Mongabay.co.id

Manisnya Gula Aren dari Merawat Hutan di Kerinci

Pohon enau atau aren secara adat dilindungi dalam aturan adat di Desa Air Terjun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Seduh kopi pakai gula aren terasa nikmat. Gula aren ini buatan Parmen, dari Kelompok Petani Gula Aren, Desa Air Terjun, Kerinci, Jambi.

Kuali besar berisi air nira tampak dimasak dengan nyala api sedang. Parmen bersama istri, dia bergantian meniup api yang kadang meredup.

Parmen sudah tujuh tahun menyadap aren. Bikin gula aren sudah keturunan dari bapak dan nek ntan, sebutan untuk kakek di desa itu.

Dia bergabung dalam Kelompok Petani Gula Aren sejak 2017 dan diminta langsung jadi bendahara kelompok. Kala itu, beranggotakan 10 orang, aktif hanya lima orang.

Bikin gula aren perlu proses seharian. Pagi selepas sarapan, Parmen sudah beranjak dari rumah menuju pondok. Perjalanan menempuh hutan dengan kontur menanjak. Sebelum sampai di pondok, dia akan berhenti di pohon aren di antara jurang dan tebing.

Parmen berjalan di titian bambu menuju tandan aren yang masih muda, atau biasa disebut mangga. Mata belati sudah terasah tajam mengiris tandan buah dan mengeluarkan tetesan air nira segar. Nira tertampung dengan tukeng atau tabung bambu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pondok dengan beban tukeng lama yang sudah penuh.

“Buat aren yang bagus itu harus teliti, biar rasanya enak dan gula bersih” katanya, sambil mencampur buah keliki. Keliki membantu pengerasan gula aren saat dicetak dalam lingkaran cetak bambu.

Dalam pondok, bergantungan alat-alat kerja memproduksi gula aren. Ada cetakan dari bambu buatan istrinya dan cetakan dari papan berbentuk bulatan kecil dan sedang. Parmen ingin membuat permen aren dengan cetakan papan itu. “Harus ada perkembangan. Masa’ gula terus,“katanya, tertawa.

 

Masyarakat Desa Air Terjun memanfaatkan HKm untuk bercocok tanaman semusim. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Hasil gula aren Parmen jual Rp70.000 per atung. Tiap atung, atau kepingan gula aren terbungkus kulit batang pisang, berisi 20 keping gula. Parmen tak perlu repot pergi ke pasar atau warung menjual gula. Setiap Minggu, rutin ada pembeli datang ke rumah. Saat momen puasa dan Lebaran, harga bisa mencapai Rp100.000 peratung.

Sekali panen, Parmen bisa mendapatkan tiga kg air nira dan diolah jadi 1,5 atung gula aren. Bisa dibilang penghasilan Rp100.000 rutin. Baginya, jadi penyadap aren lebih dari cukup untuk kebutuhan berdua dengan istri, bahkan, masih bisa sedikit ditabung.

Proses panjang mulai dari panen, memasak delapan jam sampai mencetak gula aren membuat dia tak sempat untuk bertani lain.

“Jadi penyadap sudah cukup lumayan untuk ekonomi kami, jadi dak perlu bongkar hutan untuk berkebun” kata Parmen.

Selain gula aren, Desa Air Terjun, mencanangkan untuk pengolahan bambu jadi tusuk sate, tusuk gigi dan beberapa produk lain. Sudah ada bantuan lima mesin, namun belum bisa terpakai karena kendala arus listrik tak cukup untuk mesin beroperasi.

Apmaja Duli, Kepala Desa Air Terjun menyebutkan, potensi bambu di hutan Adat Bukit Sembahyang, sangat banyak. Untuk itu, perlu pengelolaan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

“Nanti tunggu ada pelatihan dulu biar lebih mahir, baru kita mulai membuat olahan bambu ini biar warga punya kegiatan dan penghasilan lain, bambu kita sangat melimpah,“ katanya.

 

 

 

Hutan Kemasyarakatan di Kerinci

Seluas 323 hektar hutan kemasyarakatan di Desa Air Terjun, Kecamatan Siulak, Kabupaten Kerinci, jadi benteng Taman Nasional Kerinci Seblat. Ada lima kelompok yang mendapatkan SK pengelolaan HKm, yakni, HKm Jirak Sakti 51 hektar, HKm Embun Pagi (60), HKm Sungai Telang (58), HKm Bukit Tirai Embun (82), dan HKm Jeruwe (72) sejak 2017.

