Mongabay.co.id

Uniknya Nikah Minim Sampah

 

Nikah minim sampah di Bali. Ada pasangan yang mempraktikkannya, dan ada Kepala Desa yang memberikan babi hitam dan pendampingan untuk warganya yang berani nikah minim sampah.

Pasangan yang sudah melakukannya adalah IB Mandhara Brasika dan Made Yaya Sawitri pada Jumat (11/10/2019) lalu di Kabupaten Gianyar, Bali. Pernikahan dengan adat Bali ini dipersiapkan dengan minim sampah anorganik dan menggunakan sumber energi listrik panel surya. Mulai dari kartu undangan pernikahan, suvenir, dekorasi, snack, makan, minum, sampai anjuran penggunaan material organik untuk bunga ucapan.

“Pernikahan kan menghasilkan banyak sampah, kita ingin menjadikan pernikahan ini minim sampah,” kata Gus Nara, panggilan Mandhara Brasika. Pria muda ini sudah dikenal sebagai pegiat lingkungan dengan membuat komunitas Griya Luhu, komunitas yang mengampanyekan pengurangan sampah plastik.

baca : Bukber Minim Sampah dan Puasa Plastik Isi Ramadhan di Bali

 

Undangan dari selembar kertas dengan catatan khusus dan wadah bambu yang dianjurkan untuk dipakai lagi sebagai wadah dupa atau lainnya. Foto: arsip pribadi Nara-Yaya/Mongabay Indonesia

 

Foto pernikahan Nara-Yaya dari mozaik sampah plastik kemasan, hadiah dari teman. Foto: arsip pribadi Nara-Yaya/Mongabay Indonesia

 

Nara memulai dengan mendistribusikan 200 kartu undangan dari kertas yang dibungkus bambu. Dalam kartu, hadirin diminta tidak memberikan karangan bunga dengan kandungan plastik atau styrofoam. Juga ada catatan jika bambu bisa digunakan kembali untuk wadah dupa atau benda lain.

Sementara untuk suvenir, ia memberikan buah karya komunitasnya, sedotan bambu dengan sikat pembersih dan dibungkus kain. “Mempromosikan pengrajin yang bisa membuat ukiran di sedotan bambunya,” kata Nara. Bangli, lokasi kerjanya adalah penghasil bambu terbesar di Bali.

Dekorasi dalam dan luar rumah dominan dari janur dan bunga yang dirakit sehingga nampak indah. Tenda besi diganti dengan tiang bambu. Lebih sejuk.

Dari 13 karangan bunga, hanya 2 yang tidak mengetahui permintaan itu atau melalaikan karena masih dibuat dari gabus. Sisanya terlihat lebih menarik dengan daun, bunga hidup, dan janur.

baca juga : Sustainism Lab, Cara Trendi Kelola Sampah Sendiri di Bali

 

Karangan bunga dari dedaunan kering pengganti busa. Foto: arsip pribadi Nara-Yaya/Mongabay Indonesia

 

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menyajikan makanan dan minuman?

Mereka memilih gelas kaca dengan dispenser berisi minuman hangat dan dingin, air, teh, atau es jeruk. Menggantikan aneka minuman kemasan dan softdrink. Makanan kecil disajikan di tiap meja, tanpa pembungkus anorganik. Tamu bisa mengambil prasmanan. Menggantikan piring kertas atau plastik.

Di meja hidangan utama, mereka menyediakan piring keramik. Namun ketika tamu membeludak, keluarga akhirnya mengeluarkan piring dari anyaman lidi (ingke) dengan alas kertas nasi. Inilah sebagian kecil sampah anorganik yang diproduksi pernikahan Nara-Yaya. “Ini paling sulit, komunikasi dengan keluarga, karena tidak biasa,” jelas Nara. Apalagi saat itu cukup darurat, perlu banyak tenaga dan waktu untuk mencuci piring dan mengeringkannya.

Hal menggugah lainnya adalah, sebuah kotak dengan pengumuman, 50% dari nilai sumbangan akan didonasikan ke pelestarian Orang Utan. “Saya sama istri punya perhatian dengan kebakaran hutan dan Orang Utan, saat ini terus terjadi kebakaran. Kami akan donasikan sekitar Rp6,5 juta ke organisasi konservasi Orang Utan,” yakinnya.

Nara sebelumnya pernah buat tantangan akan menggundulkan kepala jika ada yang bersedia berdonasi untuk Orang Utan. Mendonasikan sebagian sumbangan handai taulan untuk Orang Utan adalah keberlanjutan dari sikapnya.

menarik dibaca : Hebat, Sekolah Ini Menerapkan Nol Plastik

 

Mengganti gelas plastik atau sekali pakai dengan cangkir dan gelas kaca. Foto: arsip pribadi Nara-Yaya/Mongabay Indonesia

 

Nara dan Yaya mengingatkan apa yang mereka lakukan bukan hal baru, bahkan sudah biasa di masa lalu. Namun sudah ditinggalkan dengan alasan kepraktisan dan kemurahan. “Nol sampah masih utopia, angan-angan, yang jelas ada upaya mengurangi untuk minim sampah,” tuturnya.

Ia juga sudah memasang instalasi panel surya di rumahnya, sekitar 10 panel dengan daya 1000 Watt. Untuk upacara dan pesta pernikahan, ia menambah daya panel surya dari peminjaman genset portabel “SunZet” Negeri Matahari Mandiri.

