Mongabay.co.id

Lahan Sawit Terbakar Hakim Putuskan Bayar Rp261 Miliar, Perusahaan di Kalteng Ini Bermasalah Sejak Lama

Ilustrasi. Kala musim kemarau, gambut alami kekeringan dan memicu kebakaran. Bencana seperti ini bisa berulang kala gambut fungsi lindung rusak. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kabar gembira bagi lingkungan datang di penghujung tahun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memenangkan gugatan perdata kasus kebakaran lahan atas perusahaan perkebunan sawit asal Singapura, PT Arjuna Utama Sawit yang beroperasi di Katingan, Kalimantan Tengah. Pada 23 Oktober 2019, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya memutuskan perusahaan pemasok Musim Mas ini harus membayar ganti rugi Rp261 miliar.

Majelis Hakim yang diketuai Hakim Kurnia Yani Darmono, dengan anggota Hakim Mahfudin dan Hakim Alfon menghukum AUS membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp261 miliar, dengan rincian ganti rugi materiil Rp 99, 684 miliar, dan tindakan pemulihan lingkungan atas lahan terbakar Rp162, 194 miliar.

Putusan hakim PN ini lebih rendah ketimbang gugatan KLHK Rp359 miliar. Putusan menyatakan, AUS melawan hukum atas kebakaran yang terjadi seluas 970,44 hektar. ”Menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan penggugat karena perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” kata Majelis Hakim yang dilansir dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Palangkaraya.

Pada 31 Desember 2018, KLHK resmi menggugat AUS dan mendaftarkan gugatan di PN Palangkaraya dengan nomor perkara 213/Pdt.G/LH/2018/PN Plk. Isi gugatan antara lain, menghukum tergugat membayar ganti kerugian materiil kepada penggugat Rp115, 856 miliar, menghukum tergugat melakukan tindakan pemulihan lingkungan atas lahan terbakar seluas 970,44 hektar, dengan biaya Rp243, 291 miliar.

KLHK juga meminta tergugat tak menanam di lahan perkebunan yang terbakar, menghukum tergugat membayar denda 6% per tahun dari total nilai ganti kerugian untuk setiap hari keterlambatan

Juga menghukum tergugat mencabut setiap sawit yang ditanam dan membayar denda Rp700.000 per batang pohon sawit ditanam di lahan perkebunan yang terbakar. Kemudian, menghukum tergugat membayar uang paksa (dwangsom) Rp50 juta per hari, untuk setiap hari keterlambatan dalam pelaksanaan putusan.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK mengapresiasi putusan majelis hakim ini. ”Kami melihat kebakaran hutan dan lahan merupakan kejahatan luar biasa. Korporasi harus bertanggung jawab atas karhutla di lokasi mereka,” kata Roy, sapaan akrabnya.

Dia menilai, majelis hakim menerapkan prinsip in dubio pro natura, prinsip kehati-hatian dalam mengadili perkara dengan beban pembuktian pertanggungjawaban mutlak (strict liability). ”Kami sangat menghargai putusan ini.”

KLHK, katanya, tak akan berhenti mengejar pelaku karhutla. Meski karhutla sudah berlangsung lama, KLHK akan tetap menindak karena jejak-jejak dan bukti sebelumnya bisa terlacak dengan dukungan ahli dan teknologi.

”Agar jera, tak ada pilihan lain, pelaku harus kita tindak sekeras-kerasnya. Kita akan gunakan semua instrumen hukum agar pelaku karhutla jera, termasuk kemungkinan pencabutan izin, ganti rugi, denda, penjara dan pembubaran perusahaan,” katanya.

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan mengatakan, sudah ada 17 perusahaan terkait karhutla digugat KLHK. “Ada sembilan perkara sudah berkekuatan hukum tetap dengan nilai gugatan Rp3,15 trilyun. Jumlah perkara karhutla yang kita gugat akan bertambah.”

Berkaitan dengan karhutla tahun 2019, KLHK telah menyegel 83 lokasi korporasi terbakar dan menetapkan delapan korporasi sebagai tersangka, satu perorangan.

Armand Hasim, kuasa hukum AUS kecewa dengan putusan majelis hakim dan langsung banding. Dia menilai, majelis hakim tak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan, dan bukti maupun kesaksian dari saksi ahli dan saksi umum AUS.

”Dalam banyak putusan majelis hakim banyak yang tidak dipertimbangkan. Kami tidak menerima dan mengajukan banding,” katanya dikutip di media lokal.

Musim Mas membenarkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya ini. “Kami sedang investigasi sesuai mekanisme keluhan kami.  Kami segera menghubungi Arjuna Utama Sawit untuk informasi lebih lanjut. Kini sedang menunggu tanggapan mereka,” kata perusahaan singkat menjawab Mongabay.

