Mongabay.co.id

Kebakaran Hutan di Jabar: Hilangnya Nilai Kearifan Lokal dalam Menjaga Lingkungan

 

 

Akhirnya, kabut dingin berpadu bau belerang kembali menyelimuti Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hampir sepekan, wilayah ini beraroma asap akibat kebakaran yang terjadi pada pertengahan Oktober 2019.

Butuh 11 kali pengeboman air menggunakan helikopter, untuk menjinakkan api di objek wisata kesohor Jawa Barat ini. Petugas menduga, kebakaran hutan di ketinggian 2.194 meter di atas permukaan laut disebabkan tangan jahil manusia.

“Sangat memungkinkan faktor manusia,” kata Kaporles Bandung AKBP Indra Hermawan, baru-baru ini.

Baca: Hutan Jawa Rusak: Bukan Hanya Manusia Merugi, Satwa juga Menderita

 

Kawah Putih, kawasan wisata terkenal di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terbakar minggu kedua Oktober 2019. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sebelum bantuan datang, Rosidin [45] dan Aep Rukma [55] kewalahan memadamkan api. Mereka yang bermodalkan parang dan pacul berusaha sekuat tenaga menjaga kobaran api tak membesar. “Cara ini spontan saja,” kata Aep.

“Yang penting laju api tertahan,” Rosidin menimpali.

Mereka yang bekerja di perkebunan teh mengaku tak punya pengalaman soal kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Apalagi kebaran itu dekat permukiman mereka juga.

 

Kawa Putih terbakar, diduga disebabkan ulah manusia. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Rosidin bertutur, arahan petugas yang menempatkan mereka dalam tim pemadam dijadikan pijakan. Peralatan yang dibawa, atas inisatif sendiri.

“Saya mah nuruti arahan saja,” ujar Rosidin, “Ternyata susah pisan memadamkan api apalagi kalau lereng begini.”

Baca juga: Macan Tutul Turun ke Kawasan Wisata Kawah Putih. Ada Apa?

 

Butuh usaha keras memadamkan api yang berada di lereng. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tak ada prosedur

Terkait kebakaran, sebenarnya pihak pertama yang memiliki prosedur penanganan ada pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD]. Hal ini dikatakan Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat, Supriyatno.

“Semua keputusan bersifat prosedural ada di BPBD tiap-tiap daerah. Kami di BPBD Jabar sifatnya hanya mengakomodir penanganan,” kata Supriyatno.

Pengoperasian helikopter adalah contoh, sebab BPBD Jabar tak memilikinya sehingga mengajukan bantuan ke Badan Nasional Penanggulangan Nasional, di Jakarta. “Itu bagian tupoksi yakni koordinasi, pelaksanaan, dan komando dalam penanganan kebencanaan,” ujarnya.

 

Berbekal alat sederhana, api dipadamkan di kawasan Kawah Putih plus dibantu pemadaman dari udara. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kendati demikian, terkait karhutla, BPBD di daerah maupun provinsi, tak memiliki standar operasional prosedur [SOP] baku. Mengingat, anggaran kebencanaan dari APBD minim sehingga belum ada peralatan memadai. “Anggaran difokuskan pada sosialisasi, edukasi, dan simulasi, sebagai bentuk pencegahan.”

Sejak ditetapkan siaga dari Agustus hingga Oktober, Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana BPBD Jabar menerangkan ada 85 kebakaran lahan di sejumlah wilayah dengan total 400 hektar. Untuk Bandung Selatan, termasuk Kawah Putih, 241 hektar areal hutan yang terbakar.

 

Satwa juga mati akibat kebakaran yang terjadi di Kawah Putih. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Administratur Perhutani Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Bandung Selatan Tedy Sumarto menyebut, ada 3.000 hektar lahan kritis di wilayahnya. “Kebakaran ini otomatis menanbah jumlah luasan.”

Total lahan yang dikelola Perhutani 55.480,07 hektar. Angka itu terdiri hutan produksi [7.750,89 hektar], hutan produksi terbatas [3.781,31], dan hutang lindung [43.947,87].

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian [IPB] Bogor, Hariadi Kartodihardjo berpendapat, kondisi hutan yang kritis bukan soal konversi atau perusakan. “Melainkan rendahnya tingkat pengelolaan maupun pengamanan kawasan,” ujarnya.

 

Kebakaran menyebabkan rusaknya ekosistem lingkungan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kearifan yang hilang

Sejatinya, masyarakat setempat memiliki budaya atau kearifan lokal yang disebut pamali atau larangan dalam melestarikan hutan.

Larangan itu ada di Kawah Putih. Franz Wilhelm Junghuhn [1809-1864] menemukan kawasan ini pada 1837, ia merasakan kesunyian berbeda. Kisah yang berkembang di masyarakat menyebutkan, Gunung Patuha, yang membentuk Kawah Putih ini diidentikkan angker. Tidak ada yang berani memasuki kawasan tersebut. Ini salah satu alasan mengapa wilayah tersebut sepi.

Di salah satu tempat, yakni puncak Kapuk, masyarakat setempat mengenal mitos domba lukutan [berbulu putih dan tua] yang dipercaya sebagai jelmaan leluhur.

 

Diperkirakan, di Bandung Selatan luasan wilayah yang terbakar sekitar 241 hekar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurut Aep, mitos itu ampuh menciutkan niat jahat orang yang ingin merusak hutan. “Enggak ada yang berani dulu mah, semua nurut pamali.”

Hal senada diungkapkan Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Ia menilai, orang tidak takut hukum formal sekalipun tindakannya dikategorikan melanggar. Justru orang takut terhadap hukum adat.

 

Nilai-nilai kearifan lokal yang mulai hilang di masyarakat harus dihidupkan kembali demi terjaganya lingkungan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ridwan mencontohkan, Baduy, Kampung Naga di Tasikmalaya hingga Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi, sukses menjaga serta mengelola hutannya dengan bijak. Kelestariannya terjaga karena keberadaan hukum adat yang dipegang teguh tiap warga.

“Mereka menafsirkan kearifan lokal sebagai instrumen penting dalam pembangunan peradaban. Sayang, hanya segelintir kalangan memahami dan merawat nilai tersebut,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version