. LPI yang merupakan perusahaan asal Singapura.

“Baiknya ditembak saja pelaku pembakaran. Untuk perusahaan, selain ditutup, pimpinannya juga dihukum seumur hidup. Hampir setiap tahun kami tersiksa kabut asap. Negara kok sulit nian mengatasi persoalan ini,” kata Murni [54], warga Palembang.

Baca juga: Hujan Mulai Turun tapi Lahan Gambut Tetap Membara, Kenapa?

 

Sungai Musi yang diselimuti kabut, dilihat dari Jembatan Musi IV. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengapa terus terbakar?

Dr. Zulfikhar, pakar gambut dari World Agroforestry [ICRAF], menilai kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap musim kemarau, menunjukan, pertama, pemerintah dan tim ad hoc yang menangani persoalan ini tidak tahu apa yang sedang dan akan terjadi di lapangan. Mereka tahunya kalau ‘sudah terbakar dan berasap’.

“Buktinya, satu minggu setelah api padam karena hujan, kebakaran dan asap muncul lagi,” katanya, Selasa [15/10/2019].

Kedua, orientasi pemerintah dan tim ad hoc adalah memadamkan kebakaran, masih sangat sedikit upaya pencegahan. Ketiga, harus mengindentifikasi penyebab, pelaku dan lokasi awal dan akhir api.

Keempat, jangan berasumsi bahwa pasukan brigade kebakaran yang ada, baik di darat maupun udara mampu mengatasi, menghentikan, dan memadamkan kebakaran. “Kejadian kebakaran jauh lebih besar dari kemampuan pasukan yang ada.”

 

Anak sekolah yang mengenakan masker harus pulang ke rumah karena sekolah libur akibat kabut asap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Apa solusinya? Operasi intelejen, komunikasi efektif, pelibatan komponen masyarakat lokal, penyadartahuan, pemantauan perilaku, respon dan reaksi cepat harus dilakukan, didukung operasional dan logistik memadai. Ini pasti jauh lebih kecil jumlahnya ketimbang total biaya operasi darat dan udara selama ini.

“Terakhir, sistem komando dan kontrol harus efektif,” katanya.

 

Meski sekolah libur, tampak tiga siswa sekolah dasar belajar di teras rumah panggung di Sungai Ogan, Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Zulfikhar mengatakan, pada kondisi klimatologis ekstrim, pembuatan kanal blok untuk pembasahan sudah tidak efektif, karena tidak ada lagi air di kanal. “Pendekatan bio-fisik untuk perencanaan fire danger rating system menjadi tidak efektif, justru pendekatan antropogenik dengan melihat aspek psikologis, kecenderungan keperilakuan, motivasi, kepentingan dan penyadartahuan serta komunikasi adalah kunci penyelesaian persoalan kebakaran hutan, kebun dan lahan.”

Satu lagi, pengelolaan lahan dengan pemilihan jenis tanaman komoditi berkaitan dengan rencana pembakaran lebih lanjut dimusim kering tahun depan. Kenapa? Membakar lahan seperti “sonor” untuk tanaman semusim, mengelola lahan hanya 3-4 bulan ketika ditanami, selebihnya dibiarkan. Tahun depan semak belukar yang tumbuh dibakar lagi, untuk tanam semusim lagi.

Solusinya adalah pengelolaan lahan campuran tanaman semusim dengan tahunan, maka sepanjang tahun pemiliknya akan menjaga dan memelihara. “Contoh konkrit, beberapa tahun ini masyarakat Desa Telang, Makatijaya, Kabupaten Banyuasin, telah mengembangkan model mencegah terjadinya kebakaran hutan kebun dan lahan dengan cara tersebut,” ujar mantan Sekretaris Dinas Kehutanan Sumatera Selatan ini.

 

Warga Palembang tanpa menggunakan masker melintasi Jembatan Musi VI yang diselimuti kabut asap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Air

Dr. Edwin Martin, peneliti dari Balitbang LHK Palembang, mengatakan terkait dugaan lahan terbakar karena dikelola, mungkin atau tidak mungkin merupakan hasil dari proses pengelolaan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan [karhutla] makin menunjukkan bahwa pengelolaan lahan yang bersifat common pool resources [CPRs] tidak bisa parsial satuan lahan tertentu. Harus dalam unit ekosistem, yang bisa jadi melampaui unit KHG [Kawasan Hidrologi Gambut].

Api bisa terjadi di mana saja dan dari mana saja. Pengelolaan harus memiliki tujuan meminimalkan risiko karhutla, dari dua aspek yang tidak terpisahkan, biofisik dan modal sosial.

 

Mangrove di sekitar Tanjung Api-Api yang dinaungi kabut asap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari sisi biofisik, risiko karhutla akan minimal jika pengelola menggunakan prinsip utamakan air. Pertahankan air di bentang lahan, sebanyak mungkin, selama mungkin, dan semanfaat mungkin. Tetapkan areal kubah sebagai areal tergenang permanen dan kembalikan kondisi vegetasi aslinya.

“Patuhi aturan minimal tinggi muka air yang dengan titik pengamatan centroid pada puncak kemarau,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Selasa [15/10/2019].

 

Burung-burung migran di Selat Bangka yang juga terpapar kabut asap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari sisi sosial, pengelola wajib menjalin hubungan kepercayaan saling menguntungkan dengan masyarakat mukim terdekat, sebagai mitra suka dan duka. Pengelola harus aktif menjalin kerja sama aktif dan terpelihara dengan para pihak dalam bentang lahan, baik dalam satuan administrasi maupun ekosistem lahan. “Jika ini dilakukan, gambut yang dikelola tidak mudah terbakar atau dibakar,” lanjutnya.

Apakah tanaman sawit dan akasia tumbuh baik di gambut yang basah? Martin mengatakan, harus dipahami bahwa gambut sesungguhnya tergolong air. Komoditi apa pun harus menyesuaikan diri dengan kondisi alamiah gambut, bukan gambut yang dipaksa menyesuaikan dengan persyaratan tumbuh komoditi.

 

Nelayan di Sungai Ogan mencari ikan di tengah kepungan kabut asap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu, teknologi budidaya tanaman yang diciptakan manusia seharusnya diarahkan untuk tidak melawan kondisi alamiah. Misalnya, apakah tidak mungkin di masa depan, iptek menghasilkan suatu jenis tanaman dengan kemampuan perakaran seperti sagu tetapi menghasilkan buah seperti minyak sawit.

“Atau, jenis penghasil serat dengan karakter akar pohon gerunggang [asli gambut] namun cepat tumbuh seperti akasia. Ini tantangan kita,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version