Mongabay.co.id

Bali Sebenarnya Mudah Capai Target Bauran Energi Surya, Asal…

 

Pemerintah Indonesia telah menargetkan energi terbarukan nasional dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam RUEN yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.22/2017 itu, pemerintah juga menargetkan bauran energi bersih terbarukan (EBT). Besarnya 23 persen pada 2025 dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050.

Mengacu kepada target itu, Bali diharapkan bisa mencapai bauran Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 108 MW pada 2025. Berdasarkan riset Greenpeace dan Center for Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana, target itu bisa dicapai dalam waktu lima tahun. Syaratnya, parapihak di Bali serius menggunakan PLTS di atas atap. Sebab potensi energi PLTS di Bali jauh melebihi target tersebut.

Greenpeace dan CORE membuka laporan hasil riset ke mereka terkait potensi PLTS Atap itu pada Rabu (9/10/19) di Denpasar, Bali. Rektor Universitas Udayana AA Raka Sudewi, mewakili kedua lembaga tersebut, menyerahkan hasil riset kepada parapihak, termasuk Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) Provinsi Bali, PLN Bali, dan perwakilan desa adat.

baca : Bali Sedang Rancang Pergub Energi Bersih. Seperti Apa?

 

Rektor Universitas Udayana (dua dari kiri) menyerahkan hasil riset Greenpeace dan CORE tentang potensi PLTS Atap di Bali kepada wakil desa adat di Denpasar, Rabu (9/10/2019). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Sekretaris CORE Universitas Udayana I Nyoman Satya Kumara, hingga tahun ini, Bali sudah memiliki 8,2 MW listrik bersumber dari PLTS. Daya tersebut diperoleh dari berbagai PLTS yang tersebar di Bali, baik dikelola pemerintah, pihak swasta, lembaga pendidikan, ataupun pribadi. Sebagian di antaranya, sekitar 470 kWP, berasal dari 49 unit PLTS yang terpasang di atap.

“Bali cukup beruntung karena memiliki banyak proyek dari kementerian dan menjadi laboratorium bagaimana menerapkan PLTS,” kata Kumara.

Proyek PLTS Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Bali itu misalnya PLTS di Kayubihi (Bangli), Kubu (Karangasem), dan Nusa Penida (Klungkung). Mereka dibangun pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lokasinya di lahan terbuka dan memerlukan lahan relatif luas.

Di Bangli dan Karangasem yang masing-masing menghasilkan 1 Mwp memerlukan lahan sampai 1,2 hektare. Padahal, Bali termasuk pulau kecil. Lahan terbatas. Kalau toh ada, harganya juga amat mahal karena pengaruh pariwisata.

baca juga : Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 3]

 

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto: dari buletin Kementerian ESDM

 

Atap sebagai Solusi

“Karena Bali pusat pariwisata dan objek wisata tersebar di seluruh Bali, maka solusi pengembangan PLTS di Bali adalah menggunakan atap bangunan,” ujar Kumara.

Kumara menambahkan PLTS Atap lebih tepat dibangun di Bali daripada lahan terbuka karena empat alasan. Pertama, PLTS Atap tidak memerlukan lahan baru karena dipasang di atas atap bangunan. Kedua, energi listrik yang dihasilkan bisa langsung digunakan di lokasi PLTS. Tidak seperti PLTU yang terkonsentrasi di satu tempat.

Ketiga, lokasi tersebar mengikuti sebaran bangunan, gedung, atau rumah di mana dia terpasang. Keempat, kapasitasnya juga mengikut luasan atap yang tersedia. “Sebagai daerah dengan jumlah penduduk cukup besar, sekitar 4,5 juta, ketersediaan atap rumah atau bangunan juga besar,” Kumara melanjutkan.

Selain dari rumah pribadi, potensi atap yang juga bisa dimanfaatkan adalah atap gedung akomodasi pariwisata, pemerintah, lembaga pendidikan, dan desa adat.

perlu dibaca : Mewujudkan Kemandirian Energi Berawal dari Desa di Bali

 

Rangkaian panel surya yang dibentuk seperti bunga matahari sebagai sumber energi penggerak pompa irigasi hidroponik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Besarnya Potensi

Melihat potensi penggunaan atap untuk penempatan PLTS itu, Greenpeace dan CORE Universitas Udayana pun melakukan kajian. Fokusnya di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Alasannya, Sarbagita merupakan kawasan utama di Bali dengan pendapatan asli daerah (PAD) mencapai 86 persen dari total PAD di Bali dan lokasi 59 persen penduduk Bali.

