Mongabay.co.id

Tanam Sagu di Kampung Kaliki, Menabung Pangan Masa Depan

Saat penanaman bibit sagu di beberapa hutan adat di Kampung Kliki. Wargapun senang demi pasokan pangan masa depan. Foto: Dinas Pertanian, Holtikultura dan Perkebunan

 

 

 

 

Kampung Kaliki, berada di Distrik Kurik, di bagian selatan Kota Merauke, Papua. Kampung ini unik karena berupa daratan yang berada di tengah rawa. Bak menyerupai perahu, dengan bagian tengah agak lebar, paling sempit di ujung.

Di sana berdiri rumah-rumah warga, kelapa dan beragam pepohonan seperti nangka. Pada setiap pekarangan rumah mereka bisa ditanami pohon salam, wati—tumbuhan adat Marind–, jeruk. Juga sayur mayur macam, kacang panjang, tomat, cabai, kemangi, terung, keladi, sawi, bayam, dan kangkung. Tanaman tumbuh subur. Selain bercocok tanam, warga juga hidup dengan berburu binatang seperti tuban, rusa, saham, babi hutan, maupun biawak

Perumahan warga pakai daun sagu dan berlantai tanah alias gubuk. Sebagian orang atap dari seng. Ada juga rumah beton dan bagian paling belakang berdiri kamar mandi dan WC, bantuan pemerintah pusat. Populasi penduduk sekitar 568 jiwa, dengan kondisi kampung di kelilingi rawa.

Menuju ke Kaliki, medan cukup berat, terlebih kala musim hujan. Saya ke sana pada musim kemarau.

Kondisi jalan aspal pecah tak beraturan, hingga membentuk bongkahan aspal dan semen berantakan di sepanjang jalan Kampung Sumber Mulya. Setelah tiba di Kampung Sumber Mulya, tampak hamparan padi di sawah yang mulai menguning. Ada juga yang sedang panen.

Dari sini, perjalanan ke Kaliki masih jauh, harus melewati Rawa Ser. Ia membatasi daratan dan Kampung Kaliki. Kendaraan sulit melintasi jalan ini karena rawa.

Nathan Ndiken, warga Kaliki mengatakan, ikan tangkapan rawa dan sayur mayur lumayan banyak tetapi akses jalan sulit hingga hanya konsumsi sendiri.

“Warga terisolir sekali. Sulit. Pemerintah Merauke seakan tak mau ambil pusing. Beruntung musim panas tanah tawa ini bisa dilalui hingga tiba di Kampung Kaliki,” katanya. Kalau musim penghujan, sulit sekali mau datang ke kampung ini.

 

Tanaman sagu di Kampung Kaliki. Foto: Aga[itus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

 

Tanam kembali sagu

Karena rawa gambut, kawasan sekitar rawan kebakaran kala kemarau. Hutan atau dusun sagu, pernah terbakar hingga tutupan jauh berkurang. Badan Restorasi Gambut, masuk dan berupaya mengembalikan lagi hutan sagu warga. Badan ini mendapat respon baik warga. Restorasi jalan dengan menanam tumbuhan lokal, macam sagu.

Bagi warga, dana tanam sagu dari BRG ke Kampung Kaliki, sangat bermanfaat. Matheos Kaize, kepala Kampung Kaliki  mengatakan, warga menyambut baik penanaman sagu oleh BRG. Dia bilang, warga sedia menanam sagu sesuai wilayah adat mereka, yakni, Gebze, Mahuze, Kaize dan Ndiken. Pada September lalu, lahan seluas 10 hektar ditanami bibit sagu.

Dari survei BRG, potensi potensi lahan gambut di Kaliki cukup besar di Kaliki karena di kelilingi rawa.

“Tumbuh bagus. Lahan ini bekas sagu,” katanya. Lahan ini terletak sekitar 200 meter dari kampung. Dulu, hutan sagu yang terbakar.

Dia berharap, warga hati-hati menggunakan api atau membakar lahan hingga tak memicu kebakaran. “Lebih bagus, hutan di sekitar dipelihara dan lestarikan hutan sagu,” katanya. Kalau hutan terbakar, berdampak buruk pada warga dan pendapatan warga.

Untuk menjaga hutan sagu, katanya, perlu memiliki peraturan kampung (perkam).

Gunawan Setijadi, Kabid Perkebunan dari Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan bilang, sagu seluas 10 hektar di lahan gambut di sebelah kiri Kampung Kaliki. Tujuannya, menjaga rawa gambut tak terbakar lagi. Tumbuhan ini, merupakan pangan pokok orang Papua.

