Mongabay.co.id

Jalan Panjang Menuju Sawit Swadaya Berkelanjutan di Sintang

Kebun sawit mandiri atau swadaya di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sekitar 6.000 hektar, salah satu di Desa Telaga Dua, Kecamatan Binjai Hulu. Warga tanam tak hanya sawit, ada sayur mayur, buah-buahan, karet, sampai pagi dan jagung. Foto: Firdaus Darkatni/ Pontianak Post

 

 

 

 

 

 

Hamparan sawit tampak di kebun warga. Tak jauh dari tanaman sawit itu, ada sawi, kangkung, kacang panjang, mentimun sampai semangka. Berbagai sayur mayur juga terlihat di sela-sela tanaman sawit baru tanam. Warga Desa Telaga Dua, Sintang, ini tumpang sari tanaman sawit muda dengan beragam macam sayur. Warga juga ada yang menanam karet, buah-buahan macam semangka, padi maupun jagung. 

Zuleha, petani Desa Telaga, mengatakan, mendapatkan bagian kerja memupuk tanaman sawit. Untuk menanam sawit sampai menyediakan pupuk, katanya, dikerjakan sang suami.

Sedang bertani sayur mayur atau tumpang sari di sela sawit muda dilakukan para perempuan desa, termasuk Suleha. Usai memberi pupuk sawit, katanya, para perempuan beralih merawat sayur mayur.

“Memupuk tidak setiap hari, jadi kita biasa berkebun sayur. Ada sawi, kangkung dan kacang panjang, kita tanam. Biasa juga menanam semangka juga, kita tumpang sarikan dengan sawit yang masih berumur muda. Kalau sawit sudah besar kita tak bisa lagi tumpang sari,” katanya, tampak baru pulang dari kebun sawit yang tak jauh dari rumah. 

Ahmad Zaini, Kepala Desa Telaga Dua saat saya temui menceritakan sekitar 158 keluarga di Desa Telaga Dua berkebun sawit.

Desa Telaga Dua, katanya, punya empat dusun. Rata-rata warga tanam sawit di tanah milik sendiri, dengan kisaran dua sampai empat hektar.

Warga desa ini, kata Zaini, mayoritas transmigrasi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika datang sudah disiapkan lahan oleh pemerintah seluas dua hektar untuk masing-masing keluarga.

Ada juga, katanya, warga yang menanam sawit sampai tujuh atau delapan hektar. “Hanya satu atau dua keluarga.”

Dari satu hektar lahan, katanya, produksi sawit warga sekitar dua sampai tiga ton tandan buah segar, tergantung proses pemeliharaan dan suplai pupuk.

“Petani kita kan masih bergantung kepada pupuk dan modal untuk membeli pupuk cukup besar, jadi biasa produktivitas sawit tergantung sama ketersediaan pupuk di petani sawit,” katanya.

Perihal pengelolaan lahan, menurut Zaini, petani sawit di desa hanya memanfaatkan lahan milik mereka dan jarang membuka lahan untuk sawit. Kondisi ini, katanya, karena ketersediaan lahan juga minim.

“Masyarakat berpandangan, tidak harus membuka lahan besar untuk meningkatkan produktivitas sawit. Kami juga tak berani membuka lahan ke kawasan hutan, kita hanya memanfaatkan lahan milik pribadi,” katanya.

Ketua Kelompok Tani Tuan Telaga, Yohanes Ajet mengatakan, gabungan kelompok tani (gapoktan) di desa ini terdiri dari sembilan kelompok dengan berbagai komoditas, beranggotakan 240 orang. Saat ini, fokus gapoktan adalah mencari pasar sawit. Mereka tengah proses kemitraan dengan salah satu perusahaan sawit.

Saat ini, telah terukur 279,58 hektar dari 158 petani sawit swadaya di dalam Gapoktan Telaga Dua.

“Petani di desa ini mayoritas menanam sawit. Jika ada sisa tanah (milik pribadi-red) ditanami karet, jagung dan padi. Ada juga semangka tapi tidak banyak.”

Lahan basah di desa ini, katanya, memang mereka kelola khusus untuk menanam padi. “Dari dulu begitu. Tidak terlalu luas,” kata Muhammad Nurofiq, petani swadaya Desa Telaga Dua.

Perihal tumpang sari, katanya, memang di lahan sawit baru tanam dan masih umur di bawah lima tahun karena masih ada sisa lahan di sela-sela jarak tanam. Mayoritas tumpang-sari, katanya, untuk sayur mayur dan semangka.

“Jadi, kalau kita disebut petani sawit saja tidak pas, karena memanfaatkan lahan juga menanam berbagai jenis tanaman holtikultura dan palawija,” katanya.

