Mongabay.co.id

Menjaga Silok Merah di Danau Empangau

Sore hari di Danau Lindung Empangau pada masa pembukaan panen sejak 28 September 2019-28 Maret 2020. Masyarakat diperbolehkan memanen ikan arwana dan konsumsi hingga di wilayah zona inti. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Matahari seakan tepat di atas kepala, panas menyengat. Pasar Jongkong, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tampak ramai. Kuli angkut hilir mudik memindahkan berbagai hasil bumi, sembako hingga makanan instan dari kapal nelayan. Kapal cepat (speedboat) terlihat parkir di pinggir dermaga. Di dinding ruang tunggu terpampang poster kontes ikan arwana berhadiah Rp30 juta. Di pasar ini, biasa jadi tempat jual beli silok merah atau arwana super red, ikan langka yang masuk daftar spesies terancam punah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Laurensius Radin, dari Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan, Yayasan Kehati mengatakan, di pasar ini, banyak transaksi dan transit arwana super red (Scleropages formosus), biasa disebut silok merah di Kalimantan Barat. Beberapa lapak pasar menjual pakan arwana seperti katak dari ukuran kecil, sedang hingga besar, udang, jangkrik dan lain-lain.

Kecamatan Jongkong, katanya, tak jauh dari habitat silok mereka. Di Kawasan Danau Lindung Empangau, Desa Nanga Empangau, Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, sekitar 30 menitan pakai speetboat dari Jongkong, salah satu habitat silok merah. Danau ini juga jadi penggerak perekonomian desa.

Di sekitar Danau Lindung Empangau ini ada 1.747 warga tinggal tersebar di Dusun Empangau Hulu, Dusun Kuala Dua dan Dusun Pangelang. Mayoritas Suku Melayu dengan mata pencaharian nelayan, petani karet, petani kratom dan berladang.

Danau Empangau seluas 103,6 hektar dengan kedalaman 3-21 meter. Danau ini ‘tulang pungung’ masyarakat desa dalam menghidupi keluarga, selain sektor perkebunan. Tak hanya habitat silok merah, ada sekitar 74 jenis ikan lain yang memiliki nilai ekonomis, seperti toman (Channa micropeltes), jelawat (Leptobarbus hoevani), ringau (Datnoides microlepis), tapah (Wallago leeri), tengadak (Barbonymus scwanenfeldii), baung (Hemibagrus nemurus), dan belida (Notopterus borneensis).

Sejak Agustus 2017, program TFCA Kalimantan, berjalan bersama Pokmaswas Danau Lindung Empangau untuk pengembangan konservasi spesies silok merah dan ekowisata.

 

Arwana super red. Foto dari bpsplpadang.kkp.go.id

 

Di bibir danau, kapal nelayan parkir berjejer memberi warna beragam di atas warna air kecokelatan dan lansekap perbukitan dengan hutan yang rimbun.

“Danau ini seperti ibu, yang memberi kita (masyarakat) makan,” kata Agus, Kepala Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Danau Lindung Empangau, sambil mendayung perahu kayu. ”Itu sudah yang membuat kita mau menjaga.”

Menjaga danau seperti penyelamatan leluhur, maupun generasi Desa Empangau. Merawat danau, sudah lahir dari para tetua mereka sejak 1986. Sebelumnya, sempat terjadi penangkapan ikan berlebihan.

Pada El-Nino 1997, jadi pukulan bagi masyarakat Desa Empangau. Kemarau panjang membuat banyak ikan mati, antara lain arwana merah. Kejadian itu makin menyadarkan masyarakat untuk melindungi Danau Empangau. Dengan kesepakatan desa, mereka menyusun ‘aturan main’ dalam menangkap ikan, baik ikan konsumsi maupun silok merah.

Kemudian lahir aturan berupa Surat Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 6/2001 tentang penetapan Danau Empangau jadi Kawasan Danau Lindung. Masyarakat berbenah, mulai dari alat tangkap, waktu pemanenan, hingga tata ruang zona danau.

”Kita membagi, ada zona inti lindung, zona pemanfaatan khusus dan zona umum,” kata Agus. Luasan masing-masing, 14,45 hektar, 40,07 hektar dan 49,08 hektar. Zona-zona inilah yang membatasi masyarakat menangkap ikan. Tujuannya, agar tak terjadi mengeksploitasi kekayaan alam ini.

