Mongabay.co.id

Tiga Besar Persoalan Lingkungan Hidup yang Harus Diselesaikan Negara

 

 

Ada tiga persoalan penting terkait lingkungan hidup yang harus diselesaikan Joko Widodo [Jokowi], ketika terpilih menjadi Presiden Indonesia, lima tahun lalu. Yakni, kebakaran hutan dan lahan [karhutla], konflik agraria antara masyarakat desa dengan negara dan perusahaan, serta terancamnya keberadaan masyarakat adat. Jokowi menunjuk Siti Nurbaya, sebagai Menteri LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan] guna menyelesaikan dua persoalan tersebut.

Kini, Jokowi kembali memimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan dan Siti dipercaya lagi menjadi Menteri LHK. Apa yang harus dilakukan Presiden bersama Menteri LHK?

“Ya, masih seperti lima tahun lalu. Mengatasi karhutla yang tetap saja terjadi di lahan gambut, dan program perhutanan sosial yang terlihat gagal mengatasi konflik agraria, serta menyelamatkan masyarakat adat,” kata Mualimin Pardi Dahlan, anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] kepada Mongabay Indonesia, Rabu [23/10/2019].

Sebab, upaya yang dilakukan Jokowi seperti membentuk dan menjalankan program restorasi gambut melalui Badan Restorasi Gambut [BRG] terbukti belum mampu mencegah kebakaran di lahan gambut. Bencana kabut asap tetap dirasakan di Kalimantan dan Sumatera.

Begitu juga skema percepatan Perhutanan Sosial [PS] dan TORA [Tanah Objek Reforma Agraria], tidak menyentuh optimal masyarakat yang mengalami konflik, atau menyelamatkan keberadaan masyarakat adat.

“Jadi, tidak ada yang bisa diharapkan dari Menteri Siti Nurbaya, selama kebijakan perhutanan sosial bukan jawaban atas konflik agraria, jika tetap diarahkan hanya untuk di luar konsesi korporasi,” lanjutnya.

Baca: Kabinet Baru Jokowi, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Reforma Agraria?

 

Inilah rawa gambut di Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, yang sampai saat ini belum tersentuh program restorasi gambut, meskipun menjadi target restorasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terbukti, dari sejak pertama Siti menjabat Menteri LHK pada kabinet kerja jilid 1, dari ratusan ribu hektar yang kita ajukan melalui skema perhutanan sosial tidak bisa direalisasikan. Padahal, yang diajukan ini sebagian besar dari wilayah konflik agaria. “Persoalan ini sudah disampaikan Walhi saat melakukan rapat kerja dengan KLHK, dan hasilnya dijadikan sebuah buku,” terang Mualim.

Seandainya pemerintahan Jokowi tetap komit menyelesaikan konflik agraria, maka Menteri Siti Nurbaya harus merevisi PS agar menjadi instrumen resolusi konflik. Akar masalah ketimpangan itu, tidak seimbangnya penguasaan lahan antara korporasi dan rakyat. Bahkan dalam RUU Pertanahan saat ini negara akan semakin berkuasa penuh atas tanah. “Bahkan ada ketentuan pengampunan bagi korporasi yang menggarap lahan di luar izin konsesinya.”

Baca: Periode Kedua, Presiden Jokowi Diminta Fokus Benahi Tata Kelola Sumber Daya Alam

 

Sungai Komering yang melintas di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Rawa gambut yang dulunya hijau, kini mengering dan terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain itu KLHK juga belum sepenuhnya mewujudkan permintaan lahan adat oleh masyarakat adat melalui skema PS, yang sebetulnya dapat menyelamatkan hutan alam tersisa. “Fakta yang kita saksikan di lapangan maupun hasil penelitian berbagai pihak, masyarakat adat lebih efektif menjaga hutan, dibandingkan apa yang dilakukan pihak lain termasuk lembaga negara,” katanya.

Dikatakan Mualimin, negara hanya boleh mengatur bukan menguasai. Rakyat yang harus diberi kuasa penuh sebagai pemilik, diberikan perlindungan untuk mengelola dengan budaya kearifan lokal, yang sudah tumbuh dalam bingkai harmoni manusia dan alam secara berkelanjutan.

Sementara TORA, harus dievaluasi dari program yang terlihat hanya bagi-bagi tanah menjadi agenda yang sejati yakni reforma agraria atau penataan ulang kuasa atas tanah secara adil.