Dia bersyukur, petani Desa Telaga Dua, sekitar 80% sudah memiliki surat tanda daftar budidaya (STD-B). Surat ini untuk pendataan petani sawit menuju pembenahan tata kelola. “Yang lain masih mengurus administrasi di Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang, terus kita dorong juga.”

 

Kebun sawit mandiri atau swadaya masih banyak menghadapi masalah hingga perlu perhatian dmei pembenahan tata kelola.  Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Berbagai masalah

Ahmad Zaini mengatakan, warga mulai menanam sawit tahun 2013. Sebelumnya, mereka pernah bekerja di perusahaan perkebunan sawit, PT Bonti Permai Jaya, sebagai pekerja kasar. “Pada tahun 2012, mereka berhenti dan mulai menanam sawit di kebun sendiri,” kata Zaini.

Walau warga sudah memiliki pengalaman tanam sawit tetapi mereka masih mengalami berbagai kendala ketika mulai berkebun, baik dalam proses pembibitan, penanaman, suplai pupuk, pemeliharaan sampai proses panen.

“Ketika awal menanam kami membeli bibit sembarangan, hingga waktu ditanam banyak yang mati,” katanya.

Begitu juga pemeliharaan, katanya, masih pakai metode sederhana kalau ada hama atau penyakit baru diobati. “Tidak diantisipasi jauh-jauh hari. Ini tentu berpengaruh pada hasil panen kebun sawit kami,” ucap Zaini.

Muhammad Nurofiq, petani swadaya Desa Telaga Dua mengatakan, warga juga kesulitan akses pupuk. Warga, katanya, biasa mencari alternatif pupuk lain, berupa tangkos dan pupuk kandang.

“Pupuk selalu jadi masalah bagi petani sawit. Sawit butuh suplai pupuk memadai. Kalau kita pesan pupuk yang banyak dan rutin, berpengaruh biaya besar. Akses pupuk sulit, jadi kita menyiasati dengan membeli pupuk kandang dan tangkos,” katanya.

Selain soal pupuk, kata Nurofiq, petani juga hadapi harga di tengkulak yang fluktuatif. Pemasaran sawit petani, katanya, masih bergantung tengkulak dengan harga tak menentu.

“Kadang turun, kadang naik. Warga tak tahu kenapa harga naik dan turun. Tengkulak mematok harga, masyarakat mau tidak mau harus menjual,” katanya, seraya. Pada September lalu, harga sawit per kilogram di tengkulak Rp800. Padahal, kata Nurofiq, harga Dinas Perkebunan Sintang untuk sawit berumur tujuh tahun Rp1.184,72 perkilogram.

Dia berharap ada angin segar dari rencana kemitraan Gapoktan Tuah Telaga, dan perusahaan sawit. Gapoktan Tuah menunggu proses kemitraan dengan harapan petani bisa mendapatkan harga layak ataupun sesuai keputusan pemerintah.

Saat ini, gapoktan di Desa Telaga Dua ini bersama WWF Indonesia sedang merancang kerja sama dengan PT Sintang Agro Mandiri (SAM) di Kecamatan Binjai Hulu. Dengan kemitraan, perusahaan akan membeli buah sawit petani.

“Ini agar petani sawit swadaya di desa tak lagi bergantung harga tengkulak.”

Sunadi, Ketua Koperasi Plasma Maju Jaya mengatakan, selalu menyediakan suplai pupuk di Desa Telaga Dua. Ketersediaan pupuk di koperasi, katanya, bergantung yang diberikan PT Bonti.

“Kalau pupuk kita punya Koperasi Plasma Maju Jaya yang berafiliasi dengan PT Bonti. Cara kerjanya, pupuk datang dari koperasi itu menyesuaikan pesanan petani. Ketika pupuk datang, kita sering kekurangan karena pesanan harus dibagi dengan setok pupuk dari koperasi.”

Awal berdiri koperasi, katanya, inisiasi PT. Bonti dan berlanjut sampai sekarang. Jadi, mereka pun tak bisa mengatasi masalah kekurangan pupuk karena tergantung pasokan yang masuk dari perusahaan.

“Jadi, koperasi ini berisikan pupuk dan alat-alat yang berkaitan dengan pengelolaan kebun sawit, termasuk alat untuk memanen. Nah, perihal suplai pupuk kita memang masih bergantung [pasokan dari PT Bonti].”

 

Di samping tanaman sawit, warga Desa Telaga Dua, tanam sayur mayur, buah-buahan, sampai padi dan jagung. Foto: Firdaus Darkatni/ Pontianak Post

 

 

Menuju sawit berkelanjutan

Desa Telaga Dua, berupaya menuju tata kelola sawit berkelanjutan. Mereka kini dalam dampingan WWF Indonesia. Ardhie Sulistio, SPO Smallholder dan MT Consultant WWF Indonesia mengatakan, selama pendampingan petani swadaya mereka mengamati kondisi petani swadaya berbeda dengan petani plasma. Petani plasma, katanya, dapat dukungan perusahaan.

