Mongabay.co.id

Bagi Masyarakat Dayak, Berladang Itu Sekaligus Menjaga Keragaman Hayati

 

 

Sistem berladang di Kalimantan telah lama menjadi kajian antropolog. Sebut saja Michael R. Dove [1988] yang meneliti cara berladang masyarakat Dayak Kantuk, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

“Dia menyebut berladang dengan sistem tebas-tebang-bakar sebagai strategi adaptasi orang Kantuk terhadap alamnya. Hutan hujan tropis mempengaruhi tingkat keasaman tanah cukup tinggi,” terang R Giring, antropolog dan dewan daerah Walhi Kalbar, baru-baru ini.

Untuk mengurangi kadar asam tanah dan menambah hara atau kesuburannya, maka sistem tebas-tebang-bakar cocok di tanah Kalimantan. Berladang bagi masyarakat Dayak adalah praktik bercocok tanam dengan kearifan lokal, berdasarkan adat istiadat dan hukumnya dengan aneka benih lokal.

Ggiring mengajak melihat fakta sejarah sosial budaya perladangan di Kalimantan yang telah ada sejak ribuan tahun. “Tidak ada persoalan selama “budaya padi” ini berlangsung. Namun, ketika investasi besar-besaran masuk ke wilayah dan ruang-ruang hidup peladang, ketika itu pula bentuk-bentuk kearifan lokal dipersoalkan,” papar Giring, menanggapi pernyataan Menteri Polhukam, Wiranto, yang menuding peladang sebagai penyebab kebakaran hutan, pertengahan September 2019.

Baca: Pengakuan Hutan Adat Iban yang Tak Kunjung Datang

 

Menjaga hutan adalah menjaga kehidupan.Hutan adat seluas 9.453,5 hektar ini selalu dijaga kelestariannya oleh Masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kepentingan akan tanah, hutan dan lahan dari para pemodal tak dipungkiri selalu hadir di belakang jargon pembangunan, kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kemakmuran. Di penghujung Orde Baru tahun 1997, peladang dianggap penyebab asap. Tuduhan tersebut menimbulkan banyak respon berbagai daerah, termasuk para temenggung.

Dua dekade terakhir, jumlah peladang berkurang. Akses masyarakat adat semakin kecil seiring masifnya ekspansi tanaman industri, perkebunan monokultur skala besar, hingga tambang. Penyebab lain, terobosan pertanian sistem intensifikasi berupa sawah gencar digerakkan hingga pelosok. Pertambahan penduduk, termasuk transmigran, turut menambah timpangnya alokasi tanah, hutan dan lahan di Kalimantan Barat [Kalbar].

“Dampak buruk ekspansi investasi berbasis tanah, hutan dan lahan adalah merusak sendi-sendi kehidupan sosial, budaya, religi dan ekonomi masyarakat adat dan petani lokal,” kata Giring.

Tak heran, Kalbar adalah provinsi ke enam dengan perusahaan tambang terbanyak. Terdapat 558 buah perusahaan tambang, selain itu lahan seluas 14,6 juta hektar telah dibebani izin usaha perkebunan kelapa sawit, HTI, dan HPH. Suka tidak suka, korbannya masyarakat adat dan petani setempat.

Baca: Izin Lima Perusahaan Diusulkan Dicabut, Gubernur Kalbar: Kebakaran di Konsesi Perusahaan Terbukti

 

Kebakaran hutan di Kalimantan Barat merupakan persoalan besar yang terus terjadi hingga saat ini. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Melestarikan keragaman hayati

Giring menyebutkan, berladang berdasarkan kearifan lokal merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Di ladang, masyarakat Dayak menanam aneka benih lokal seperti jenis-jenis padi, mentimun, palawija, labu, dan sayuran. Orang Dayak Bakatik, yang punya sebaran paling banyak di Kabupaten Bengkayang, mengenal istilah uma’ mototn.

Uma’ adalah ladang di dataran rendah atau sedang, kemudia taya’ jenis ladang khusus untuk lahan yang ditanami aneka sayuran. Padi biasa dan padi pulut ditanam di ladang, baik uma’ maupun uma’ mototn, di selanya ditanam jagung, labu, aneka timun, dan lainnya.

