Mongabay.co.id

Orang Bunggu Perjuangkan Wilayah Adat Mereka

 

 

 

 

 

Pakawa. Begitulah nama desa di Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar) ini. Di sana, tinggal orang-orang Bunggu, bersuku Inde (rumpun Kaili).

Kini, mereka tak lagi mengenakan pakaian berbahan kulit kayu, seperti kala Albert. C. Kruyt, seorang misionaris sekaligus etnografer asal Belanda berkontak pertama kali dengan orang-orang Bunggu, pada 1925. Kehidupan mereka, terbilang banyak berubah.

Baca juga: Nasib Orang Bunggu, Sawit Datang, Hutan dan Sagu Hilang

Dalam catatan yang dikutip Nuraedah, dosen Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako (Untad) dalam Kebudayaan dan Perubahan Sosial Etnis Tori Bunggu (2019), Kruyt melihat orang Bunggu, hidup di tengah belantara hutan dan mendirikan rumah-rumah di atas pohon. Mereka berburu, mengumpul, berkebun nomaden, dan melestarikan ritus adat.

Kehidupan mereka yang berjalin dengan hutan sejak lama kini tinggal ingatan.

Pada 1991, usai perusahaan kayu masuk ke wilayah mereka berganti PT Astra Agro Lestari (AAL), menyasar hutan yang dijaga orang Bunggu.

Dengan bala Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini terpecah jadi TNI dan Polri— kampung, kuburan, gereja, dan kebun kena gusur. Hutan pun jadi kebun sawit.

Di bawah ancaman senjata, orang Bunggu berlari ketakutan. Beberapa desa—kecuali Pakawa—seketika bak kampung hantu, ditinggal pergi penduduk. Mereka sembunyi dan mendirikan hunian sementara di kampung yang tak tergusur di Gunung Morokepi.

Mei, salah satu orang Bunggu yang terusir. Pria 52 tahun ini cerita, kala itu, banyak warga berusaha bertahan namun pedang, sumpit, tombak, dan kepalan tangan, tak ada guna melawan selongsong peluru tajam.

“Kenapa mau digusur?” kata Mei, terbata-bata berbahasa Indonesia ke perusahaan sawit.

“Ini masuk HGU,” jawab orang itu.

Akhirnya, Sampoa, kampung kelahiran Mei harus dilepas ke tangan AAL.

Empat tahun berlalu. Mei dan lain-lain kembali. Dia membisu, menyaksikan kampungnya luluh lantak. Dia mengernyitkan dahi berulang kali. Kesal, begitu marah melihat nisan kedua orangtuanya rusak.

Mei, kini tinggal di Bambaapu, dusun di Desa Pakawa. Sejak setahun lalu, dia didapuk sebagai pemimpin adat dusun. Di desa ini, orang Bunggu membaur dengan para perantau. Mereka masih merawat hukum adat.

Selain Pakawa, orang Bunggu, juga tersebar dan menetap di beberapa desa di Kecamatan Pasangkayu dan Donggala (Sulteng). Sejak kebun sawit ada, mereka juga ikut budidaya sawit.

 

Tumbuhan yang jadi bahan pembuatan baju Bunggu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Upaya pengakuan adat

Jaya, Kepala Desa Pakawa, belakangan ini sibuk menghadiri pertemuan dengan PT Pasangkayu, anak usaha kebun sawit AAL, bersama aparat keamanan. Pertemuan itu, membahas konflik tanah antar perusahaan dan orang Bunggu.

Berjuang memperoleh tanah ulayat Bunggu, menghabiskan separuh usia Jaya. Berbagai upaya telah dia lakukan. Pada 2017, dia audiensi bersama DPRD Pasangkayu, dan tak membuahkan hasil. Begitu juga tahun-tahun sebelumnya.

“Hasil pertemuan tadi belum ada. Cuma, keinginan masyarakat disampaikan tadi, itulah yang jadi bahan pertimbangan diusulkan ke pusat. Baru sebatas itu. Nanti kembali pertemuan,” kata Jaya.

“Bagaimana respon perusahaan?”

“Dalam waktu singkat ini, Pasangkayu mengusulkan ke atasan, bagaimana cara penanganan,” katanya.

Meski hidup berangsur pulih, warga masih dibayangi ancaman perampasan tanah. Belum lagi, hutan mereka ditetapkan sebagai hutan lindung.

Enam dusun di Desa Pakawa, sebagian tersedot HGU PT. Pasangkayu. Dalam peta bidang tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ BPN, tampak sejumlah peta pemilikan warga tertindih hak guna usaha (HGU). (Peta HGU dan hak milik dapat diakses di sini).

Tiga dusun lain, Sivata, Watike, dan Wesuba, masuk hutan lindung.

“Terancam kita ini. Kita mau ke hutan, tapi sudah hutan lindung. Mau ke mana kita ini?” kata Burhan, orang Bunggu.

Dengan ‘gempuran’ HGU dan hutan lindung, akses orang Bunggu terhadap tanah makin terbatas. Tanpa pengakuan dari pemerintah, wilayah adat, masih tak jelas. Mereka bisa saja tergusur kembali atau paling tidak, dituduh merusak hutan lindung.

 

Ima, Kepala Adat Dusun Kumu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Jaya bersama lembaga adat mulai memperjuangkan ada peraturan daerah (perda) tentang pengakuan hukum adat bagi Komunitas Bunggu.

“Ini kita sudah rencanakan. Kita akan bertemu dengan bupati, meminta perda itu,” katanya.