Penanaman gambut di sekitar rawa meliputi beberapa kampung, tak hanya di Kaliki, seperti Kampung Sumber Mulya, Sumber Rejeki di Kurik. Selama ini, tiga kampung ini fokus mengembangkan padi.

Sagu di Merauke, awalnya pangan pokok. Namun, gempuran beras dan proyek penanaman padi mendorong perubahan pola konsumsi warga. Luasan lahan sagu di Merauke, pun susut, tinggal sekitar 700 hektar saja.

“Upaya mengembalikan sagu lagi. Karena warga Kaliki memiliki makanan pokok sagu jangan sampai ditinggalkan. Semua urusan adat harus pakai sagu.” katanya.

Sebenarnya, orang Merauke, katanya, tak punya kebiasaan makan nasi, hingga mereka coba mengembangkan sagu lagi.

Dia berharap, hutan tumbuhan adat ini bisa terjaga. Warga, katanya, harus bertanggung jawab memelihara sagu.

 

Tampak api sedang melalap hutan di belakang Kampung Kaliki, Minggu (23/9/19). Foto. Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Dengan penanaman bibit di gambut seluas 10 hektar itu, dia yakin, dalam lima sampai 10 tahun ke depan terjadi pengembangan pesat asal terjaga alias tak terbakar.

Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan, melalui dana alokasi umum Kabupaten Merauke, juga ada program tanam sagu, antara lain di Kampung Tambat, Distrik Tanah Miring, sebanyak 10 hektar.

Dalam penanaman sagu ini, BRG melibatkan Dinas Pertanian, Holtikultura dan Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, Balai Taman Nasional dengan berbagai LSM lingkungan di Merauke .

Menanam sagu, katanya, sama dengan menabung pangan masa depan bagi generasi Kaliki. Untuk itulah, warga perlu menjaga dusun sagu. Sekaligus, dengan ada sagu, katanya, sebagai upaya pencegahan kebakaran hutan.

Forly Latul, pendamping BRG di Kabupaten Merauke, mengatakan, bertanam sagu, demi kekuatan pangan warga. Terlebih, katanya, di Kaliki, berbagai produk pertanian ada, seperti sayur mayur bahkan peternakan.

“Ada yang pelihara ayam selain sagu berlimpah. Ikan rawa seperti gabus, hewan buruan. Ada sayuran, seperti kacang panjang, mentimun, terong, kangkung cabut, tomat, cabai, bayam dan lain-lain,” kata Latul.

Robertus Ronny Tethool, dari WWF Kantor Merauke mengapresiasi penanaman sagu di Kaliki. Tipe hutan di daerah selatan ini, katanya, kala masa penghujan daerah terendam air, kala kemarau rawan terbakar hingga harus berhati-hati.

Kaize mengatakan, warga Kaliki juga punya lahan sawah. Kini, mereka menanami rendengan sawah dengan sagu. Mereka ingin gunakan pupuk organik hanya terkendala pengetahuan membuatnya. “Kami inginkan tenaga pelatih membuat pupuk organik.”

Dia juga mengeluhkan pemasaran hasil panen karena akses keluar susah. Dulu, mereka pernah dapatkan bantuan bibit petatas dari Dinas Pertanian, Holtikultura dan Perkebunan. Hasil panen menggembirakan tetapi susah memasarkan hasil panen keluar kampung.

Sebagian wilayah ulayat mereka juga sudah lepas ke perusahaan. Beberapa waktu lalu, Kaliki dikunjungi Dewan Gereja Kristen Dunia di Tanah Papua. Bersama Sinode Gereja Kristen se Tanah Papua dan Keadilan Keadilan Keutuhan Ciptaan (Sinode GKI Tanah Papua), mendesak perusahaan yang membongkar hutan, keluar dari Merauke, Papua. Mereka meminta kepada Presiden Joko Widodo, agar memperhatikan daerah ini. Beberapa perusahaan yang beroperasi di Merauke, seperti Medco, Cendrewasih Group dan PT Selaras Inti Semesta.

Generasi muda Kaliki,  katanya, mendapatkan informasi dari Pemda Merauke dan beberapa organisasi lingkungan hingga mereka ingin menarik kembali sebagian lahan yang sudah terambil perusahaan.

Kala lahan itu lepas, mereka masih kecil-kecil hingga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyesal dengan perbuatan para tetua yang telah melepaskan hutan ulayat.

 

Keterangan foto utama:  Saat penanaman bibit sagu di beberapa hutan adat di Kampung Kliki. Wargapun senang demi pasokan pangan masa depan. Foto: Dinas Pertanian, Holtikultura dan Perkebunan

Obet Mahuze, pemilik ulayat di lahan gambut senang dan bersyukur telah menanam sagu. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version