Kelima skema HKm ini berjejer di hutan produksi terbatas yang membentengi TNKS. Adilmen, Ketua HKm Embun Pagi mengatakan, sejak satu tahun lalu mereka mulai mengelola HKm dengan menanam kebun campur antara palawija dan pepohonan kehutanan yang memberikan hasil bagi masyarakat.

“Kami tidak takut lagi menggarap kebun kelompok ini. Semua ditanami dengan cabai, sayur-sayuran, kulit manis, kopi dan ada buah dan surian.”

Kelompok HKm ini mendapatkan bantuan bibit dari Forest Programme II kelolaan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera sebanyak ribuan bibit.Ia terdiri dari bibit kopi robusta, kayu manis, dan alpukat serta surian. Rata-rata usia pepohonan ini berusia satu sampai dua tahun.

Kepala BPSKL Sumatera Sahala Simanjuntak mengatakan, skema perhutanan sosial ini sebagai langkah tepat mengajak masyarakat bersama menjaga hutan dan sekaligus beri kepastian kelola.

“Mereka sudah ada sejak dulu berkebun di sana, skema hutan kemasyarakatan ini membuka ruang bagi mereka mengolah secara legal dengan ketentuan yang ada,”katanya.

Adilmen dan 39 orang anggota kelompok mengelola izin HKm 60 hektar dan menggantungkan hidup dari hasil sayuran sebagai tanaman sela antara kopi dan kulit manis. ”Sejak dapat SK HKm, kami bersama-sama jadi penjaga agar tak ada yang berkebun sampai TNKS.”

Selain ada kepastian hak kelola, Adilmen merasakan, manfaat skema perhutanan sosial seperti peningkatan ekonomi. Bibit-bibit kopi sudah mulai berbuah, walau belum panen. “Bibit hanya separuh anggota yang sudah menanam di HKm. Ada syarat jika ingin mendapat bantuan bibit yaitu sudah membersihkan lahan dan terlihat terawat.”

Kini, kelompok ini sudah mulai merencanakan kegiatan jangka menengah dan panjang, seperti pengajuan alat-alat atau mesin untuk mempermudah proses olah lahan dan mesin pengolahan kopi pasca panen. Juga, mendapatkan izin guna lahan selama 35 tahun.

Mereka juga ingin tetap bertani dan selalu saling mengingatkan lahan itu harus terus dijaga dari perambah ataupun penggundulan. Lokasi kelima HKm ini masuk zona penyangga.

Haimi, Bendahara Adat Depati Rajo Endah Simpang Bumi Desa Air Terjun mengatakan, sebelum mendapatkan pengakuan HKm, nenek moyang mereka sudah membagi wilayah hutan adat sebagai sumber air bagi masyarakat. Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang Desa Air Terjun seluas 39,04 hektar sejak 2016 sudah mendapatkan pengukuhan oleh presiden.

Potensi di hutan adat, katanya, ada tujuh jenis bambu dengan berbagai kegunaan, seperti betung biasa, milut, sri, aur, telang dan lain-lain.

“Bambu ini juga ditanam leluhur kami agar terhindar dari bencana kekeringan dan longsor,” katanya.

Haimi bilang, sejak dulu, desa mereka terselamatkan dari bencana karena hutan adat ini. Selain bambu, enau atau aren salah satu jenis yang banyak tersebar di sana. Tidak ada kepemilikan perorangan, semua orang boleh mengambil hasil. Hanya, saat ini segelintir orang saja yang masih memanfaatkan aren untuk jadi gula. “Ini keahlian yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pembuat gula aren, biasa ayah atau kakek terdahulu juga memiliki keahlian sama. Tidak banyak lagi yang membuat gula aren.”

 

 

***

Parmen mengemas lempengan gula aren dalam selembar daun pisang yang sudah dikeringkan. Pekan ini, akan ada pasar rakyat. Dia berharap, gula aren bisa habis terjual.

Nasib Parmen, sebagai pembuat gula aren bergantung pada hutan yang melindungi puluhan pohon enau. Ada sekitar 50 tumpukan gula aren dia kumpulkan selama satu minggu. Semoga, hutan terus terjaga hingga Parmen dan warga lain bisa tetap menikmati manisnya beragam hasil dari hutan.

 

 

Keterangan foto utama:  Pohon enau atau aren secara adat dilindungi dalam aturan adat di Desa Air Terjun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Kayu manis, salah satu komoditi HHBK di HKm di Desa Air Terjun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version