“Petani swadaya budidaya sawit tanpa kerjasama dengan pihak lain. Tak ada standard good agricultural practice diterapkan petani swadaya, selain berdasarkan kebiasaan masing-masing,” katanya.

Belum lagi penggunaan bibit tak bersertifikasi, tak ada buku pedoman teknis berbudi daya sawit, tidak ada rekomendasi pupuk, menghilangkan sampai mengabaikan aspek-aspek keselamatan kerja.

“Kondisi ini, sering menciptakan anggapan, petani swadaya tidak mampu melakukan praktik budidaya lestari,” katanya.

Tantangan lain, petani sawit swadaya dalam memenuhi aspek-aspek berkelanjutan, katanya, soal biaya. “Siapakah yang akan mendanai petani sawit swadaya ini, tentu petani sendiri. Permasalahan biaya, sertifikasi tidak murah.”

Dia contohkan, beberapa hal dalam memenuhi aspek berkelanjutan, seperti pemasangan amaran, pemakaian alat pelindung diri (APD), mengurangi penggunaan pestisida dan beralih ke pengendalian hayati. Juga perlu biaya besar dalam pembuatan gudang, lokasi penanganan limbah B3, tempat penyimpanan, pencucian alat pekakas pertanian, pembuatan rekomendasi pupuk ke pihak terkait, pengelolaan areal konservasi, bahkan pembayaran audit sertifikasi.

Meskipun begitu, petani terus berupaya memperbaiki tata kelola. Petani Desa telaga Dua, tidak ada lagi membuka lahan dengan cara bakar. Mereka sudah tahu dampak buruk pembakaran lahan, seperti yang tertulis dalam buku pedoman teknis bududaya sawit.

Buka lahan tanpa bakar ini, katanya, didukung ada jasa sewa alat berat di desa itu. Hingga petani memilih pakai jasa sewa ini.

“Dengan penggunaan alat berat dalam membuka lahan, masyarakat sejak tahun kemarin sudah tak lagi membuka dengan membakar. Penggunaan alat ini memang efektif.”

WWF Indonesia juga mengintensifilkasi lahan dan tekankan perawatan serta cara kelola yang baik dalam berkebun untuk menaikkan produksi, bukan dengan membuka lahan baru. Petani, katanya, mulai pakai pupuk secukupnya tetapi ketersediaan pupuk masih terbatas.

“Pada kasus ini mungkin bisa jadi pekerjaan rumah penyuluh pertanian setempat. Perlu juga ada pemberdayaan pengelolaan pupuk yang murah bagi petani namun efektif bagi perkebunan dan tanah garapan,” katanya.

Ardhie mengatakan, petani Desa Telaga Dua, tak ada membuka kebun di lahan gambut. Petani sawit desa ini, katanya, memahami berkebun di lahan gambut memerlukan modal besar, terutama biaya perawatan tinggi.

Petani juga memahami lahan tempat mereka berkebun. “Hasil pengukuran disampaikan langsung ke petani, areal mana masuk kawasan hutan, agar petani tak ada merambah ke kawasan hutan,” kata Ardhie, yang sudah setahun lebih mendampingi petani sawit swadaya di Desa Telaga Dua ini.

Guna mendampingi petani mengelola sawit bertanggung jawab, WWF Indonesia program hulu landscape melakukan berbagai pelatihan dan peningkatan kapasitas petani di Desa Telaga Dua. Pelatihan itu, antara lain, pertama, praktik tata kelola terbaik (best management practices), praktik agrikultur yang baik (good agriculture practices) maupun budidaya sawit.

Kedua, pelatihan pendidikan kelembagaan yang melibatkan Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang. Ketiga, pembuatan demontration plot (demplot).

“Kita juga pendidikan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan.” Para petani desa ini juga menyiapkan diri menuju standar sawit berkelanjutan, dengan target mendapatkan sertifikat, baik Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). “Sisanya, kita membagikan berbagai buku pedoman dan referensi kepada petani juga alat pelindung diri bagi petani,” katanya.

 

Suratno, petani sawit swadaya di Desa Merarai Satu menunjukkan tandan buah segar sawit milik warga setempat. Petani sawit di desa ini juga menuju pembenahan tata kelola. Foto: Andi Fachrizal/ Mongabay Indonesia

 

Gunarni, Kepala Bidang Pengembangan Perkebunan, Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang, mengatakan, dalam mendorong sawit berkelanjutan perlu menyelesaikan beberapa tahapan.

Dia menyebutkan tahapan sedang dikerjakan Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang saat ini, menyelesaikan pendataan STD-B.

