Mongabay.co.id

Keberpihakan Negara pada Investasi di Sektor Kemaritiman

 

Pelantikan Kabinet Indonesia Maju untuk periode 2019-2024 yang dilaksanakan pada Rabu (23/10/2019) seolah menjadi pengumuman tanda bahaya bagi sektor kemaritiman di Indonesia. Isyarat itu sudah terlihat jelas, karena Presiden RI mengubah penamaan nomenklatur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, penamaan yang baru tersebut memberi sinyal bahwa kementerian tersebut selama lima tahun ke depan akan memasang karpet merah sebesar-besarnya kepada investasi. Isyarat tersebut menjadi hal yang negatif bagi masyarakat bahari secara umum.

“Ke mana arah pembangunan sektor kemaritiman di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk periode kedua ini,” ucap dia di Jakarta, Kamis (24/10/2019).

baca : Janji Edhy Prabowo untuk Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Maju berfoto bersama di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto : Setkab.go.id/Mongabay Indonesia

 

Susan menjelaskan, dengan berubahnya nama nomenklatur kementerian kemaritiman, maka itu akan membawa implikasi dari sisi hukum. Hal itu, karena kementerian yang dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan itu memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan serta mengurus berbagai kepentingan untuk investasi.

Bagi KIARA, perubahan nama tersebut dinilai mengganggu dan mengancam keberlangsungan masyarakat bahari, utamanya nelayan tradisional. Terlebih, karena penamaan yang baru berhasil menyandingkan kata investasi dengan kemaritiman, yang berarti itu akan memberikan prioritas untuk investasi.

“Bagaimana mungkin kedaulatan Indonesia yang ditandai dengan kedaulatan di laut, disandingkan dengan kepentingan investasi?” tanya dia.

Menurut Susan, dengan perubahan nama nomenklatur yang berlaku untuk lima tahun ke depan, maka pemerintahan di bawah Presiden RI Joko Widodo sedang mengirimkan pesan tegas kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat bahari. Dalam lima tahun mendatang, laut akan dijadikan sebagai objek investasi skala besar.

Adapun, investasi yang diperkirakan akan digenjot habis-habisan adalah industri pariwisata sekala besar, di mana sebelumnya sudah ada proyek pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan industri (KI), kawasan perdagangan bebas (KPB), dan kawasan pengembangan pariwisata nasional (KPPN).

Semua proyek nasional tersebut, kata Susan, diketahui akan melaksanakan pembangunan di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Itu berarti, proyek-proyek yang mengatasnamakan pembangunan nasional tersebut secara tidak langsung akan merampas ruang hidup masyarakat bahari, di mana saat ini jumlahnya lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan.

“Salah satu korban pariwisata adalah Poro Duka dari Sumba yang ditembak karena melawan tanahnya dirampas oleh pariwisata,” tutur dia.

baca juga : Reklamasi Pesisir Jadi Pilihan Rakyat atau Pemerintah?

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan usai dilantik Presiden Jokowi. Foto : Setkab.go.id/Mongabay Indonesia

 

Eksploitasi

Diakui Susan, investasi bukanlah hal yang harus menjadi antipati bagi masyarakat bahari yang mendiami kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Namun pada kenyataannya, investasi selalu memiliki kecenderungan bersifat eksploitatif dan abai pada ruang hidup masyarakat kecil di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Akibat sifat yang selalu muncul tersebut, investasi selalu menjadi ancaman bagi masyarakat bahari yang kondisi ekonominya saat ini ada di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, investasi dalam bentuk apapun akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi ruang hidup masyarakat bahari di masa yang akan datang.

“Memenangkan kepentingan modal di atas agenda kesejahteraan masyarakat bahari,” tegas dia.

Pada akhirnya, penambahan kata investasi pada nama kementerian kemaritiman, menjelaskan bahwa Presiden RI Joko Widodo telah mengambil langkah yang keliru dalam melihat oceanscape dan paradigma pembangunan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Presiden sekarang, tak lebih melihat laut hanya sebagai objek investasi saja.

“Lebih jauh, hanya sebagai objek eksploitasi,” tegas dia.

Pandangan tersebut, menurut Susan sangatlah keliru. Mengingat, seharusnya Presiden RI melihat laut sebagai kekayaan bersama yang harus dikelola dengan pendekatan demokrasi ekonomi, yaitu dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat bahari.