Selain itu Sarbagita juga lokasi utama fasilitas pariwisata berada dengan 65 persen di antara ada di daerah ini. Adapun dari sisi energi, sebanyak 61 persen pelanggan PLN juga berada di sini. “Karena itu riset kami fokus di Sarbagita,” ujarnya.

Kumara menambahkan kajian itu lebih fokus lagi pada lima pihak yaitu pemerintah, PT PLN, desa adat, bisnis, dan lembaga pendidikan. Sebagai contoh kantor pemerintah yang menjadi lokasi riset itu, antara lain, kantor Gubernur Bali, Wali Kota Denpasar, dan Bupati Badung. Adapun untuk pihak swasta mengambil contoh kawasan Indonesia Tourist Development Corporation (ITDC), pusat hotel dan konvensi terkemuka di Nusa Dua, Bali.

Hasilnya, menurut kajian, luas atap bangunan di kawasan Sarbagita dari lima sektor itu mencapai sekitar 1,2 juta meter persegi. Simulasi dengan perangkat lunak RETScreen dan Helioscope menunjukkan potensi energi matahari di pusat kabupaten atau kota di Bali berkisar antara 4,01 – 6,13 kWh/m2/hari dengan rata-rata 4,89 kWh/m2/ hari. Listrik yang bisa dihasilkan berkisar antara 49 MW sampai 130 MW.

“Artinya, Bali memiliki potensi cukup untuk mencapai target PLTS 108 MW pada tahun 2025,” tegas Kumara.

Untuk mencapai target itu, menurut Kumara, PLTS Atap harus dibangun secara perlahan, tetapi pasti. Tiap tahun, Bali harus membangun PLTS sebesar 18 MW mulai tahun depan, 2020. “Karena komponen masyarakat di Bali memiliki kondisi berbeda-beda,” katanya.

Meskipun demikian pengembangan PLTS Atap di Bali juga masih menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, mahalnya harga pemasangan. Bisa mencapai Rp15 juta hingga Rp17 juta per kWp. Di sisi lain, secara umum, sampai saat ini juga belum ada fasilitas kredit untuk membangun PLTS Atap.

baca juga : Ini PLTS Kayubihi, Satu-satunya Proyek Energi Terbarukan yang Masih Beroperasi di Bali

 

Wayan Sudiadna, penjaga PLTS Kubu, Karangasem, Bali, yang kondisinya memprihatinkan dengan banyaknya panel surya yang rusak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Terus Bertambah

Martha Relitha Sibarani dari Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM mengatakan, pemerintah sendiri sudah melaksanakan sejumlah program untuk mendukung PLTS Atap. Misalnya pemasangan PLTS di atap gedung-gedung lingkungan Kementerian ESDM. Di lingkungan Istana Presiden, Istana Wakil Presiden, dan kantor Sekretariat Negara yang besarnya mencapai 1,3 MW.

Dari sisi kebijakan, menurut Martha, juga ada Surat Instruksi Menteri ESDM No 2 I/20/MEM.L/2019 tentang Pembangunan PLTS Atap di Lingkungan KESDM. “Ada pula Surat Edaran yang mengimbau pembangunan PLTS Atap di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,” kata Martha.

Seiring waktu, jumlah pelanggan PLTS Atap PLN juga terus bertambah. Sebagai perbandingan, pada Januari tahun ini hanya terdapat 624 pelanggan. Pada Agustus 2019 sudah mencapai 1.059 pelanggan di seluruh Indonesia. “Hal itu karena adanya partisipasi publik, seperti kesepakatan dengan REI (Real Eastet Indonesia) untuk menggunakan PLTS Atap di perumahan, seperti terjadi di Tangerang Selatan (Banten),” kata Martha.

Sementara itu Wakil Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Maritje Hutapea dalam kesempatan sama mengatakan, pemanfaatan atap untuk PLTS merupakan potensi terbesar secara nasional. Besarnya mencapai 2.981 MWp. Setelahnya baru ada potensi dari PLTS Terapung (2.207 MWp), kawasan industri (1.508 MWp), dan daerah tertinggal (1.042 MWp).

Menurut Maritje, pemerintah daerah di Bali perlu aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang PLTS Atap serta kaitannya dengan penghematan tagihan listrik ataupun perubahan iklim. “Pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi pemilik bangunan komersial dan industri yang membangun PLTS Atap,” ujarnya.

 

Seorang anak melintas di kompleks PLTS Kubu, Karangasem, Bali, yang kondisinya memprihatinkan dengan banyaknya alat dan panel surya yang rusak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
Exit mobile version