Mongabay.co.id

Asap Karhutla Jambi, Sekolah dan ASN Hamil Diliburkan

Api membara di perkebunan sawit milik PT BEP di Desa Puding, Kumpeh, Muarojambi, Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pukul 07,30 pagi, namun teras rumah masih tampak gelap. Sinar matahari nyaris tak mampu menembus miliaran debu yang mengapung di udara membekap Kota Jambi. Rabu pagi (16/10/10) itu yang terlihat hanya kabut asap putih.

Tak jauh dari teras di sepetak kamar, Zio masih pulas di dipan, seperti tak ada hal yang membuat bocah lima tahun itu harus bangun lebih awal pagi ini. Saat mata terbuka, dia hanya beranjak beberapa meter ke depan televisi, menonton Spongebobs sembari mengumpulkan puzzle terserak.

Sejak Selasa (15/10/19), Pemerintah Kota Jambi, Jambi, mengintruksikan semua sekolah PAUD dan TK di kota ini libur. Puncaknya 16 Oktober 2019, pukul 08.00, Data Air Quality Monitoring System (AQMS) Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi menunjukkan konsentrasi PM 2,5 tercatat 1.618, alias kategori berbahaya. ISPU tercatat 332 kategori berbahaya—berlaku hingga pukul 15.00, 17 Oktober.

Buruknya kualitas udara disikapi Wali Kota Jambi dengan mengeluarkan maklumat bernomor: 180/179 /HKU/2019, tentang antisipasi dampak kabut asap. Ia berisi aktivitas belajar siswa PAUD, TK, SD, SMP/sederajat libur hingga 19 Oktober.

Dalam catatan Mongabay, ini kali ketiga selama kabut asap mulai menyekap Kota Jambi, akhir Agustus lalu.

Pemkot Jambi, turut meliburkan pegawai tidak tetap dan ASN yang hamil. Swasta diimbau ikut meliburkan karyawan yang hamil mengikut ketentuan maklumat Walikota Jambi. Sekolah diminta untuk terus memantau kondisi udara melalui data realtime AQMS DLH Kota Jambi.

“Hari ini PNS yang hamil diliburkan, untuk ke depan kita lihat kondisinya,” kata Ardi, Kepala DLH Kota Jambi.

Dia mengimbau, masyarakat Kota Jambi mengurangi aktivitas di luar ruangan, terutama anak-anak dan kelompok yang rentan terserang ISPA. “Kalau pun terpaksa ke luar, gunakan masker.”

Dinas Pendidikan Kabupaten Muarojambi juga mengintruksikan, siswa sekolah mulai dari PAUD, TK, SD dan SMP atau sederajat mulai 17-19 Oktober mendatang libur. Tindakan sama juga dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin dan Kota Sungai Penuh dan Sarolangun.

 

KLHK menyegel konsesi PT BEP, di Jambi, karena karhutla. Foto: Yitno Supraptp/ Mongabay Indonesia

 

Korban karhutla

Wawan seketika panik ketika mengangkat telepon dari istrinya. Dia berbegas memutar kemudi mobil menuju rumah sakit Baiturrahim di Lebak Bandung, Kota Jambi. Habibi Rahmadan Irawan, anak ketiganya dikabarkan muntah-muntah hingga badan lemas.

Tak selang lama Wawan sampai di rumah sakit dan mendapati bocah 13 bulan itu terbaring dengan selang infus di tangan kanan. Semua agenda Wawan ke Palembang akhir September itu batal.

Seminggu Habibi dirawat di rumah sakit. Saat saya mengunjungi, balita itu sudah mulai membaik dan tak lagi diopname. Wawan cerita, hasil diaknosa dokter diduga makanan Habibi terkontaminasi.

“Hasil dianogsa dokter dari makanan. Ya, kan kabut asap ini ada kayak abu-abu bekas kebakaran gitu, mungkin makanannya kena itu,” katanya.