“Bagaimana perkembangan sekarang?” tanya saya.

“Ini baru tahap sosialisasi, ini akan kita teruskan.”

Jaya bilang perlu pendampingan. “Kami sangat butuh saran.”

 

 

Usulan gubernur

Duapuluhlima September lalu, saya menemui Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar. Mengenakan pakaian dinas, Ali didampingi jajarannya.

“Yang disampaikan dampak-dampak terhadap masyarakat adat, betul ada. Itu sudah terjadi, termasuk kejadian terhadap masyarakat Desa Adat Pakawa dan sekitarnya,” kata Ali ketika saya Saya menanyakan konflik antar PT. Pasangkayu dan masyarakat adat Bunggu.

Begitu juga soal belum ada pengakuan terhadap Bunggu. Ali bilang, pemerintah provinsi memfasilitasi proses pengakuan adat sampai ke kementerian bila di tingkat kabupaten menghadapi banyak kesulitan.

“Kalau lebih bagusnya lagi jangan buat perda, cukup keputusan gubernur. Surveinya ke bawah sama-sama dengan DPR (Pasangkayu). Buatkan sistem seperti itu. Kalau disetujui oke. Ditandatangani gubernur, baru diusul ke menteri,” kata Ali.

Dia bilang, proses seperti ini agar lebih cepat karena kalau perda bisa lama. “Tunggu anggaran lagi, bahas lagi. Keburu habis.”

Sisi lain, pemerintah provinsi sudah menaruh perhatian terhadap konflik-konflik lahan, kata Ali termasuk konflik kebun sawit dengan warga sekitar.

Demi itu, mantan Bupati Polewali Mandar (Polman) ini mengatakan, membentuk tim yang bertugas selesaikan sejumlah perseteruan lahan antar perusahaan dan masyarakat.

“Kemarin tim sudah berujung ke final.”

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, sebenarnya tanpa perda atau surat keputusan (SK) pengakuan adat, tak jadi masalah. Namun, katanya, selama ini, dia melihat eksekutif dan legislatif kabupaten tak ambil serius mengurus polemik masyarakat adat.

“Saya duga hal sama terjadi dengan Orang Bunggu ini,” katanya beberapa waktu lalu via WhatsApp.

“Tidak ada perda atau SK bukan berarti mereka tak punya hak atas wilayah adat. Bupati dan DPRD pasti tahu, Orang Bunggu ini masyarakat adat.”

 

 

Hasil panen padi orang BUnggu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Ladang jadi hutan lindung

Beberapa waktu lalu, Ima, orang Bunggu, terkejut mendengar hutan yang sebagian ladang berubah jadi hutan lindung. Dia tahu, dengan status itu, berladang di hutan bisa berujung pidana.

Padahal, kata Ima, masyarakat lebih dulu menjaga dan memanfaatkan hutan itu jauh sebelum negara menetapkan sebagai hutan lindung.

“Tiba-tiba, Dinas Kehutanan bilang ini hutan lindung. Dia tidak lihat kalau ada warga yang pakai,” kata Kepala Adat dusun Kumu ini.

Di lereng gunung, sebagian besar orang Bunggu, terutama di Dusun Sivata memanfaatkan hutan itu jadi ladang. Tiap tahun, mereka membuka dan memindahkan ladang ke lahan baru.

Sunia, Kepala Dusun Sivata, mengatakan, praktik ladang berpindah seperti itu tak merusak kondisi alam dan orang Bunggu tak mau hutan rusak. Di bekas ladang lama, hutan tumbuh kembali.

“Kita biasa tanam jagung kalau sudah padi sudah panen,” kata Sunia.

Praktik ladang berpindah diklaim tak masuk dalam kriteria pengakuan masyarakat adat. Kepala Dinas Kehutanan Sulbar, Fakhruddin, di ruang kerja Gubernur Sulbar mengatakan, praktik itu bisa merusak lingkungan karena siklus berpindah.

“Kami pernah datang ke sana untuk verifikasi awal. Bunggu itu, ada salah satu kriteria yang tidak terpenuhi, karena mereka berkebunnya berladang berpindah. Nomaden,” katanya.

Dia bilang, secara kriteria lingkungan tidak terpenuhi. “Tapi kita masih mencari untuk yang masih bermukim di dalam (hutan lindung).”

Abdon bilang, tak ada kriteria seperti yang disebutkan Fakhruddin. “Dinas Kehutanan ini pasti belum tahu dan belum membaca putusan MK35/2012 (keputusan soal hutan adat bukan hutan negara).”

Abdon menilai, pengakuan masyarakat adat Bunggu, tergantung dari seberapa peduli bupati.

“Kalau bupati peduli dengan masyarakat adat, dia punya beberapa pilihan mekanisme yang tersedia. Masing-masing daerah, katanya, bisa pilih prosedur tergantung objek yang disengketakan,” kata Abdon.

“Bisa bikin mekanisme dulu dengan bikin perda atau surat bupati seperti mekanisme di Permendagri No. 52/2014. Kalau di APL (alokasi penggunaan lain– luar kawasan hutan) bisa pakai skema sertifikat komunal.”

Berdasarkan SK Menteri LHK Nomor 5K.8114/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018, di Sulbar, hutan lindung ada 456.033 hektar dari total kawasan hutan, 1.069.989 hektar.

 

Akses jalan ke Desa Pakawa, melalui jalan kebun sawit. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia
Memasuki Desa Pakawa. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version