- Desa Popisi, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah adalah desa Suku Bajo yang menjadi nelayan tradisional penangkap gurita. Mereka berburu gurita menggunakan cipo dan manis-manis, peralatan sederhana ramah lingkungan.
- Lamuruli, Ketua Kelompok Nelayan Berkat I sejak usia 20 tahun sudah menangkap gurita. Penghasilannya itu untuk menghidupi anak dan istri beserta memenuhi kebutuhan lain.
- Potensi gurita harus dikelola dengan baik. Nelayan Desa Popisi, Kecamatan Banggai Utara, setuju melakukan penutupan sementara wilayah penangkapan gurita selama tiga bulan. Tujuannya, menjaga habitat dan memberi kesempatan gurita berkembang.
- Data dan informasi tangkapan gurita sangat minim, padahal Indonesia merupakan negera eksportir.
Langit masih gelap. Lamuruli siap berangkat. Kaus merah berlengan panjang ia kenakan. Semua alat tangkap sudah lengkap. Seperti hari sebelumnya, tak ada sarapan. Istrinya mempersiapkan bekal sederhana: sebuah termos kecil berisi teh panas. Di tangga rumah belakang, perahu yang berlabuh sudah menunggu. Hanya menapaki dua anak tangga, kaki Lamuruli langsung menyentuh buritan perahu.
“Ayo, kita jalan,” ajaknya.
Subuh itu, Kamis 3 Oktober 2019. Beberapa perahu nelayan dengan suara ketinting bahkan sudah melesat menembus dingin. Mereka adalah nelayan Suku Bajo, di Desa Popisi, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah.
Lamuruli, lelaki 42 tahun itu adalah satu dari 70-an nelayan di Desa Popisi yang khusus menangkap gurita. Dalam darahnya bercampur Suku Buton dan Suku Bajo. Sejak usia 20 tahun, saat anak pertamanya lahir, ia sudah melakukannya. Ketika itu, tahun 1990-an, nelayan di Popisi menangkap gurita menggunakan linggis. Caranya, gurita yang bersembunyi di balik batu atau karang dibongkar, lalu ditangkap dengan tangan atau dipanah.
“Cara itu merusak rumah gurita,” katanya.
Baca: Asyiknya Melihat Nelayan Berburu Gurita di Siau
Mesin ketinting meraung. Perahu Lamuruli melaju. Perlahan fajar muncul dari balik gugusan pulau. Lamaruli menyebut beberapa lokasi yang biasa menjadi titik penangkapan. Nama disesuaikan kontur alam. Misalkan, Batu Kapal, perairan yang berhadapan dengan pulau menyerupai kapal. Ada juga Tanjung Gundul, tempat gersang atau Pulau Kelapa yang banyak pohon kelapa.
“Tujuan kita Tanjung Burung Walet, favorit saya,” ujarnya.
Hampir satu jam melaju, kami tiba. Lamuruli pindah ke haluan perahu. Ia mendayung pelan. Dari tempat ini, katanya, cukup dekat ke Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara, sekitar tiga jam. Tak heran, banyak orang Taliabu datang ke Pulau Banggai Laut, atau sebaliknya.
Ada dua metode menangkap gurita. Pertama menggunakan cipo, yaitu benda dari kayu dibentuk menyerupai makanan gurita seperti udang, lobster, atau kepiting dan dipasang di mata pancing. Alat ini digunakan mulai kedalaman 20 meter atau lebih, seperti mancing ikan.
Kedua memakai manis-manis, terbuat dari kayu dan ada kain bentuknya mirip gurita. Fungsinya memancing gurita datang. Jika gurita mendekat, disusul membuang pemberat dari timah yang memiliki empat mata pancing di ujung tali nilon. Pancing yang ada di timah ini kemudian dikaitkan ke gurita. Untuk menagkapnya, nelayan wajib menggunakan masker atau kacamata selam.
“Kami biasanya menyebut bakaca atau melihat gurita bawah laut dengan masker.”
Baca: Amphioctopus marginatus, Gurita Kelapa Yang Cerdas
Manis-manis diturunkan. Kedalamannya mencapai 10 meter. Jika cuaca sebagus ini, katanya, kecerahan bawah laut bisa dilihat hingga 15-20 meter.
Tangan kiri Lamuruli terus memegang manis-manis sambil menggerakannya, menarik perhatian gurita, sedang tangan kanan mendayung pelan. Perahu miring, saya sempat khawatir bakal terbalik. Hampir 30 menit lamanya, tangan kanan Lamaruli tiba-tiba bergerak cepat. Ia membuang timah pemberat, tangan kanannya menarik tali nilon ke atas. Gurita berhasil ditangkap. Ia menariknya pelan-pelan ke permukaan laut dan memasukan ke perahu.