 

Kondisi miris buruh sawit yang mengungsi

Sekitar 60 kilometer dari Kota Jambi, Darman Iman Jaya, bocah sembilan bulan menangis di pengungsian. Ada puluhan buruh kebun sawit termasuk orangtuanya yang mengungsi di bekas gudang penyimpanan pupuk PT BEP di RT.04, Desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi.

Harepa, Kepala regu devisi I mengatakan, sejak 28 September mereka mengungsi dan tinggal di bekas gudang pupuk BEP. Total ada 70 orang lebih yang mengungsi, 20 anak-anak.

“Sudah tidak tahan lagi kami di dalam (BEP), kanan kiri, depan belakang asap,” katanya.

Konsesi BEP satu hamparan dengan PT Pesona Belantara Persada dan PT Putra Duta Indahwood (PT PDI), yang terbakar hebat. “Asap dari Pesona dari PDI mengarah ke kami (pondok), di tempat kami juga terbakar, tak tahan kami dikepung asap.”

Sebelumnya, pertengahan September saat mulai turun hujan Harepa dan yang lain pernah kembali ke pondok karyawan BEP, namun tak lama api kembali menyala dan membakar perkebunan sawit perusahaan. Mereka kembali mengungsi.

Mereka hidup terbatas. Kekurangan tikar untuk alas tidur, selimut bahkan makanan. Sejak konsesi BEP terbakar praktis mereka tak bisa kerja. Tak ada penghasilan, para pengungsi hanya bisa mengandalkan sisa uang untuk bertahan hidup.

“Apa yang ada, kami makan bersama,” kata Parisman.

Di tengah keterpurukan, Parisman termenung memikirkan nasib keluarganya. Sebulan sudah tak kerja, perusahaan tempat dia mengadu nasib disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena kebakaran.

“Kami gak tau lagi nasib ke depan. Apa masih bisa bekerja atau tidak.”

Kota Jambi, diselimuti kabut asap. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Empat warga meninggal

Kebakaran hutan dan lahan di Jambi, menelan korban jiwa. Pada 23 Agustus lalu, Asmara anggota Manggala Agni Daops Muara Bulian, Kabupaten Batanghari meninggal tertimpa pohon saat mencari sumber air untuk memadamkan api di Tahura di Km. 13, Desa Senami. Asmara sempat mendapatkan perawatan di RS Siloam, Kota Jambi sebelum akhirnya meninggal.

Belum satu bulan berselang, 13 September, Suparmi warga Rt.08 Desa Matagual, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari mengalami hal serupa. Ibu 40 tahun itu tertimpa pohon saat berusaha memadamkan api yang membakar kebun karetnya. Suparmi mengalami luka serius di bagian kepala hingga membuat nyawanya tak tertolong.

Meninggalnya Ahmad Tang pada 21 September, juga diduga karena kabut asap yang memicu asma kambuh. Lelaki 55 tahun warga Desa Sungai Jambat, Kecamatan Sadu itu diketahui memiliki penyakit asma akut. Sebelum meninggal, Ahmad pergi mencari ikan di hutan Taman Nasional Berbak Sembilang bersama anaknya, tepatnya di Desa Simpang Datuk, Kecamatan Nipah Panjang.

Kan dari rumah itu jauh mungkin kecapean, kan orang punya asma itu gak boleh kecapean,” kata Andi Helmi, Camat Nipah Panjang, saat dihubungi via telepon.

Andi tak bisa memastikan Ahmad meninggal karen kabut asap, meski saat itu Tanjung Jabung Timur disergap asap tebal.

Empat hari sebelumnya, kematian warga Suku Anak Dalam Pangkalan Ranjau, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muarojambi juga dikait-kaitkan dengan kabut asap. Suparlan diduga meninggal karena asma kambuh.

“Sebelum meninggal itu memang korban punya penyakit sesak napas. Waktu itu kabut asap lagi tebal. Lokasi rumah mereka itu jauh dari fasilitas kesehatan, 22 km dari Puskesmas, jadi sulit untuk mendapatkan penanganan kesehatan,” kata Zubaidah, koordinator Jambi Darurat Asap.