Pembelajaran dari niat nikah minim sampah ini adalah lebih hemat biaya dan kampanye ke banyak orang yang melihat hal berbeda dari biasanya. “Respon tamu agak bingung, buku tamu tidak ada, minum isi sendiri, tapi mereka menikmati dan banyak yang apresiasi. Kok aneh ya, menarik, mau nikah begini,” tutur Nara.

baca juga : Gara-gara Sampah, Berhasil Ubah Sabun dari Minyak Jelantah

 

Pengantin dan keluarga berfoto di depan dekorasi dari rangkaian janur dan bunga. Foto: arsip pribadi Nara-Yaya/Mongabay Indonesia

 

Hadiah babi hitam

Dewa Komang Yudi Astara, 33 tahun, Kepala Desa Tembok, Kabupaten Buleleng, Bali Utara ini bersiap menyerahkan babi hitam berat sekitar 80 kg ke warganya yang akan menikah 19-20 Oktober ini.

Sebelumnya, ia mengumumkan sayembara. “Untuk setiap warga Desa Tembok yang akan melangsungkan pernikahan dan berkomitmen untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai selama upacara, kami akan berikan satu ekor babi hitam (Kucit Bali, bukan Landrace atau Duroc) seberat minimal 80 kilogram sebagai reward. Komitmen ini berlaku mulai Senin, 7 Oktober 2019 besok (syarat ketentuan berlaku). Berhubung ini serius, silahkan kabarkan kepada sanak saudara atau kerabat yang kebetulan akan mengakhiri masa lajangnya dalam waktu dekat. Ada yang mau jadi korban pertama?” demikian tantangannya via media sosial Facebook.

Akhirnya Ida Komang Rai Oka, salah satu wargan menyambut untuk pernikahan anaknya. Tak hanya memberikan babi hitam, jenis babi lokal yang dinilai lebih sehat karena tanpa konsentrat, Desa juga akan mendampingi saat upacara pernikahan dan memberikan bantuan sarana pengganti sekali pakai.

“Prosedurnya, pakta integritas ditandatangani dan tim desa memfasilitasi selama upacara,” jelas Yudi, dihubungi Mongabay Indonesia pada Rabu (16/10/2019). Desa gersang di Bali Utara dekat pesisir ini sekitar 3 jam berkendara dari Kota Denpasar. Dipimpin Komang Yudi, desa membuat sejumlah terobosan untuk meningkatkan perekonomian dari sumberdaya lokal dan pelestarian lingkungan.

perlu dibaca : EcoBali, Mendulang Barang Terbuang menjadi Uang

 

Desa Tembok menyediakan minuman di kantor desa tanpa kemasan sekali pakai. Foto: arsip Desa Tembok

 

Saat ini Peraturan Desa tentang pengurangan sampah plastik sedang digodok. Sejumlah insentif ditawarkan seperti asuransi kesehatan jika bisa memilah sampah, sistem pengelolaan sampah, dan lainnya.

Untuk gebrakan awal sebelum disahkan, Kepala Desa mendahului melakukan sosialisasi dengan sayembara nikah minim sampah berhadiah babi senilai Rp2 juta dan pendampingan. Dengan cara ini, ia yakin sosialisasi yang biasanya banyak makan waktu dan biaya akan dipangkas jadi lebih efektif dan efisien.

Penyediaan sarana pengganti sekali pakai ini dibantu anggaran desa dan CSR usaha yang berada di Tembok seperti hotel dan villa. Pemuda dan perangkat desa akan membantu, misalnya mulai dari penyediaan sarana pengganti plastik seperti kresek pembungkus daging babi dari pihak pengantin untuk warga, ini disebut walesan, mirip seserahan sekaligus undangan.

Air mineral kemasan dan softdrink yang biasa disediakan, diganti dengan penyediaan dispenser, jug, gelas bambu, caratan dari tanah liat, dan lainnya. Sebagai pengganti softdrink, ia mengajukan alternatif. Pihaknya baru mulai produksi air kelapa kemasan dengan botol plastik yang bisa di-recycle.

“Kami siapkan dingin, mereka tetap bayar harga sama dengan softdrink. Botol kosong bisa dijual di Bumdes,” kata Yudi. Air kelapa murni produksi Desa Tembok ini disebut tanpa bahan pengawet dan tahan 5 hari di pendingin. Sementara snack jajan pasar yang dibungkus plastik, diganti dengan tudung saji beralas daun pisang.

baca juga : Inilah Data dan Sumber Sampah Terbaru di Bali

 

Minuman air kelapa produksi Desa Tembok untuk alternatif softdrink, botol PET akan dibeli desa dan diolah kembali. Foto: arsip Desa Tembok/Mongabay Indonesia

 

Ini adalah pemanasan menuju rencana 2020, Bumdes Tembok akan membuat semacam jasa wedding organizer tanpa sampah plastik dengan harga sewa rendah. “Kita hargai kesadaran mereka agar jadi kesadaran kolektif. Berdampak pada lingkungan dan ekonomi,” serunya.

Sebelum menantang warga, Yudi sudah memulai kebiasaan tidak menyediakan air mineral kemasan di kantor desa. Ia mengganti dengan jug dan gelas kaca. Demikian juga camilan, diutamakan pangan setempat.

Penelitian terbaru tahun ini dari Bali Partnership mengungkapkan bahwa tiap hari Bali menghasilkan sampah mencapai 4.281 ton atau 1,5 juta ton tiap tahun. Dari jumlah tersebut, lebih banyak sampah yang tidak dikelola (52 persen), daripada yang dikelola (48 persen).

Sebanyak 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga daerah di Bali yaitu Denpasar, Badung, dan Gianyar. Dari sampah yang dibuang ke tempat sampah, 70 persen di antaranya berakhir di TPA Suwung. Pemerintah Provinsi Bali menunjukkan komitmennya melalui Pergub untuk mengurangi timbunan plastik sekali pakai.

 

Exit mobile version