Mongabay.co.id

Dua Ekor Dugong Ditemukan Mati Tersangkut Jaring Nelayan di Ur Pulau

 

Dua ekor dugong ditemukan mati di perairan sebelah barat Ur Pulau, Kepulauan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Pada Minggu (20/10/2019) sekira pukul 16.00 WIT, Amus Rumheng, nelayan asal Ur Pulau menjaring ikan dengan jaring benang berukuran lebar mata 3 inch dan memasangnya di tengah laut.

Esok harinya, Senin (21/10/2019), pukul 06.00 WIT, nelayan tersebut kembali memeriksa jaringnya, dan tanpa sengaja ia melihat dua ekor dugong sudah tersangkut. Ia lalu menaikan jaringnya dan melihat dua ekor satwa tersebut sudah dalam kondisi mati dengan beberapa luka pada bagian tubuhnya.

Lalu dia membawa dua ekor dugong ke pesisir Ur Pulau dan meminta bantuan salah satu rekannya melapor ke instansi terkait agar ditindaklanjuti.

“Kalau makhluk itu masih hidup sudah saya lepas, tapi sayangnya sudah mati.” Kata Amus dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia dari Seto, salah satu petugas kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, Selasa (23/10/2019).

Laporan yang diterima, kata Seto, lalu ditindaklanjuti Justinus Yoppi Jamlean, Kepala Resort KSDA Tual bersama Pangkalan PSDKP Tual, Dinas Perikanan Maluku Tenggara dan WWF-Indonesia ke lokasi kejadian. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam ke lokasi, tim yang dipimpin Resort KSDA Tual, lalu mengevakuasi dua ekor dugong tersebut.

baca : Seekor Dugong Terjaring di Flores Timur dan Hendak Dikonsumsi. Kok Bisa?

 

Dua ekor dugong mati karena terjerat jaring nelayan di Ur Pulau, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Foto: Brian Rayangki/ WWF Indonesia

 

Namun sebelum dilakukan pemusnahan pada bangkai dugong, lebih awal mereka melakukan pengambilan data morfometri dan interview kronologi kejadian. Diduga dua ekor dugong tersebut merupakan induk betina dan anak jantan, dengan ukuran masing-masing 260 cm dan 207 cm.

Andreas Hero Ohoiulun, Project Executif WWF Indonesia–Inner Banda Arc Subseascape dalam rilis tersebut juga mengungkap, semestinya perairan Kepulauan Kei adalah rumah yang kaya akan aneka ragam spesies laut nan indah dan kharismatik.

Termasuk spesies laut yang langka dan dilindungi seperti penyu, paus, lumba-lumba, dugong dan lainnya. Keberadaan spesies langkah dan dilindungi di Kepulauan  Kei, kata dia, menjadi potensi untuk meningkatkan pengembangan sektor pariwisata bahari.

Olehnya, lanjut Andreas, perlu adanya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan dan kelestarian spesies-spesies langkah yang dilindungi.

“Perlu kerjasama dan kepedulian semua pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Organisasi Peduli Lingkungan lainnya,” katanya.

baca juga : Dugong Mati Terjerat Jaring Nelayan, Sosialisasi ke Masyarakat Minim?

 

Dua ekor dugong mati terjerat jaring nelayan di Ur Pulau, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Foto: Brian Rayangki/ WWF Indonesia

 

Keberadaan Duyung

Syarif Y. Hadinata, Jabaran Social Development Officer WWF Indonesia-Inner Banda Arc Subseascape kepada Mongabay Indonesia, Kamis (24/10/2019) mengatakan, Duyung atau Dugong dugong merupakan mamalia laut herbivor pemakan lamun, terutama dari jenis Halophila dan Halodule.

“Mereka satu-satunya spesies dari famili Dugongidae, dan salah satu dari empat spesies dalam ordo Sirenia (Marsh et al., 1978),” katanya.

Di Indonesia, kata Syarif, habitat duyung tersebar dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua. Namun, meski mendiami hampir seluruh penjuru nusantara, menurut Salm et al (1982), jumlah populasi duyung di Indonesia sangat rendah.

Pada tahun 1970, ungkap dia, diperkirakan jumlah duyung di Indonesia mencapai 10.000 individu. Sedangkan, pada tahun 1994, populasi duyung diperkirakan tersisa 1.000 individu. Padahal, secara hukum, duyung dilindungi melalui UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya dan UU No.31/2004 tentang Perikanan.

Pada skala internasional, duyung terdaftar dalam Global Red List of The International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status Vulnerable to Extinction, atau rentan teradap kepunahan.

Menurutnya, duyung tercatat dalam Appendix I The Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Artinya, bagian tubuh duyung tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.