 

Upaya pemadaman di konsesi PT BEP. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Perbanyak rumah oksigen

Dia menganggap, Pemerintah Jambi bergerak lamban untuk menangani korban karhutla, terutama masyarakat adat yang tinggal di pinggiran. Kata Zubaidah, pemerintah seharusnya belajar dari kasus kebakaran 2015.

“Pemerintah ini seharusnya sudah belajar dari kejadian 2015. Sekarang ini mereka lebih fokus pada pemadaman, sementara penanganan korban karhutla lambat,” katanya.

Dia meminta, pemerintah membuat rumah oksigen di lokasi kebakaran untuk membantu masyarakat terdampak kabut asap.

“Kalau masyarakat adat, seperti Suku Anak Dalam ini hidup bergantung hutan, lokas jauh dari fasilitas kesehatan. Mereka hanya mengandalkan obat-obatan di hutan yang sekarang makin sulit mereka dapat.”

Sudah dua bulan Jambi diselimuti kabut asap, meskipun sempat berkurang kala hujan turun awal Oktober. Dampak kebakaran hutan dan lahan memicu banyak kasus kesehatan. Puluhan ribu orang jatuh sakit terserang ISPA dan diare.

Data dirangkum Mongabay dari Dinas Kesehatan Muarojambi, hingga minggu ketiga Oktober tercatat 20.102 orang menderita ISPA. Sebanyak 6.567, warga Muarojambi juga terserang diare. Di Tanjung Jabung Timur, sejak Agustus-September, ISPA hampir menembus angka 5.000.

ISPA di Kota Jambi, jauh lebih tinggi. Dinas Kesehatan Kota Jambi mendata sejak Agustus hingga minggu kedua Oktober ada 24.631 penderita ISPA. Sekitar 60% menyerang anak-anak, dan 66 perempuan hamil.

 

Kebakaran terus terjadi

Sejak Agustus kebakaran di Muarojambi, terus meluas hingga ke Taman Hutan Raya (Tahura) Tanjung. Ini kali kedua tahura terbakar setelah kebakaran hebat pada 2015.

Sebulan lewat Jarwo bersama 11 tim pemadam Tahura tak pulang ke rumah. Hari-hari habis di lokasi kebakaran bergelut dengan api.

“Kami balek cuma ambil logistik bae kalau habis. Habis itu balek lagi ke sini (tahura) madamin api,” katanya.

Tiga mesin robin dipaksa berjam-jam menyedot air lalu menyemprotkan ke gambut, meski mereka tahu usaha mencegah api tak meluas kecil kemungkinan berhasil. Api terus merayap di dalam gambut dan seketika muncul membakar semak belukar yang tumbuh liar di atasnya.

 

Jembatan Gentala Arasy, ikon Kota Jambi terlihat tertutup kabut asap. Fptp: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

“Setiap ada api, ada angin puting beliung. Kalau itu (puting beliung) datang, kami menyerah, nggak sanggup kami.”

Kemarau panjang yang terjadi tahun ini membuat sumber air di tahura mengering. Tim pemadam kesulitan mencari sumber air untuk pemadaman. Akses jauh juga menjadi kendala.

Jarwo menduga api yang membakar tahura rembetan dari hutan lindung gambut dan PT Putra Duta Indahwood (PDI), perusahaan pemegang izin konsesi HPH seluas 34.000 hektar di Muarojambi. “Kalau lihat titik hotspot-nya di situ (PDI),” kata Jarwo.

Api yang sulit dibendung terus bergerak liar membakar konsesi PT Wana Sponjen Indah dan PT. Bukit Bintang Sawit, yang berbatasan dengan tahura. Suherman Humas PT BBS bilang, kebakaran tak sampai meluas ke perkebunan sawit BBS.

“Waktu dapat kabar ada api kita langsung kerahkan alat berat buat kanal. Kan waktu itu (21 September) api lagi besar-besarnya. Cuma pinggiran saja yang terbakar nggak sampai meluas. Kalau yang luas itu PT. WSI,” katanya.