“Ini ukuran A, bisa dua kilogram lebih,” katanya sumringah.
Di pengepul ada empat ukuran: A [1,4 kg ke atas] seharga Rp37 ribu per kg. Ukuran B [0,9 ons hingga 1,3 kg] seharga Rp27 ribu per kg, ukuran C [0,5 ons hingga 0,8 ons] seharga Rp15 ribu per kg, dan ukuran D [0,4 ons ke bawah] dihargai Rp5 ribu per kg.
“Sekarang harganya turun. Beberapa bulan lalu mulai Rp70 ribu sampai Rp80 ribu per kg. Saya tidak tahu penyebabnya,” ungkapnya.
Baca juga: Perjalanan Panjang Gurita Beku dari Makassar ke Jepang, Seperti Apa?
Musim paceklik
Waktu menunjukan jam 10.00 Wita. Matahari merangkak naik. Ia minum teh buatan istrinya sebagai pengganjal perut. Sejauh ini dia baru dapat satu ekor.
“Sekarang ini lagi musim paceklik gurita. Bahkan kami biasa pulang dengan tangan kosong,” ujar Lamuruli kepada nelayan Bajo dari Desa Kalumbatan di Pulau Peleng, Kabupaten Banggai Kepulauan, ketika berpapasan.
Lamuruli kembali menurunkan manis-manis. Sekitar 20 menit menunggu, gurita ke dua didapat. “Ini size B,” katanya.
Dia coba peruntungan dengan pindah lokasi. Sayang, hingga matahari tepat di atas kepala kami, hasilnya nihil. “Sebaiknya kita pulang, sudah jam 12.00,” tuturnya.
Menurut perhitungan, musim gurita melimpah dimulai Desember hingga Maret. “Saat musim gurita, tangkapan paling sedikit 10 ekor. Berat rata-rata antara 15-20 kilogram.”
Pukul 14.00 Wita, dua ekor gurita yang telah dibersihkan istrinya dimasukkan ke ember, dibawa ke pengepul langganannya.
“Size A beratnya 2,4 kg dan size B beratnya 1 kilogram,” kata Sunarya Halauna, pengepul di Desa Popisi, satu dari empat pengepul yang ada. Setelah seminggu dikumpulkan, biasanya gurita akan dibawa ke pengepul di Kota Banggai, selanjutnya ke Kota Luwuk dan dibawa lagi ke Kota Makassar.
“Setelah itu saya dengar guritanya langsung diekspor ke luar negeri. Sekarang ini harga turun belum tahu apa penyebabnya,” ujarnya lagi.
Urusan selasai, Lamuruli pulang ke rumah. Hasil penjualan itu untuk kebutuhan hidup istri dan tiga anaknya. Bahkan kebutuhan lain seperti sampan dan membeli mesin ketinting, juga didapat dari berburu gurita.
“Menangkap gurita itu menguntungkan. Caranya juga ramah lingkungan. Kendala selama ini adalah cuaca buruk,” papar Lamuruli yang merupakan ketua kelompok nelayan gurita Berkat Nelayan 1 dengan anggota 32 orang.
Informasi terbatas
Gurita [Octopus cyanea] merupakan sumber daya perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sangat dominan di Desa Popisi serta Kabupaten Banggai Laut. Namun, informasi produksinya sangat minim. Padahal gurita merupakan komoditas ekspor.
Data ekspor perikanan Indonesia juga tidak spesifik mencantumkan gurita sebagai komoditasnya. Contoh, pada 2018, nilai dan volume ekspor produk perikanan dan kelautan yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan, gurita digabungkan dengan cumi dan sotong, berada di peringkat tiga, setelah udang, tuna-cakalang-tongkol.
Blue Ventures, lembaga yang fokus pada isu konservasi kelautan dan penguatan masyarakat pesisir, dalam laporannya Januari 2018 berjudul “Small Scale Octopus Fisheries, Indonesia” menyebutkan, saat ini tidak ada peraturan khusus gurita di Indonesia. Seperti ukuran tangkapan minimum, penutupan tahunan atau kuotanya. Hal ini berbeda dengan komoditas tuna atau rajungan yang masuk Rencana Pengelolaan Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Namun, gurita memiliki peranan sama penting dengan perikanan lain. Pasar ekspor gurita sedang tumbuh, harganya lebih tinggi per satu kilogram dibandingkan tuna beku. Penangkapan gurita banyak dilakukan nelayan skala kecil, tidak memerlukan peralatan khusus.
