Mongabay.co.id

Revisi Perda Tata Ruang, Selamatkan Hutan dan Gambut Riau

Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

 

 

 

 

Mahkamah Agung menerima permohonan gugatan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, terhadap Perda 10/2018 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau. Putusan itu terbit pada 3 Oktober 2019 setelah didaftarkan sekitar dua bulan.

Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau, mengapresiasi majelis hakim Irfan Fachruddin, Yodi Martono Wahyunadi dan Supandi karena beri kado untuk masyarakat dan masa depan Riau. Dia berharap, pemerintah dan DPRD Riau mengakomodir kepentingan masyarakat bukan investasi semata.

Dalam permohonan Jikalahari dan Walhi, keberatan karena Perda RTRW Riau 2018-2038 tak berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Mereka juga keberatan dengan ketentuan outline, perhutanan sosial dan gambut.

Perda RTRW Riau yang tak melampirkan KLHS sebelum validasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai bertentangan dengan aturan lebih tinggi, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Tata Cara Penyelenggaraan KLHS dan peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan tentang pelaksanaan PP 46/2016. Semua aturan ini, mewajibkan penyusunan RTRW harus berdasarkan KLHS yang lengkap dan sempurna dengan berbagai tahapan sampai validasi menteri yang mengurusi lingkungan.

Berdasarkan kronologi Jikalahari dan Walhi dalam berkas keberatan mereka, Pemerintah Riau waktu itu dikomandoi Arsyadjulian di Rachman, kini anggota DPR, tak menghiraukan rekomendasi KLHK.

Sekretaris Daerah Ahmad Hijazi atas nama Gubernur Riau, saat itu justru minta nomor registrasi ranperda ke Menteri Dalam Negeri lewat Direktur Produk Hukum Daerah Dirjen Otonomi Daerah. Permintaan itu dipenuhi enam hari berselang dengan nomor registrasi 10/105/2018.

Mengetahui hal itu, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan menyurati Dirjen Bina Pembangunan Daerah. Surat itu memberitahu, Pemerintah Riau, belum memasukkan rekomendasi mereka terkait validasi KLHS yang akan berdampak buruk bagi lingkungan, seperti

daya dukung dan daya tampung lingkungan seluruh Riau menurun, pengelolaan gambut jadi tak terkendali baik lindung maupun budidaya. Juga, pengelolaan wilayah hulu, tengah dan hilir daerah aliran sungai jadi tak terkendali serta kawasan konservasi maupun suaka alam makin terdegradasi karena okupasi dan pemanfaatan tak sesuai.

Pemerintah dan DPRD Riau, bergeming. Perda RTRW Riau disetujui dan ditetapkan pada 8 Mei 2018 oleh Plt Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim. Setelah 20 hari penetapan RTRW Riau, Jikalahari menyatakan, Direktur Produk Hukum Dearah mengabaikan Keputusan Mendagri bahwa, nomor registrasi Ranperda RTRW mesti diberikan setelah Gubernur Riau menyempurnakan dan menyesuaikan hasil evaluasi RTRW dalam KLHS.

Asri Auzar, Wakil Ketua DPRD Riau kala itu Ketua Pansus RTRW Riau, mengatakan, KLHS sejak awal sudah dibahas bersama Menteri LHK, Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/BPN dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Solusinya, sambil dikerjakan KLHS akan disempurnakan Pemerintah Riau meski RTRW telah disahkan. “Provinsi lain bisa juga begitu. Mendagri sudah evaluasi dan menyetujui. Kecuali ditolak. Beri kesempatan pada provinsi,” kata Asri Auzar juga Ketua DPD Demokrat Riau.

Menurut Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo, Perda RTRW Riau telah mengambil kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia contohkan, Pasal 1 angka 9 tentang outline tak sesuai penjelasan holding zone dalam PP 8/2013.

 

Kabut asap di Pekanbaru, 20 September lalu. Kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan berulang di Riau, karena tata kelola hutan dan lahan buruk. Foto: Riko Kurniawan, Walhi Riau

 

Outline dalam Perda RTRW Riau disebutkan sebagai, rencana penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Sedangkan, holding zone lebih rinci dijelaskan dalam Inpres 8/2013 ringkasnya menyebut, kawasan hutan yang belum ditentukan peruntukan ruangnya.

Pemerintah Riau mengganti holding zone jadi outline dalam Perda RTRW merujuk Keputusan Menteri dalam Negeri. Keputusan ini dianggap tak tepat karena makna dua kata itu berbeda dalam aturan masing-masing. Lagi pula, penetapan holding zone adalah kewenangan menteri bidang kehutanan.

Penegasan itu sekaligus membantah pasal-pasal dalam RTRW Riau, yang dibatasi outline. Ia turut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tentang Tata Ruang, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Juga, Peraturan Presiden tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Semua peraturan itu, menegaskan, perubahan fungsi dan penggunaan kawasan hutan diatur dalam perundang-undangan bidang kehutanan, perubahan peruntukan hutan diajukan atau diusulkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, kawasan hutan tak boleh serta merta lepas tanpa ada permohonan. Sebaliknya, Perda RTRW Riau justru mengalokasikan perubahan status 405.874 hektar kawasan hutan.