Hingga kini, api masih membakar tahura sekitar tiga kilometer dari plimer BBS. Menurut Suherman, 30 personel pemadam kebakaran BBS ikut dikerahkan. “Sudah seminggu kita bantu pemadaman, termasuk lima mesin.”

Kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang di Tanjung Jabung Timur juga terbakar. Nurazman, Kasi III TNBS mengatakan, api muncul di taman nasional sejak Agustus lalu, sempat padam saat hujan mengguyur wilayah Tanjung Jabung Timur. Awal Oktober, titik api kembali terditeksi di Resort Cemara.

Saat pemadaman, mereka menemukan jejak-jejak pencari ikan yang berhari-hari berada dalam TNBS. Kuat dugaan aktivitas pemancing jadi penyebab kebakaran saat ini.

“Kita belum bisa menyimpulkan siapa pelakunya,” kata Nurazman.

Hingga sekarang, puluhan personel gabungan masih berusaha memadamkan api. Mereka kesulitan menemukan sumber air. Pemadaman hanya bisa saat air sungai di dalam TNBS pasang jelang siang hari.

Helikopter waterbombing masih hilir-mudik menumpahkan ribuan ton air. Lokasi kebakaran yang jauh di tengah taman nasional membuat upaya pemadaman berjalan lamban. Lokasi terdekat menuju titik api berjarak enam kilometer dari Desa Sungai Cemara, Kecamatan Sadu, Tanjung Jabung Timur, alias 2,5 jam pakai perahu cepat melewati jalur sungai Desa Air Hitam Laut.

 

126.203 hektar terbakar

Dari Analisis Citra Satelit Lansat TM 8 dan Sentinel 2 yang dilakukan tim GIS Komunitas Konservasi Indonesia Warsi pada 2 Oktober 2019 menunjukkan, luas lahan terbakar meningkat pesat. Tercatat 126.000 hektar hutan dan lahan habis terbakar sejak Agustus lalu. Jumlah ini akan terus bertambah seiring kebakaran masih terjadi hingga kini.

Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf menyebut, dari analisis, 68% lahan terbakar merupakan gambut, atau sekitar 86.000 hektar. Kebakaran terluas justru berada kawasan berizin. Dalam hitungan KKI Warsi, konsesi HPH menjadi terluas, total 32.000 hektar.

Sebanyak, 41 perusahaan sawit di Jambi juga turut menyumpang lahan terbakar seluas 20.983 hektar. Disusul 19 perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri 16.456 hektar, hutan lindung 13.563 hektar, restorasi ekosistem 13.140 hektar. Kemudian, taman nasional 10.811 hektar, tanaman hutan raya 10.155 hektar, lahan masyarakat 2.956 hektar, hutan produksi terbatas 5.165 hektar dan hutan produksi konversi 169 hektar.

“Dari analisis ini terlihat, areal paling luas mengalami kebakaran merupakan kawasan yang memiliki managemen pengelola. Pada kawasan yang sejatinya ada pihak yang bertanggung jawab mutlak pada kawasan itu,” kata Rudi Syaf, Direktur Warsi.

Ada dua perusahaan pemegang izin HPH di Jambi, yakni PT. Pesonan Belantara Persada dan PT Putra Duta Indahwood. Hasil overlay KKI Warsi, kebakaran di Pesona sampai 15,702 hektar, setara 71% luas konsesi. Lebih 17.000 hektar atau separuh izin PDI juga terbakar.

Rudi bilang, status kedua HPH ini sebenarnya sudah tak aktif, namun izin tetap berjalan. Kedua perusahaan itu juga pernah terbakar pada 2015. “Akibatnya di areal ini terjadi tindakan-tindakan ilegal yang turut menjadi penyumbang kebakaran hutan dan lahan.”

Menurut Rudi, semestinya kedua izin dicabut karena terbukti tak mampu mengelola. Pemerintah dapat mengganti dengan pemagang izin baru atau dikelola lewat program reforma agraria alias untuk masyarakat.

Dua konsesi itu, merupakan kawasan hutan gambut dalam yang seharusnya menjadi fungsi lindung gambut.