Zona inti lindung, tak boleh ada aktivitas hingga ada musim panen raya tiba setiap dua tahun sekali. Di zona umum, warga bisa memanfaatkan sehari-hari. Untuk zona pemanfaatan khusus, pemasangan jaring atau bubu hanya di wilayah tertentu yang sudah disepakati.

 

Ibra Mandho Brain, dari Kelompok Pengelola Pariwisata Desa Lindung Empangau. Bersama anggota lain mereka hendak mengembangkan ekowisata. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Pada 28 September 2019, merupakan hari yang ditunggu-tunggu warga. Hari itu menjadi masa pembukaan musim panen. Tepat pukul 4.00 sore, warga berbondong-bondong menuju Danau Empangau untuk nyuluh.

Nyuluh, atau mencari silok merah. Bermodalkan sauk (alat serok berbentuk seperti saringan), senter, plastik, sampan dan dayung serta barang-barang keperluan pribadi. Sauk pun memiliki standar tertentu, kurang lebih 20 cm.

Allahuma shalli ala Muhammad.” Shalawat terdengar jadi penanda mulai nyuluh.

Sekitar 100 orang mulai bergerak dari tepian danau mendayung sampan menuju ke tengah danau, sebelum akhirnya mereka menepi untuk berburu. Selama enam bulan, masyarakat mandapatkan kesempatan bebas memanen arwana.

Sudah tradisi turun menurun mereka memulai nyuluh dengan shalawat. Ia meminta berkah agar usaha berhasil baik. Biasa shalawat diikuti bunyi gong.

Silok merah, memiliki warna mata ‘menyala,’ berwarna oranye atau jingga emas. Ikan ini sering berada di permukaan air, hingga kontras dengan warna air danau. Meski, seringkali mereka tertipu dengan ikan seluwang yang memiliki kemiripan.

Mendapatkan silok merah jadi sebuah keberuntungan. Ada yang mudah mendapatkan, ada juga yang sudah bertahun-tahun tetapi tak jua berhasil.

Syarat nyuluh, hanya warga Desa Empangau, tidak orang luar desa.

”Kalau saya pernah, hanya lihat silok temuan warga, dapat sendiri belum,” kelakar Baeq Mahmulia, tampak hendak menyuluh.

Sudah dua kali dia ikut nyuluh setelah kembali dari merantau selama delapan tahun ke Kota Pontianak. ”Saya ikut karena seru, ramai, jadi penasaran,” katanya.

Meski tak membawa pulang silok, dia sering mendapatkan seluwang, gabus atau ikan jenis lain. Sehari-hari, dia membuka toko pembelian pulsa dan token listrik. Dia juga metik puri di kebun.

Biasanya, Mahmulia menyusuri pinggiran danau dengan berjalan, karena anak silok biasa sering ditemukan di antara ranting-ranting pohon tumbang. Lokasi ini jadi tempat favorit bagi indukan arwana memuntahkan telur.

Dia bilang, satu kebanggaan danau lindung ada di kampungnya. Tak semua orang punya keistimewaan ini, ada ikan buat konsumsi dan silok merah, ikan hias bernilai tinggi.

Berbeda dengan Ibra Mandho Brain, pemuda Desa Empangau ini sudah mendapatkan silok merah tiga kali. ”Masih ragu, gemetar, bercampur rasa takut. Rasanya, berdebar karna baru pertama kali jumpa pada 2007,” katanya.

Tahun 2018, dia pernah mendapatkan silok lagi. Pengalaman pertama bertemu silok saat masih duduk di sekolah dasar tahun 1997. Keberuntungan ini pun menumbuhkan rasa tanggung jawab Ibra untuk menjaga danau dan kembangkan ekowisata Desa Lindung Empangau.

”Danau sudah memberikan banyak ke saya. Saya harus melindungi danau dan ke ekosistemnya.”

