Mongabay.co.id

Pembangunan PLTU Teluk Sepang Tidak Sesuai RTRW Bengkulu

 

 

Fakta baru pembangunan PLTU Teluk Sepang, Pulau Baai, Kota Bengkulu, yang tengah memasuki tahap uji coba, terungkap. Pembangunan PLTU yang tidak sesuai RTRW Bengkulu tersebut tersingkap di sidang penyerahan alat bukti tambahan dan pemeriksaan saksi fakta di Pengadilan Tata Usaha Negeri [PTUN] Bengkulu.

“Lokasi pembangunan tak sesuai RTRW, harusnya diselaraskan dulu,” kata saksi fakta Gunggung Senoaji, Senin [14/10/ 2019].

Gunggung Senoaji merupakan tim teknis penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [AMDAL] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu, perwakilan Universitas Bengkulu [Unib].

Di depan Majelis Hakim PTUN Bengkulu Baherman dan dua Wakil Hakim Indah Tri Haryanti dan Erick S Sihombing, Gunggung memaparkan bahwa tim teknis bekerja mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan.

“Tugas tim teknis memastikan kendali mutu atas Kerangka Acuan, AMDAL, dan RKL-RPL. Salah satu poinnya yaitu kesesuaian lokasi proyek dengan RTRW, baik provinsi maupun kabupaten/kota,” tegas dia.

Baca: Penolakan PLTU Teluk Sepang Terus Digemakan Warga

 

Limbah cair dari buangan PLTU mengeluarkan busa tebal dan bau menyengat. Foto: Yozi/Mongabay Indonesia

 

Dengan dasar tersebut, saat pembahasan dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan, sebagian tim teknis sudah mempersoalkan kesesuaian pembangunan PLTU dengan RTRW yang ada. “Kami perwakilan Unib mempertanyakan lokasi pembangunan itu, apakah sesuai RTRW? Bila tidak, maka Amdal harus dikembalikan ke pemrakarsa, ” lanjutnya.

Dalam RTRW Provinsi Bengkulu dijelaskan bahwa pembangunan PLTU berada di Nepal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara. Tim teknis merekomendasikan meminta petunjuk langsung dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. “Setelah itu saya tidak tahu lagi, apakah sudah keluar fatwa atau petunjuk KLHK,” kata dia.

Alasannya, tim teknis yang mempertanyakan keabsahan pembangunan yang tidak sesuai RTRW itu tidak pernah lagi diundang. “Sehingga kami tidak tahu hasil akhir dari komisi penilai Amdal,” jelas Gunggung.

Baca juga: Penyu Enggan Datang ke Teluk Sepang

 

Begini penampakan limbah PLTU yang mencemari lingkungan. Foto: Fajri/Mongabay Indonesia

 

Bukti nyata

Guna membuktikan gugatan izin lingkungan PLTU Teluk Sepang, PTUN Bengkulu sudah melaksanakan Sidang Pemeriksaan Setempat [PS] di lokasi pembangunan PLTU tersebut.

“Kami meninjau lokasi PLTU Teluk Sepang, Pulau Baai, demi proses persidangan,” kata Ketua Majelis Hakim PTUN Bengkulu, Baherman, Senin [07/10/2019]. Hadir di lokasi juga wakil hakim, Indah Tri Haryanti dan Erick S Sihombing, pengacara penggugat, pengacara tergugat I dan tergugat II, masyarakat Teluk Sepang yang tergabung Koalisi Langit Biru, beserta Yayasan Kanopi dan polisi.

Di lokasi pembangunan, mulut dan hidung Baherman sesekali ditutup rapat dengan masker N95 putih. Bau busuk memang tercium di Pantai Teluk Sepang selama beberapa pekan terakhir. Sumbernya dari pembuangan air limbah PLTU.

Tinjauan siang itu dimulai pukul 14.00 WIB. Agenda pertama mengunjungi lahan berdirinya PLTU. Sebab, dalam tuntutan penggugat, lokasi pembangunannya berada di atas hamparan hutan mangrove seluas 10 hektar.

Namun, kedatangan hakim PTUN itu dicegah pihak perusahaan, terlebih untuk masuk ke dalam bangunan. Akhirnya, hakim dan rombongan berinisiatif mengukur titik koordinat atau GPS di depan gerbang PLTU.

Berikutnya, rombongan menuju lokasi pembuangan limbah air bahang di Pantai Teluk Sepang. Dalam dalil tuntutan warga Teluk Sepang, pembangunan PLTU ini mengakibatkan kerusakan ekosistem laut dan penurunan kualitas air. Di lokasi ini, rombongan menyaksikan pembuangan limbah hasil uji coba metal Cleaning Waste Water Treatment Plant [WCWWTP] dan Naeutralization Plant [NP].

WCWWTP merupakan instalasi pengelolahan limbah cair dan air buangan boiler drum, sedangkan NP unit netralisasi yang berfungsi menetralkan PH dari air buangan demineralization water plant. Pada proses ini, dilakukan injeksi asam klorida.

Masalahnya, hasil kedua aktivitas itu, sejak uji coba Sabtu [10/08/2019], menimbulkan limbah berbusa tebal, kental, dan berbau menyengat. Dari pengakuan petani yang kebunnya berdekatan PLTU, Jalaluddin mengatakan, puncak terparah pencemaran terjadi pada Senin [16/09/2019] dan Sabtu [05/10/2019].

“Dua hari itu yang paling banyak cairan limbah,” kata dia.

Jalaluddin menjelaskan, masyarakat Kelurahan Teluk Sepang yang mayoritas petani dan nelayan, resah atas kejadian itu. “Kami khawatir pastinya. Kami berharap, izin lingkungannya dicabut,” keluhnya.

