Mongabay.co.id

Desa Ini Sukses Panen Jagung Tanpa Bakar Lahan Gambut

Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam mengolah lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Masyarakat Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, panen jagung akhir September 2019. Jagung varietas lokal yang diolah hingga menghasilkan produk turunan begitu diandalkan di desa ini. Hal paling menggembirakan adalah warga tak lagi membakar lahan untuk mengolah lahan pertaniannya.

“Dulu membakar itu sekaligus menurunkan kadar keasaman tanah gambut,” ungkap Junaidi [65], petani Desa Rasau Jaya yang menanam jagung lokal, atau disebut jagung pipil. Junaidi adalah transmigran akhir 1970-an, mendaftar untuk mencari penghidupan baru di Kalimantan Barat. Tak terbayang, bagaimana rupa Borneo saat itu.

Saat datang, Junaidi berhadapan dengan lahan yang dipenuhi pepohonan besar, semak belukar, beserta air parit kehitaman. Dia tak paham, jika air itu mengalir di atas tanah gambut. Kehidupan di tahun pertamanya cukup berat, mengandalkan jatah hidup dari pemerintah. Dia membuka lahan dengan peralatan seadanya. “Membakar adalah jalan paling mudah waktu itu,” kenangnya.

Awalnya, dia menanam sayur, tapi gagal. Berbekal keuletan, Junaidi berhasil mengolah lahannya, tanpa harus membakar. “Lahan sudah jadi, tak perlu lagi membakar. Saya tanam jagung, di bawahnya jahe,” katanya. Di lahannya itu, dia menanam jagung seluas dua hektar, serta dua hektar untuk pertanian, termasuk durian, nangka, mangga, dan jambu.

Junaidi pun membuat sekat kanal di lahannya. Saat kering, kanal tersebut menjadi sumber pengairan. Sebuah mesin pompa air disiagakan. “Saya memutuskan tetap menanam jagung,” ujarnya.

Baca: Bagi Masyarakat Dayak, Berladang Itu Sekaligus Menjaga Keragaman Hayati

 

Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam mengolah lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Integrasi

Yulianus Bona Ventura, sarjana teknik yang menjadi pendamping di Kabupaten Kubu Raya dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, optimis bisa menyelaraskan program pencegahan kebakaran hutan dan lahan [karhutla] di wilayah ini dengan agro teknologi pertanian. “Dana penanggulangan karhutla itu besar, kita harapkan bisa digunakan melalui teknologi pertanian,” ujarnya.

Menurutnya, pembangunan sekat kanal bisa dilakukan di lahan warga. “Asumsinya, satu hektar lahan yang tidak dibakar akan menjaga lima hektar sekitar,” kata Bona.

Program penanaman jagung ini terintegrasi dengan pabrik pengolahan pakan unggas. Semua bagian jagung bisa dimanfaatkan. Kulit untuk kerajinan tangan, bongkol dan serasah untuk pupuk organik. Bahkan warga memanfaatkan buah jagung untuk berbagai penganan. Bona juga mendampingi warga membuat Badan Usaha Milik Desa Bersama [Bumdesa].

Dia bersama Bumdesma menjajaki sejumlah peternakan ayam dan bebek di Kota Pontianak. Peluang terbuka lebar. Diharapkan, dalam waktu dekat ada perjanjian dengan pemilik peternakan. Pabrik pengolahannya sudah siap. “Bumdesma juga dilatih untuk meningkatkan standarisasi kualitas, pemenuhan perizinan usaha dan sertifikasi, desain, pengemasan dan aplikasi produk turunan,” ujarnya.

 

Jagung hasil panen masyarakat Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Mereka kini bertani dengan tidak didahuli membakar lahan. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, kawasan ini merupakan demplot pengembangan jagung, kerja sama Pemerintah Kanada dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya. Lokasinya di lahan gambut Agropolitan Rasau Raya. Agustus lalu, Duta Besar [Dubes] Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste, Peter MacArthur, melihat program tersebut.

“Atas nama Pemerintah Kanada, saya mengucapkan selamat kepada seluruh jajaran pemerintah daerah dan mitra atas kesuksesan pengembangan inovasi ekonomi ini,” tutur Peter. Program dilaksanakan melalui skema Dana Inovasi ResponSif atau Responsive Innovation Fund [RIF], mulai April 2018 hingga Juni 2019, fokusnya inovasi jagung dan olahan turunan.

 

Masyarakat Rasau Jaya juga mengembangkan kripik bayam, selain mengandalkan jagung beserta produk olahannya. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Pengembangan Kawasan Agropolitan Rasau Raya dilaksanakan melalui empat kegiatan: pengembangan kapasitas kelembagaan, inovasi produk, ekspansi pasar dan perluasan jaringan pemasaran, serta menciptakan lapangan kerja.

Pengembangan produk lokal, inovasi dalam pengelolaan lahan gambut menjadi lahan produktif dilakukan melalui perlakuan khusus. Kerja sama Universitas Tanjungpura dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian [BPTP] Provinsi Kalimantan Barat melalui aktivasi Klinik Pertanian berhasil memangkas rantai produksi dengan tingkat efisiensi biaya hingga 51 persen. Proses penanaman lebih mudah dan singkat.

Setelah diolah, jagung di lahan gambut ini dipanen 7–8 ton/hektar, lebih banyak 2-3 ton/hektar sebelum program berjalan. Potensi peningkatan produksi mencapai 87% dan pendapatan naik 146%, dari Rp12,6 juta menjadi Rp31 juta setiap kali panen. Program ini juga memakai pola pertanian terpadu [integrated farming] dengan sektor peternakan dan perikanan.

 

 

Sutrali, petani di Desa Sungai Bulan, Kubu Raya, merasakan keuntungan cara ini. Selain jagung, mereka juga bertanam sayur dan buah. “Kami menanam di lahan desa,” ujarnya. Dia merasa tenang lantaran jagung hasil panennya ada pasarnya.

Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, mengatakan kebakaran lahan gambut merupakan masalah tahunan yang berulang. Pemupukan menggunakan trichoderma merupakan jalan keluar selain membakar, terlebih metode ini ramah lingkungan.

“Kita harus mencari metode yang bisa langsung dilakukan. Petani dapat dilatih learning by doing,” ujarnya.

Muda meminta petani segera mendaftarkan diri ke dinas terkait untuk memudahkan pemerintah daerah melakukan pelatihan di lapangan. “Petani yang menggunakan metode tanpa bakar, harus menjadi contoh petani lain,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version