 

Selain menyuluh (mencari) silok merah para perempuan di Desa Nanga Empangau juga menghasilkan teh puri atau teh yang berasal dari daun kratom. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Bagi warga Desa Empangau, kalau dapat silok merah, dalam waktu 1×24 jam harus melapor kepada Kepala Pokmaswas atau Kepala RT setempat. Ada Pokmaswas, masing-masing ada satu di setiap RT. Merekalah yang menjadi penjaga bagaimana ikan konsumsi dan arwana tesedia secara lestari sepanjang masa.

Setelah lapor, lalu menyerahkan ikan kepada Ketua Pokmaswas. Ada dua pilihan bagi masyarakat, dapat diberikan sukarela kepada Pokmaswas dan diserahkan dengan mendapatkan uang Rp2.750.000, sebesar Rp250.000 untuk uang kas desa. Warga dapat bersih Rp2,5 juta.

Ikan itu akan dirawat Pokmaswas untuk dikembangbiakkan. Setelah berusia dua tahun, ikan akan lepas liar ke alam. ”Dua tahun jadi umur bagi silok bisa bertahan hidup di alam,” katanya.

Pelepasliaran pun tidak hanya dari ikan dari masyarakat, juga bibit ikan yang diberikan secara sukarela.

Aturan ini pun sudah berjalan lama. Kalau terbukti ada yang melanggar akan kena sanksi adat. Agus bercerita, pada 2011, ada warga mengambil indukan di Danau Lindung, padahal sangat dilarang.

”Lalu, dia jual dan jadi orang kaya baru. Setelah ketahuan karena informasi dari Pasar Jongkong, dia mendapatkan sanksi, tidak boleh memanfaatkan danau lindung,” katanya.

Dia kena denda Rp25 juta perekor, sudah ambil tiga ekor. Ukuran nilai pun secara musyawarah desa. Selanjutnya, ikan dilepasliarkan di danau dan uang masuk kas desa.

Uang kas terkumpul, biasa untuk dana pendidikan, dana sosial, pembelian benih arwana dan pembangunan infrastruktur desa.

Berdasarkan data Pokmaswas sejak 2002, sudah delaan kali warga Desa Empangau melakukan pemasokan kembali silok merah ke alam, total 53 ekor.

Menurut Agus, TFCA Kalimantan, salah satu lembaga yang membantu pendataan dan pengorganisasian re-stocking dan memperbaiki fasilitas dalam upaya melindungi Danau Empangau. Penggalian kearifan lokal, pengorganisasian masyarakat Pokmaswas dan Kelompok Pengelola Pariwisata ini pun tak lepas dari dampingan TFCA Kalimantan.

 

Perlu pendampingan

Ibra Mandho Brain, anggota Kelompok Pengelola Pariwisata (KPP) Danau Lindung Empangau mengatakan, potensi ekowisata andalan di Danau Lindung Empangau, adalah silok merah.

Mereka bersama sekitar puluhan anak muda Desa Empangau sedang mencoba mengembangkan ekowisata, tak hanya melestarikan lingkungan, juga memperkenalkan kearifan lokal dan budaya.

”Sejauh ini, kami baru saja menawarkan pemandangan danau.”

Dia bilang, wisatawan lokal dan mancanegara mulai berkunjung, seperti dari Prancis, Malaysia dan Jepang.

Ibra mengatakan, berdasarkan keputusan warga, mereka memberikan tarif kapal untuk mengitari danau sekitar Rp300.000 per perahu, bisa diisi lima sampai enam orang. Biaya masuk danau Rp20.000 per orang.

Dia berharap, pengembangan ekowisata ini bisa maksimal dengan menambah daya tarik, seperti lokasi swafoto di sekitar danau, menawarkan penorama hutan selain danau, kerajinan tangan maupun pangan lokal.

Baeq Mahmulia, juga KPP, mengatakan, mereka memerlukan pendampingan dalam pengembangan ekowisata. ”Butuh pengarahan dan menggali potensi ciri khas dari Danau Lindung Empangau ini.”

 

Keterangan foto utama:  Sore hari di Danau Lindung Empangau pada masa pembukaan panen sejak 28 September 2019-28 Maret 2020. Masyarakat diperbolehkan memanen ikan arwana dan konsumsi hingga di wilayah zona inti. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Matahari tenggelam di Danau Lindung Empangau, Kapuas Hulu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version