Dengan kata lain, laut adalah induk kehidupan dan jika rusak, maka kehidupan juga akan rusak. Sementara, ekonomi masyarakat bahari adalah ekonomi yang berbasis pada gotong royong dan kekeluargaan, sekaligus berpijak pada keberlanjutan lingkungan.

“Tidak ada praktik eksploitasi alam, yang ada adalah memuliakan alam,” ungkap dia.

perlu dibaca : Nasib Masyarakat Pesisir di Mata Negara

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Agar semua ancaman itu bisa diredam, Susan mendesak kepada Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengganti nomenklatur penamaan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi menjadi Kementerian Koordinator Sumber daya Alam dan Kebaharian.

Penggantian tersebut harus dilakukan, karena kementerian kemaritiman bertugas untuk memastikan konsep dan praktik pembangunan yang dijalankan adalah pembanguan yang berpusat pada manusia. Dalam hal ini, masyarakat bahari sekaligus berpusat pada keberlanjutan ekologis atau ekosistem laut, nelayan dan perempuan nelayan adalah tuan dan puan di lautnya sendiri.

“Masyarakat bahari menolak menjadi turis di lautnya sendiri,” tegas dia.

Sebelumnya, KIARA juga mengkritik pidato kenegaraan Presiden RI Joko Widodo seusai prosesi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024, Minggu (20/10/2019). Di mata KIARA, pidato tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat bahari yang kehidupannya tergantung kepada sumberdaya kelautan dan perikanan.

 

Keberpihakan

Menurut Susan, pidato Presiden yang berkaitan dengan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, bisa dilihat hanya pada rencana pembangunan infrastruktur yang akan menghubungkan satu kawasan ke wilayah pariwisata. Padahal, konsep tersebut berpotensi menjadikan nelayan sebagai buruh.

“Di dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyatakan akan membangun infrastruktur ke kawasan pariwisata. Padahal, proyek pariwisata skala besar dengan skema KSPN selama ini terbukti merampas ruang hidup masyarakat bahari, khususnya nelayan tradisional dan perempuan nelayan. Artinya kita akan menjadi buruh dan penonton di laut kita sendiri,” ungkap dia.

Dengan kata lain, Susan menyebutkan bahwa pidato yang disampaikan Joko Widodo adalah tentang rencana Pemerintah untuk melanjutkan perampasan ruang hidup masyarakat bahari dalam lima tahun ke depan, dengan cara membangun infrastruktur ke kawasan-kawasan pariwisata.

“Pada titik inilah Presiden Jokowi tidak menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat bahari,” tegas dia.

Bagi Susan, pidato tersebut sangat disayangkan muncul. Mengingat, itu menegaskan bahwa Presiden absen berkomitmen memberikan perlindungan untuk sumber daya kelautan dan perikanan, sekaligus perlindungan masyarakat bahari dalam pidato Presiden Joko Widodo.

perlu dibaca : Susahnya Menjaga Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia Bisa Tetap Baik

 

Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menjelaskan, dengan penambahan nama investasi pada nomenklatur penamaan kementerian, maka area kerja lembaga yang dipimpinnya akan menjadi lebih luas lagi.

“Kita akan mempunyai area kerja yang luas sekali, Kemenko Kemaritiman akan ditambah dengan menangani bidang investasi. Nanti juga akan ada penambahan Kedeputian di sini,” ujar dia pada Rabu (22/10/2019).

Sesuai dengan arahan yang diberikan Presiden RI Joko Widodo, Luhut menyebutkan bahwa semua program yang menjadi tugas dan kewenangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi dapat berjalan sesuai dengan yang ditargetkan.

“Presiden memerintahkan dengan jelas, dan mungkin saya yang paling lama dikasih pengarahan oleh Presiden. Beliau ingin semuanya berjalan,” tegas dia.

Selain penambahan kedeputian, perubahan nomenklatur juga akan mengakibatkan penambahan jumlah kementerian di bawah koordinasi Kemenko Maritim dan Investasi. Penambahan itu, diakuinya sudah sesuai dengan kewenangan Undang-Undang yang ada.

“Nanti ada 6-7 Kementerian di bawah koordinasi kita. Menko punya kewenangan koordinasikan, kendalikan dan Menko memiliki hak veto terhadap kebijakan Kementerian yang bertentangan dengan keputusan rapat yang telah dilakukan di tingkat Kemenko,” jelasnya.

 

Exit mobile version