Asri Auzar, mengatakan, baru usulan, keputusan tetap KLHK. “Kami hanya beri patokan. Kalau KLHK tak setuju, tak bisa juga. Seluruh Indonesia pakai outline termasuk Kalimantan. Kalau ada kekurangan bisa revisi. Manusia ini tak ada yang sempurna.”

Jikalahari menemukan, 29.102 hektar dari luas outline dikuasai lima korporasi dan dua cukong untuk perkebunan sawit tidak sah, seperti PT Torganda, PT Padasa Enam Utama, PT Agro Mandiri/Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri. Juga, PT Andika Pratama Sawit Lestari, PT Citra Riau Sarana, Koko Amin serta Ationg dan Asiong.

Okto menyebut, Perda RTRW hendak melegalkan tindak pidana perambahan hutan dengan cara memaksa KLHK mengubah status jadi areal penggunaan lain.

 

 

Asri membantah. Dia bilang, outline buat masyarakat, sekolah, mesjid, fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti pembangunan jalan tol dan jalan negara lain. Dia mengetahui, ada sawit ilegal tetapi dalam kebun masyarakat bahkan fasilitas sosial itu akan dikeluarkan. “Kami tak ada masukkan sawit ilegal dalam outline. Kalau ada temuan sampaikan pada kami.”

Asri bilang, yang mengusulkan pemberian izin perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria dari menteri– harus dapat rekomendasi gubernur setelah dibahas bersama DPRD. Usulan ini, termuat dalam Pasal 46 ayat (2) huruf e Perda RTRW Riau. Tujuannya, pemerintah dan DPRD, hendak mengetahui siapa yang mengusulkan dan benar-benar memastikan penerima adalah masyarakat bukan korporasi.

Menurut dia, ada penghulu atau kepala desa mengadu, mereka tak tahu ada usulan hutan desa dari wilayahnya.

Jikalahari dan Walhi keberatan karena, aturan itu tak ada sangkut paut dengan UU Pemerintahan Daerah termasuk Permen LHK 83/2016 soal perhutanan sosial.

UU Pemerintahan Daerah menyatakan, tugas dan wewenang pemerintah daerah mengurusi kehutanan terbatas dan tak ada perintah rekomendasi perhutanan sosial. Sedangkan, lima pasal dalam Permen LHK tentang perhutanan sosial menyatakan, tak perlu rekomendasi gubernur dan hasil pembahasan DPRD.

Adakalanya, menteri memberi kewenangan gubernur keluarkan izin perhutanan sosial dengan syarat, perhutanan sosial ada dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, punya peraturan gubernur terkait itu serta dianggarkan dalam APBD. Riau, katanya, belum punya syarat-syarat itu. Karena itulah, kata Okto, sekitar 112.330 hektar usulan perhutanan sosial di Riau, belum ditindaklanjuti Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) karena tersandung Perda RTRW Riau.

Sejak Perda RTRW berlaku, kata Asri, sekitar 20 usulan sudah masuk dan dibahas mereka bersama pemerintah provinsi. Tujuh usulan telah direkomendasikan namun dia tak ingat dari mana saja usulan itu. “Kami tak menghambat. Meski prosesnya lama kalau memang untuk masyarakat, apa asalahnya? Daripada nanti mereka berkelahi.”

Asri tetap yakin tak melanggar aturan lebih tinggi ketika menyelesaikan Perda RTRW. Mereka hanya ingin memperkuat substansi dalam perda itu. “Kalau nanti usulan perhutanan sosial itu tak disetujui apa boleh buat? Itulah perjuangan. Nanti bahas ulang lagi,” katanya sambil tertawa.

 

Hutan dan gambut Riau, jangan sampai makin terancam gara-gara RTRW baru. Foto : Greenpeace

 

RTRW Riau: 99% gambut masuk budidaya

Keberatan lain Jikalahari dan Walhi terhadap Perda RTRW Riau adalah, pasal-pasal yang dianggap melanggengkan kebakaran hutan dan lahan serta banjir di Riau. Pada SK 130/2017 menetapkan, luas kawasan gambut Riau 4.972.482 hektar. Ia terbagi dalam fungsi lindung 2.378.108 hektar dan 2.595.374 hektar fungsi budidaya.

Aturan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut mewajibkan penetapan fungsi lindung gambut minimal 30% dari seluruh luasan. Namun, katanya, luas lindung gambut di Perda RTRW hanya 21.615 hektar atau tak sampai 1%.

Okto mengatakan, ketika 99% gambut dalam RTRW Riau masuk budidaya, mungkin terbit izin-izin baru yang berakibat makin luas dan parah kerusakan gambut. “Gambut rusak salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan, kalau tidak ada perbaikan.”

Permohonan Jikalahari dan Walhi, pada majelis hakim, pemerintah daerah mencabut Perda 10/2018 RTRW Riau 2018-2038, menyusun kembali Perda RTRW Riau dengan pertimbangan keberatan mereka atau setidak-tidaknya mencabut pasal-pasal yang mereka persoalkan.

Asri belum terima putusan MA bahkan, menganggap hanya isu. Dia bilang, tak ada pemberitahuan RTRW digugat. “Saya tak mau berandai-andai sebelum baca putusan. Kalau RTRW ditiadakan, kiamatlah Riau ini. Kalau hanya sebagian yang diterima, itu biasa. Itulah perbaikan tadi.”

 

Keterangan foto utama: Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

Exit mobile version