Dia menilai, kebakaran besar di lahan gambut tahun ini karena pembasahan lahan gambut tidak menyeluruh. Intervensi BRG terbatas hanya di luar izin konsesi. Sementara banyak lahan gambut di izin konsesi perusahaan terbakar.

“Kalau buat sekat kanal harus seluruh kanal di gambut harus ditutup, baru terbasahi. Kalau kayak sekarang, ada yang ditutup ada yang tidak, kalau air yang tidak ditutup terbuktikan 2019, ini terbakar lagi. Intinya lahan gambut harus basah.”

Menurut dia, semua pihak harus kerja terpadu memulihkan gambut. Warsi mendorong, lahan gambut kedalaman tiga meter jadi fungsi lindung. “Jika langkah ini tidak diambil, Jambi akan mengalami masalah serius,” kata Rudi.

Ferri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, mendesak, pemerintah bersikap tegas mengevaluasi semua izin konsesi terutama di kawasan gambut. Feri menghitung, dari 600.000 hektar luas lahan gambut di Jambi, lebih 200.000 hektar terbebani izin.

“Belum lagi yang tidak punya izin resmi, ada yang dua hektar, 100 hektar, bisa jadi 80% lahan gambut sudah berubah fungsi.”

Menurut Ferri, izin-izin pemerintah justru merusak ekosistem gambut, hingga rentan terbakar saat musim panas.

“Gambut itu sudah berubah, sudah sakit. Banyaknya kanal dibuat itu untuk mengeringkan gambut, bukan menyehatkan gambut. Hingga rentan terbakar,” kata Ferri.

Dia juga melihat perusahaan tidak siap saat konsesi terbakar. Banyak perusahaan tak mampu menanggulangi kebakaran. “Pemerintah harus tegas mengevaluasi izin perusahaan, kalau tidak ingin kebakaran terulang lagi.”

 

Kerugian besar

Akhir Agustus, api dari Londrang begitu cepat membakar kawasan hutan, lahan kosong dan perkebunan di Tanjung Jabung Timur. Didik, Kanit Balakar Jambi menyebut, kurang dari tiga hari laju api lebih dari 30 kilometer. Banyak perkebunan warga habis terbakar, termasuk demplot jelutung, jabon, sengon, miliknya di Catur Rahayu maupun kelompok tani habis terbakar.

“Kalau HP (hutan produksi) di Catur Rahayu, Jatimulyo, Kota Kandis, Dendang, habis semua.”

Hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 682 hektar di Catur Rahayu yang diberikan Presiden Joko Widodo pada 16 Desember 2018 di Hutan Pinus, Kota Jambi juga terbakar.

Didik bilang, demplot jabon milik kelompok tani di Catur Rahayu berulang kali terbakar.

“Pada 2011 terbakar, 2013 terbakar, 2014 terbakar, 2015 habis, 2016 tanam (jabon) lagi, sekarang (2019) habis lagi.”

Tim pemadam kesulitan menjangkau titik api, karena tak ada jalur dibangun untuk mengantisipi saat kebakaran. Belum lagi masalah peralatan keselamatan tim pemadam yang tak mumpuni.

Badan Nasional Penanggulangan Bancana (BNPB) menghitung kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015 mencapai Rp221 triliun. Dikutip dari Fokusjambi.com, Gubernur Jambi (mantan) Zumi Zola menyebut total kerugian karhutla 2015 di Jambi mencapai Rp12 triliun. Lebih dari 130.000 hektar lahan Jambi terbakar.

Melihat luas karhutla di Jambi pada 2019 mencapai 126.000, Rudi memperkirakan nilai kerugian negara karena karhutla 2019, tak jauh berbeda dengan 2015.

Nilai kerugian itu, katanya, belum termasuk dampak kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang terganggu. “Kalau korban ISPA, anak tidak bisa sekolah, penerbangan delay itu dihitung luar biasa, nilai jauh lebih besar lagi.”

 

 

Keterangan foto utama: Api membara di perkebunan sawit milik PT BEP di Desa Puding, Kumpeh, Muarojambi, Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version