Dayak Iban Pareh di Semunying Jaya menanam benih padi “pon” di lading. Dayak Bakatik di Kampung Baya, Desa Rodaya, menanam belasan jenis benih padi termasuk ketan, yaitu pade panyanggong, nyawan, banuang, santang, sekayap, pade tabah, pelau, pade bauk, pade juan, pade sarikat, pejaji, dan sengkabak.

“Bermacam benih lokal juga dibudidayakan komunitas Laut dan Senganan, yaitu orang Dayak yang masuk Islam, yang berladang. Mereka berada di Bengkayang, Sambas, Landak, Sekadau, Sintang, dan Kapuas Hulu,” papar Giring.

Baca juga: Bagi Masyarakat Iban Sungai Utik, Hutan Adalah Ibu

 

Sungai Utik yang berarti putih, atau jernih dalam Bahasa Dayak Iban. Sungai ini merupakan sumber kehidupan. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Berladang tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, juga melestarikan ikatan spiritual ritual petani dengan tanah dan leluhurnya. Saat berladang, ‘jiwa-jiwa’ padi ditimang, dihormati, dan didoakan kepada Sang Pencipta agar tumbuh subur dan menghasilkan. Padi memiliki jiwa yang wajib dihormati.

Kata Giring, personifikasi padi sebagai entitas berjiwa menimbulkan sikap penghormatan tertentu orang-orang Dayak. Sebagai contoh, berlaku larangan bersiul ketika melewati atau memasuki ladang yang sudah ditumbuhi padi. Apalagi jika padinya menguning. “Bersiul atau berteriak-teriak dipercayai akan mengusik jiwa padi dalam bahasa Bakatik,” lanjutnya.

Hakikat tanah, hutan dan lahan berdimensi holistik untuk kehidupan dan keselamatan petani. “Penegakan yang serampangan dan salah sasaran dari inpres pengendalian karhutla, yang disusul dengan maklumat larangan karhutla dari Kapolda Kalbar pada 5 Juli 2015 dan Edaran TNI-Kodim 1207/BS di Putussibau pada Maret 2017, sejatinya adalah salah paham,” terang Giring.

Salah paham juga dikontribusikan minimmya ruang diskusi atau dialog praktik berladang dengan kearifan lokal. Hanya segelintir orang yang tertarik dengan tema yang tidak komersial ini. “Publikasi perladangan berkearifan lokal pun sangat sedikit,” tuturnya.

 

Danau yang berada di lahan gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Konflik hukum

Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat menyatakan akan bersurat ke Menkopolhukam, minta penjelasan langsung terkait pernyataan tersebut. “Kami berharap pernyataan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan ada ruang dialog yang disertai itikad baik,” ungkap Yohanes Mijar Usman, Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalbar.

Sekretaris Jenderal Dayak International Organization [DIO], Dr. Yulius Yohanes, menambahkan pernyataan itu bisa menimbulkan kemarahan masyarakat Suku Dayak. “Kendati tidak menyebut Suku Dayak pembakar lahan, tetapi menuding peladang di Kalimantan penyebab kebakaran lahan, otomatis mengarah orang Dayak. Sebagian besar mereka merupakan petani ladang yang buka lahan dengan sistem bakar,” ungkapnya.

Menurut Yulius, buka lahan dengan sistem bakar orang Dayak, selama ribuan tahun selalu memperhitungkan kobaran api tidak meluas, tiap kali membakar ladang. Bakar ladang selalu dilakukan bertahap, sebelum, selama, dan sesudah membakar ada ritualnya. “Pertengahan September 2019, sudah lewat musim bakar lahan masyarakat Dayak. Sekarang memasuki musim menugal, tapi peladang masih jadi kambing hitam,” tambahnya.

Selain itu, lokasi kebakaran lahan terjadi di gambut, masyarakat Dayak tidak menggarap gambut. “Banyak perusahaan disegel karena lahannya terbakar atau dibakar. Tahun 1970-an ke bawah tidak ada kebakaran meluas. Tapi saat investasi perkebunan kelapa sawit datang, kebakaran terus terjadi,” ungkap Yulius.

Pernyataan Wiranto merupakan bentuk ketidakpahaman Pemerintah Republik Indonesia terhadap kehidupan Masyarakat Adat yang haknya dilindungi dunia internasional. Ini sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.

“Sistem religi Dayak sebagai pembentuk karakter, identitas dan jati diri untuk berdamai dengan leluhur, berdamai dengan alam semesta, serta berdamai dengan sesama dan negara,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version