 

Ilustrasi. Kala lahan gambut tak terlindungi dan tak terkelola dengan benar, maka menghasilkan bencana.  Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Bermasalah sejak lama

AUS merupakan perusahaan pemasok Musim Mas Holding Pte Ltd yang berpusat di Singapura. Pada laporan pemantauan kejahatan sektor kehutanan di wilayah moratorium Kalimantan Tengah 2013 oleh Walhi Kalimantan Tengah, AUS, salah satu perusahaan dari 10 perusahaan yang beraktivitas tak prosedural namun tidak ada upaya penegakan hukum.

Dalam laporan itu, dikatakan, temuan lapangan AUS beroperasi di lahan gambut, belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan, pencemaran air danau dengan berubahnya warna air menjadi keruh, penutupan kanal batas desa dan belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Pada karhutla tahun ini, perusahaan ini juga terbakar, dan kena segel KLHK.

Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan, sejak 2013, tiap tahun AUS terpantau memiliki titik api dan terjadi pembakaran untuk pembukaan lahan. Meski demikian, penegakan hukum tak juga dilakukan KLHK.

”Putusan gugatan perdata ini seharusnya dibarengi pencabutan izin,” katanya.

Perusahaan ini, katanya, sudah bermasalah sejak lama, bahkan sampai 2019, KLHK pun menyegel lahan perusahaan ini karena terbakar. Arie menilai, persoalan utama dari karhutla ini adalah penegakan regulasi tak konsisten, terutama perusahaan yang beroperasi di lahan gambut, seperti AUS.

”Perusahaan ini dari awal banyak masalah. Seharusnya memang dievaluasi sejak awal. Sejak 2013, beroperasi tapi belum memiliki izin sesuai, di lahan gambut dan melanggar peta indikatif penundaan pemberian izin baru.”

Kasus ini, katanya, seharusnya jadi contoh bahwa penegakan hukum bisa serius karena perusahaan sudah dituntut pada 2015 dan terus terbakar hingga kini.

Tantangan kini, kata Arie, banyak instrumen bisa dipakai dalam penegakan hukum, hanya tergantung pemerintah. Hal paling penting dari kasus AUS ini, korporasi ini terdaftar di Singapura.

”Ini bisa dikaitkan dengan perusahaan-perusahaan yang berlisting di Singapura untuk bertanggungjawab. Mereka juga sering protes karena karhutla. Ini kasus kuat, bahwa mereka juga harus melakukan sesuatu di wilayah hukum mereka, di mana perusahaan itu delisting.”

 

Alih aset, modus lepas tanggung jawab?

Dalam gugatan, KLHK meminta AUS tidak bertindak apapun (status quo) baik menjual atau mengalihkan baik di bawah tangan maupun melalui pelelangan umum atau lelang negara atau lelang swasta. Meski demikian, gugatan ini tak dikabulkan Pengadilan Negeri Palangkara.

Pada 10 Oktober lalu, berdasarkan informasi di businesstimes.com, GCCP Resources Limited akan mengakuisisi AUS.

GCCP telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) tak mengikat senilai US$220,3 juta.

Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law( ICEL) menilai, yang harus dipastikan legalitas AUS berada di wilayah hukum Indonesia. Jadi, kalau terjadi sengketa hukum dan berimplikasi pada keuangan perusahaan dan tanggung jawab hukum, harus diselesaikan terlebih dahulu. Sayangnya, tidak dikabulkan Majelis Hakim.

Dodo, sapaan akrabnya, bilang, walaupun terjadi transaksi, tidak menghilangkan pertanggung jawaban hukum si AUS. “Karena sudah diputus pengadilan, kan terbuka untuk umum jadi publik mengetahui. Jadi GCCP harusnya sudah mengetahui putusan itu,” katanya.

Kalau GCCP mengambil alih perusahaan itu sebenarnya berisiko. Kalau aset sudah beralih ke GCCP, modal dan aset GCCP sudah bisa diambil alih lagi oleh negara.

”Memang salah satu modus dari corporate crime kan pengalihan tanggung jawab. Itu umum. Modus umum pertama, itu pergantian direksi, karena menurut mereka akan berubah beban pertanggungjawaban. Kedua, menjual korporasi.”

Setiap yang mau mengakuisi perusahaan tertentu, katanya, lazimnya uji tuntas (due diligence) untuk melihat apakah ada problem hukum atau tidak. Putusan pengadilan, merupakan hal yang dibacakan terbuka dan umum.

”Jadi, GCCP tak memiliki alasan kalau nanti lari dari tanggung jawab.”

Hal terpenting, kata Dodo, KLHK maupun penegak hukum lain perlu mengecek apakah mereka dikontrol oleh subyek hukum yang sama atau tidak karena selama ini, pemerintah memiliki hambatan dalam eksekusi.

Kalau tak banding, KLHK harus segera mengawasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mengawasi transaksi keuangan AUS, termasuk aset dan berkoordinasi dengan pemda setempat.

 

Catatan redaksi: Berita ini direvisi pada 30 Oktober 2019.

Keterangan foto utama:  ILustrasi perusahaan sawit, PT Arjuna Ustama Sawit  di Kalteng, disebutkan bermasalah sejak lama tetapi tetap bisa beroperasi. Kebakaran lahan pun berulang, hingga tahun ini. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version