Saat ini, dinas baru mendata sekitar 2.000–3.000 hektar lahan sawit petani yang sudah punya STD-B.

Data STD-B, katanya, jadi fokus utama membahas sawit swadaya berkelanjutan di Sintang. Gunardi bilang, STD-B bisa untuk petani sawit mempermudah penjualan produksi ke pabrik kelapa sawit (PKS) di sekitar mereka.

“Petani sawit swadaya selalu berisiko terhadap harga. Masalahnya, rantai harga di tengkulak. Kalau sudah bermitra dengan pabrik akan membeli dengan harga dari pemerintah,” katanya.

Harga TBS pemerintah, katanya, berubah sebulan sekali. “Harga TBS hanya berlaku bagi petani yang bermitra dengan perusahaan dan petani mandiri yang sudah diakui [emda,” kata Gunardi.

Saat ini, katanya, di Sintang, sudah ada delapan pabrik pengolahan sawit tersebar pada 14 kecamatan yang ada perkebunan sawit.

Soal ketersediaan pupuk di kalangan petani swadaya, kata Gunardi, perlu ada perhitungan jelas kebutuhan petani, termasuk penggunaan pestisida di kebun sawit.

“Ini perlu kita bahas, kebutuhan pupuk di kebun sawit selama ini hanya berdasarkan pengalaman. Belum ada hitung-hitungan. Ini yang sedang kita dorong, kita nanti bisa melihat efektivitas dan efisiensinya.”

Menurut dia, soal sawit berkelanjutan di Sintang, ada tiga aspek perlu jadi perhatian, yakni, aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Ketiga aspek itu, katanya, perlu sinergii.

“Keberlanjutan dari sisi ekonomi, kita perlu melihat bagaimana hasil sawit ini berdampak pada pendapatan. Perlu dorong mereka melihat cara kerja untuk mendapatkan ISPO atau RSPO dan kerja sama dengan perusahaan,” katanya.

Aspek sosial, katanya, perlu perhatian dalam pemberdayaan kelompok tani di desa, termasuk penguatan kapasitas kelembagaan dan personal petani dalam berkebun sawit.

Untuk berkelanjutan dari sisi lingkungan, kata Gunardi, mengenai tata kelola sawit dari cara kelola lahan, penggunaan pupuk herbisida sesuai kebutuhan, penggunaan insektisida segala macam fungsi pupuk. “Bahkan, itu harus seminimal mungkin penggunaannya.”

Pemkab Sintang menyatakan keseriusan membehani tata kelola sawit mandiri atau swadaya. Dia akui bukan pekerjaan mudah. Kini, Dinas Pertanian dan Perkebunan sedang pelatihan pendataan penggunaan data spasial tingkat desa.

Output-nya peta, kita ajarkan masyarakat menggunakan GPS dan menentukan titik koordinat. Ini untuk penguatan data yang kita. Warga bisa mempercepat pengumpulan [data].”

Sektor perkebunan di Sintang berkontribusi terhadap 22% produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sintang. Kebun sawit di Sintang, dikelola 48 perusahaan dengan luas tanam 180.000 hektar, dan sawit swadaya sekitar 6.000 hektar.

Bupati Sintang, Jarot Winarno, mengatakan, pembenahan petani swadaya jadi prioritas Pemerintah Kabupaten Sintang. Pemerintah daerah, katanya, mendorong petani peroleh ISPO maupun RSPO.

“Pendataan sudah mulai dari tingkat desa. Data potensi petani mandiri itu belum pasti, perlu pendataan dan melibatkan semua kepala desa. Kalau sudah ada data, enak pembinaannya,” kata Jarot.

Dia sadari, membangun sawit mandiri berkelanjutan bukan tugas mudah dan sebentar serta perlu sinergitas antar pihak, baik perusahaan sawit, lembaga swadaya masyarakat, petani, koperasi dan pemerintah.

Bupati berharap, kabupaten yang dia pimpin bisa jadi contoh terbaik penerapan petani  sawit swadaya berkelanjutan di Indonesia.

“Perlu kita rancang serius. Saat ini, pemerintah terus kerja-kerja mendorong sawit berkelanjutan di Sintang dengan memperhatikan kesejahteraan petani dan lingkungan.”

 

* Firdaus Darkatni adalah wartawan Pontianak Post. Liputan ini mendapatkan dukungan dari Mongabay Indonesia.

 

 

Keterangan foto utama:  Kebun sawit mandiri atau swadaya di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sekitar 6.000 hektar, salah satu di Desa Telaga Dua, Kecamatan Binjai Hulu. Warga tanam tak hanya sawit, ada sayur mayur, buah-buahan, karet, sampai pagi dan jagung. Foto: Firdaus Darkatni/ Pontianak Post

 

Exit mobile version