Mongabay.co.id

Menimbang Aksi Pemerintah Tangani Karhutla

Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan melalui darat di Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: BPBD Sumsel

 

 

 

 

Agustus lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berang pada Luna Maya. Aktris dengan 22 juta pengikut di media sosial Instagram itu dinilai asal berkomentar perihal kebakaran hutan dan lahan di Jambi.

Melalui sebuah postingan di media sosial Instagramnya, Luna Maya menyampaikan tiga hal, pertama, kebakaran hutan di Jambi, masih belum padam per 24 Agustus 2019 dan ada peningkatan titik api. Kedua, api telah diupayakan pemadaman oleh berbagai pihak, termasuk BPBD, BNPB, Polri, TNI, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat. Ketiga, Presiden Joko Widodo beserta KLHK diminta memperhatikan masyarakat terdampak.

Merespon Luna Maya, Rafles B Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK, seperti dikutip di media, menyatakan, postingan Luna Maya tak berdasarkan fakta. Luna dikatakan tak tahu kondisi lapangan, tak ikut membantu memadamkan api dan asal bunyi perihal karhutla.

Keterlibatan aktris ternama dalam kampanye melawan karhutla dapat memperluas diskursus publik dengan signifikan. Sayangnya, ketika ada pejabat publik malah menanggapi dengan memakai argumentum ad hominem (melawan argumen lawan dengan menyerang ke hal-hal personal). Lagipula, gugurnya petugas pemadaman api satu bagian dari jutaan kedukaan karena kebakaran lahan terus mendera negeri ini.

Laporan penelitian Public health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September–October 2015 oleh sejumlah peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia mencatat, 100.300 kasus kematian dini karena krisis kebakaran yang menghancurkan hutan Indonesia pada 2015. Sebanyak 91.600 korban merupakan penduduk Indonesia, selebihnya negara tetangga.

 

Kebakaran di konsesi perusahaan sawit PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi. Kebun sawit ini berdekatan dengan hutan lindung gambut Londerang. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Harus diakui, sejak 2015, beberapa instrumen struktural diupayakan pemerintah dalam penanganan karhutla, seperti mendirikan Badan Restorasi Gambut dan larangan pemberian izin baru untuk hutan primer dan lahan gambut diperpanjang.

Pasca itu, data deforestasi menurun. Menurut kajian World Resources Institute (WRI), antara 2016 dan 2017, kehilangan tutupan pohon di Indonesia turun 60%. Meskipun begitu, sejauh mana faktor moratorium menjadi penyebab atau jangan-jangan karena luasan hutan primer dan lahan gambut itu yang makin menyusut. Hingga makin sedikit lahan bisa dibuka.

Dalam rentang 2015-2017, berdasarkan data KLHK, hutan Indonesia menyusut sekitar 2 juta hektar, dari 128 juta hektar jadi 125,9 juta hektar.

Menurut analisis pemetaan Greenpeace Indonesia (2018), terungkapkan sejumlah  kegagalan dalam melindungi hutan dan lahan. Lebih dari satu juta hektar hutan di area moratorium terbakar antara 2015-2018. Kebakaran hutan dan laju deforestasi meningkat di areal yang seharusnya dilindungi, setelah moratorium berlaku pada 2011.

Kerap setelah memberikan izin penggunaan lahan ke perusahaan, pemerintah tak mampu mengontrol dampak kegiatan pelaku usaha terhadap masyarakat dan lingkungan. Baik itu dari tataran membangun regulasi hingga menegakkan aturan hukum.

Atas bencana karhutla 2015, misal, masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah melakukan gugatan warga (class action), menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas kelalaian menanggulangi kabut asap.

Karhutla mengakibatkan kerugian dalam banyak sektor, antara lain, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat.

 

Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pada Maret 2017, PN Palangkaraya melalui Putusan Nomor 118 mengabulkan sebagian dari tuntutan GAAs. Poin tuntutan antara lain memerintahkan presiden selaku tergugat segera membuat turunan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan karhutla.

Kemudian, tergugat wajib membuat tim gabungan terdiri dari KLHK, Kementerian Pertanian, dan Kementrian Kesehatan, terkait penanggulangan karhutla. Juga, pembangunan rumah sakit khusus paru-paru, membuat ruang evakuasi khusus karhutla, dan tim gabungan penanggulangan kebakaran.

Pemerintah tetap kukuh dan merasa sudah bekerja maksimal. Pemerintah banding atas putusan PN Palangkaraya ke PT Kalimantan Tengah (putusan Nomor 36 bahkan sampai ke meja kasasi Mahkamah Agung (Putusan Nomor 3555 2018 diumumkan 16 Juli 2019).

Dua upaya hukum terakhir ini juga gagal membuktikan, pemerintah sudah bekerja maksimal mengatasi dampak kebakaran hutan dan lahan.

Kembali ke postingan Luna Maya di akun Instagram tadi, masyarakat bisa menilai, sebenarnya siapa yang asal bunyi dan siapa yang belum bekerja dengan maksimal?

 

*Penulis adalah analis hukum dan kebijakan Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili lembaga.

 

Keterangan foto utama:  Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan melalui darat di Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: BPBD Sumsel

Pengendara dengan menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) saat melintas di salah satu jalan raya di Dumai, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version