“Ada perbedaan besar antara data ekspor dan produksi, yang menunjukkan sebagian besar panen gurita tidak dilaporkan. Monitoring sulit dilakukan karena nelayan skala kecil menggunakan kapal di bawah 10 gross ton [GT] tidak diperlukan untuk mendapatkan lisensi,” ungkap laporan itu.
Istiyarto Ismu, Small Scale Fisheries Specialist dari Blue Ventures, membenarkan tidak ada aturan spesifik gurita. Klasifikasi masih umum, dimasukkan dalam perikanan tangkap, jika bicara data sangat minim.
“Blue Ventures bermitra dengan NGO yang melakukan pemberdayaan maupun penelitian di pesisir dan laut yang ada di tujuh provinsi. Salah satu fokus adalah mengumpulkan data gurita sebaik mungkin. Tujuannya, menggambarkan populasi gurita di alam melalui site atau kawasan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pasar gurita sangat spesifik, yaitu ekspor. Ukurannya sudah ditentukan perusahaan. Terkait harga, tiga tahun ini tidak stabil, karena skala ekspor, biasa ada ketergantungan dengan nilai tukar Rupiah. Faktor lain adalah pesaing luar negeri, misalkan Afrika yang sedang panen raya. Ekspor gurita terfokus benua Eropa, Asia, dan Afrika.
Ismu menuturkan, gurita sangat unik karena memiliki daya jelajah kurang lebih dua kilometer persegi dan sifatnya menetap. “Gurita bisa menjadi pintu masuk untuk pengelolaan pesisir dan laut,” ujarnya.
Untuk menguatkan masyarakat pesisir, katanya, salah satu aspek yang didorong adalah ekonomi. Masyarakat disadarkan bahwa gurita yang jadi sumber mata pencaharian itu harus dikelola. “Tantangan pertama pasti data, menghitung atau menimbang gurita yang didapat,” jelasnya.
Penutupan sementara
Dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut berkelanjutan, Blue Ventures mendorong penutupan sementara penangkapan gurita. Ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Contoh sukses dirasakan masyarakat pesisir Andavadoaka di Madagaskar, mereka memanen lebih setengah ton gurita dalam jangka waktu satu hari, sejak dibuka kembali.
Di Kabupaten Banggai Laut, Blue Ventures bekerja sama dengan Yayasan Alam Indonesia Lestari [Lini] sejak 2016. Setelah mengumpulkan data satu tahun, Lini bersama nelayan di Desa Popisi, memberikan sosialisasi siklus pertumbuhan gurita dan edukasi keberlanjutan penangkapan.
“Setelah kami paparkan data, tanpa kami minta, masyarakat mengusulkan penutupan sementara penangkapan gurita,” kata I Gede Surya Risuana, Koordinator Program Yayasan Lini di Kabupaten Banggai Laut.
Lokasinya di Pulau Asasal dengan luasan 300 hektar. Penutupan sementara untuk pertama kali itu ditetapkan pada 14 Oktober 2018 hingga 14 Januari 2019. Arealnya diberi pelampung dengan bendera bertuliskan: Dilarang menangkap gurita selama tiga bulan.
“Dari segi pendapatan ada perubahan. Gurita yang sebelumnya kecil, banyak yang besar,” kata Surya.
Pengawasan disepakati mengaktifkan kembali Pokmaswas [Kelompok Masyarakat Pengawas], kelompok nelayan penangkap gurita, dan pemerintah desa. Namun kendala di lapangan, menurut Surya, ada saja oknum nelayan dari desa tetangga yang masuk ke daerah penutupan. “Ke depannya, landasan hukum akan diperkuat dengan melibatkan desa-desa tetangga,” tuturnya.
Di Desa Popisi, nelayan yang menjadi ujung tombak sebagai jembatan komunikasi dengan nelayan Bajo lainnya adalah Lamuruli. Jika tidak sedang menangkap gurita, ia sering kali memfasilitasi pertemuan antara Yayasan Lini dengan nelayan Bajo penangkap gurita di desa-desa tetangga. Dia membantu menjelaskan seperti apa menjaga habitat gurita dan keuntungan jika dilakukan penutupan sementara selama tiga bulan.
“Semua nelayan di sini setuju, hanya itu tadi, pengawasannya masih kurang,” tegasnya.
Rotasi penutupan sementara penangkapan gurita mulai dilakukan. Kini, giliran laut di Desa Bone Baru dan Sub Desa Paisubatango, terhitung 7 September hingga 7 Desember 2019. Lokasinya tak begitu jauh dari Desa Popisi. Dengan penutupan sementara, Lamuruli menaruh harapan, gurita terus berkembang, tetap ada. Agar ekosistem laut dan masa depan anak cucunya terjaga.