“Terlepas dari peraturan hitam di atas putih, hidup duyung di perairan negeri kita belum juga terjamin. Undang-undang tidak serta merta memberi dampak baik bagi populasi duyung di Indonesia,” katanya.

perlu dibaca : Warga Seram Potong-potong Dugong Mati Terdampar, untuk Konsumsi?

 

Proses evakuasi dua ekor dugong oleh sejumlah instansi terkait di Ur Pulau, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Foto: Brian Rayangki/ WWF Indonesia

 

Pada 22-28 Desember 2016 lalu, lanjut dia, WWF-Indonesia melakukan Studi Sebaran dan Ancaman Dugong dan Habitat Lamun di Perairan Kepulauan Kei. Dengan mengambil perspektif masyarakat Desa Dian Pulau, Tetoat, Wirin, dan Sitniohoi di Pulau Kecil, studi ini ternyata mengungkap hasil yang memprihatinkan.

Hidup duyung masih menemui berbagai ancaman yang tinggi, baik dari faktor alam maupun antropogenik (faktor manusia). Dari faktor manusia, perburuan duyung masih dapat dijumpai di tempat-tempat, dimana mereka seharusnya dijaga.

Di kawasan yang disahkan sebagai kawasan konservasi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.6/KEPMEN-KP/2016 pada 5 Februari 2016, katanya, duyung masih ditangkap baik untuk konsumsi hingga diperdagangkan.

Dia merinci sebanyak empat dari lima duyung yang tertangkap pada tahun 2016 adalah hasil sampingan (bycatch) dari nelayan pengguna jaring, sedangkan satu individu dilakukan penangkapan secara sengaja.

“Kalau populasi duyung terus menurun, berapa banyak duyung yang tersisa di tahun mendatang,” ujarnya.

Terkait dugong mati terperangkap jaring nelayan di Ur Pulau, dia mengaku, itu bycatch atau tangkapan sampingan. Namun untuk mengetahui lebih pasti penyebab kematian harus dilakukan neokropsi.

Namun, kata dia, karena kondisi di lapangan tidak ada dokter hewan sehingga tidak dilakukan neokropsi. “Kita hanya bisa menduga secara umum,” katanya.

Menurutnya, dugong merupakan mamalia yang bernafas dengan paru-paru. Jadi, dia harus muncul ke permukaan untuk menghirup oksigen. Namun ketika tersangkut di jaring, ruang geraknya terbatas di dalam air dan tidak bisa naik ke permukaan untuk bernafas.

“Bisa jadi itu penyebab kematiannya. Dalam proses evakuasi, dilakukan pemusnahan dengan cara mengubur bangkainya di sekitaran Ur Pulau,” ungkap dia.

menarik dibaca : Miris…Dugong Mati Terdampar di Polman, Malah Dijual untuk Konsumsi

 

Proses penguburan dudong oleh instansi terkait dibantu warga sekitar Ur Pulau. Foto: Brian Rayangki/ WWF Indonesia

 

Perhatian   

James Abraham, Peneliti dari Fakultas Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon mengatakan, jika dalam berita kematian dugong karena tertangkap dengan jaring insang hanyut (drift gill net), mesti mendapat perhatian dari berbagai pihak, pasalnya mamalia tersebut merupakan salah satu sumber daya laut yang dilindungi, bahkan pakannya juga harus dijaga dan dilestarikan.

“Terkait dengan kebijakan perlindungan, langkah strategis yang harus dilakukan adalah bagaimana memetakan lokasi-lokasi jalur ruaya duyung. Karena duyung hadir ke suatu perairan lantaran kebutuhan makanan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (24/10/2019).

Langkah strategis ini juga, kata James, perlu disosialisasikan ke masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, di Kepulauan Kei secara khusus dan Maluku pada umumnya.

Di sisi lain, kata dia, penggunaan jaring insang hanyut juga harus dikendalikan ukuran mata jaringnya. Setidaknya, ukuran bawah 3 inch harus menjadi langkah strategis untuk mengendalikan tertangkapnya duyung dengan alat tangkap tersebut.

Beberapa pikiran strategis yang harus dilakukan menurutnya yakni, pertama sosialisasi tentang regulasi dan pentingnya perlindungan duyung bagi kehidupan ekosistem pesisir dan laut, kedua peningkatan kapasitas masyarakat tentang respon terhadap sumberdaya laut yang dilindungi

Kemudian ketiga, substitusi teknologi penangkapan ikan yang ramah terhadap eksistensi duyung di perairan pesisir dan laut bagi nelayan, serta keempat kampanye perlindungan duyung dan menjaga keberlanjutan pakannya.

“Saya kira itu langkah-langkah strategi ini yang harus kita lakukan,” katanya seraya menyebut untuk kampanye, Pusat Penelitian Pulau-Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Daerah Tertinggal Universitas Pattimura sementara mengusung Tema Save the Dugongs, Please Keep of Seagrass.

 

Exit mobile version