“Strateginya, jangan fokus pada tanah bebas, hingga seakan-akan ada kehendak baik membagikan tanah. Padahal, faktanya hampir 80 persen daratan Indonesia sudah dikuasai korporasi, dan inil yang menjadi sumber konflik agraria tidak berkesudahan.”

Negara harus melakukan langkah tegas. “Hentikan sementara pemberian izin pihak yang haus lahan, evaluasi dan audit izin yang sudah ada apalagi yang berkonflik, serta tegakkan hukum atas setiap pelanggaran. Hukum korporasi yang melanggar, termasuk pidana korupsi di sektor sumber daya alam,” tegasnya.

Baca: Keberpihakan Negara pada Investasi di Sektor Kemaritiman

 

Memadamkan api di lahan yang terbakar, bukan pekerjaan mudah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan, juga menyampaikan apa yang akan dilakukan Siti Nurbaya dalam memimpin KLHK lima tahun ke depan. Fokus masih terkait restorasi gambut dan mangrove, mengatasi karhutla, serta meningkatkan dan memperbaiki target PS.

“Ya, masih persoalan yang sama. Memang program restorasi gambut dan mangrove, dan pencegahan karhutla tidak dapat dilakukan cepat. Harus fokus, sabar, dan butuh waktu panjang. Sehingga program ini jangan berhenti, dan tidak dapat diukur dari kerja lima tahun lalu. Kerja lima tahun lalu merupakan pelajaran guna memperbaiki sistem koordinasi dan strategi yang dilakukan. Betul, harus ada perbaikan atau perubahan,” kata Najib.

Sementara PS, dapat dikejar dalam lima tahun ke depan, baik untuk mengatasi konflik agraria maupun menyelamatkan keberadaan masyarakat atau komunitas adat di Indonesia. “Menjaga keberadaan hutan alam tersisa,” ujarnya.

Baca juga: Lahan Sawit Terbakar Hakim Putuskan Bayar Rp261 Miliar, Perusahaan di Kalteng Ini Bermasalah Sejak Lama

 

Ketika Bangka dan pulau-pulau sekitar dikeruk habis timahnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pendekatan budaya

Conie Sema, pekerja seni dan budaya di Palembang, mengatakan, terkait upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup di Indonesia selama ini, termasuk lima tahun pemerintahan Jokowi yang lalu, tampaknya pendekatan masih berpijak pada ekonomi dan hukum.

“Selama ekonomi masih berbasis sumber daya alam dan rakyat tidak memiliki kekuatan modal, seperti lahan dan teknologi, maka pendekatan ekonomi hanya sebuah mitos, yang akhirnya memberikan luka bagi rakyat Indonesia. Jika terus dibiarkan, menjadi sebuah dendam dan kemarahan yang absurd, yang sebenarnya sudah kita rasakan saat ini,” kata Conie.

Begitu pun pendekatan hukum, yang justru menjadikan masyarakat dendam pada negara atau pemerintahan, bukan melahirkan kesadaran. Kenapa? Sebab pelanggaran hukum yang mereka lakukan, seperti membakar lahan dan merambah hutan, bukan karena pilihan atau sikap, melainkan karena kondisi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan teknologi.

“Berbeda di negara maju, penegakan hukum dilakukan karena rakyatnya tidak memiliki alasan lagi untuk melanggar sebuah aturan. Ibarat menangkap seorang anak yang kelaparan karena mencuri sepotong roti.”

Conie menyarankan, pendekatan yang dilakukan adalah budaya dalam menjalankan skema-skema yang dijalankan pemerintah. Misal, memahami nilai-nilai budaya dari sebuah masyarakat. Dari situ dilakukan dialog, yang kemudian mendorong mereka membangun nilai-nilai baru penuh komitmen dan kesadaran bersama terhadap kondisi lingkungan yang sudah tidak sama seperti di masa lalu.

“Jika pendekatan budaya diutamakan, pengakuan lahan adat merupakan pilihan utama dibandingkan hutan kemitraan, hutan desa, maupun hutan kemasyarakatan dalam program PS,” ujarnya.

Conie juga “mencemaskan” pernyataan Presiden Jokowi soal pengutamaan goal atau output. Sebab jika ini digunakan untuk industri berbasis sumber daya alam, seperti perkebunan, maka bukan tidak mungkin persoalan lingkungan ditepiskan guna mewujudkan target produksi. Namun jika digunakan untuk penyelamatan lingkungan dan sumber daya manusia itu sangat baik.

“Perlu penegasan Presiden, hal ini diberlakukan pada pembangunan yang mana, atau program yang mana,” terang Ketua Teater Potlot ini.

 

 

Exit mobile version