 

Kedatangan hakim PTUN untuk melihat kondisi langsung PLTU dicegah pihak perusahaan, Senin [07/10/2019]. Foto: Suarli/Mongabay Indonesia

 

Jawaban Tergugat I

Menanggapi tuntutan Penggugat [Koalisi Langit Biru], sebelumnya pengacara dari Tergugat I [Gubernur Bengkulu], Abdusy Syakir menjawab melalui lembar jawaban tergugat pada Sidang Mendengar Jawaban Tergugat Gubernur Bengkulu dan Lembaga Online Single Submission [OSS] sebagai Tergugat II, pada Rabu, 31 Juli 2019.

Berkaitan dengan dalil Penggugat yang menyatakan adanya pencemaran udara, pengacara Tergugat I menegaskan bahwa PLTU dibangun di wilayah paling ujung pelabuhan Pulau Baai, lahan Pelindo.

“Pemerintah Provinsi Bengkulu sudah menetapkan sebagai pelabuhan, juga stok file perusahaan batubara dan perusahaan cangkang kelapa sawit. Aktivitas tinggi ini sangat mungkin debu berterbangan,” terangnya.

Terkait dalil penurunan kualitas air, menurut Tergugat I kelayakan terhadap limbah air yang dibuang ke laut harus diuji, setelah itu baru dikaji izin kelayakannya. Sedangkan dalil kerusakan ekosistem laut, dijelaskan bahwa setiap hari perusahaan batubara dan cangkang kelapa sawit mengeluarkan bermetrik ton batubara dan cangkang sawit di pelabuhan Pulau Baai.

“Dalam pemindahan, sangat mungkin batubara dan cangkang sawit tumpah ke laut,” terangnya.

Perihal dalil kerusakan hutan mangrove, serta fungsi kawasan hutan lindung, Tergugat I menegaskan hal itu adalah sangat keliru. “Sudah ditegaskan bahwa terdapat bermacam-macam perusahaan batubara dan perusahaan cangkang sawit yang menjadikan area yang dikuasai pelindo dan berbatasan langsung dengan fasilitas PLTU yang sedang dibangun,” lanjut Tergugat I.

 

Gunggung Senoaji bersaksi di sidang penyerahan alat bukti tambahan dan pemeriksaan saksi fakta di PTUN Bengkulu, Senin [14/10/ 2019]. Foto: Suarli/Mongabay Indonesia

 

Ombudsman minta bekukan izin

Terkait sangketa pembangunan PLTU Teluk Sepang, Ombudsman Republik Indonesia pada Rabu, 25 September 2019, mengirim surat edaran nomor B/924/RK.01/IX/2019 terkait Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan [LAHP] izin lingkungan pembangunan PLTU Teluk Sepang kepada Yayasan Kanopi, selaku pendamping warga dalam upaya penolakan PLTU.

“Surat kami terima Rabu, 2 Oktober 2019,” kata Juru Kampaye Kanopi Bengkulu, Olan Sahayu.

Surat yang ditandatangani Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai itu, memberitahukan pihaknya pada 12 September 2019 mengirim LAHP nomor 0175/IN/III/2019/JKT terkait dugaan maladministrasi dalam proses pembangunan PLTU di Teluk Sepang, Kota Bengkulu, kepada Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah [Bapedda] Provinsi Bengkulu.

Juga pemberitahuan, sebelumnya pada 22 Agustus 2019, Ombusman sudah mengirim surat yang sama kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu.

Dalam surat tersebut, Ombudsman menyampaikan dua pernyataan penting. Pertama, Kepala Bappeda Provinsi Bengkulu melakukan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Surat Nomor 650/0448/BAPPEDA perihal surat rekomendasi RTRW lokasi PLTU 2×100 MW dan jaringan transmisi 150 kV, pada 3 Mei 2016 kepada Direktur PT. Tenaga Listrik Bengkulu.

Kedua, Kepala DLHK Provinsi Bengkulu melakukan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur dalam proses penilaian dokumen kerangka acuan sebagai bagian dokumen Amdal PLTU.

 

Pantai Teluk Sepang senja hari. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Atas hal tersebut, Ombudsman meminta beberapa tindakan korektif Kepala Bapedda dan Kepala DLHK Rovinsi Bengkulu, paling lama 30 hari setelah surat LAHP disampaikan.

Poin penting itu adalah, Kepala Bapedda diminta melakukan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Provinsi Bengkulu, agar pembangunan PLTU sesuai tata ruang sebagaimana pasal 31 Pepres 4/2016.

Berikutnya, Kepala DLHK diminta membatalkan keputusan Ketua Komisi Penilai Amdal Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 57 Tahun 2016 tentang persetujuan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan rencana pembangunan PLTU, pada 25 Juli 2016. Juga, meminta DLHK menyampaikan usulan kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Provinsi Bengkulu untuk membekukan izin lingkungan PT. Tenaga Listrik Bengkulu sampai adanya perubahan RTRW yang mengakomodir PLTU di Teluk Sepang, Pulau Baai, Kota Bengkulu.

Terkait pernyataan maladministrasi dan dorongan pembekuan izin lingkungan dari Ombusdman RI kepada DLHK Bengkulu, Mongabay Indonesia berupaya menghubungi Kepala Dinas LHK Provinsi Bengkulu, Sorjum Ahyan, sejak Jum’at pagi. Namun, hingga Rabu [16/10/2019] pagi, belum ada respon.

Mengutip Antara Bengkulu, Sorjum mengatakan akan menindaklanjuti surat dari Ombudsman tersebut. “Kami bersama organisasi perangkat daerah akan menindaklanjuti surat tersebut, sesuai arahan Ombudsman RI,” katanya, Kamis [03/10/2019].

 

 

Exit mobile version