Mongabay.co.id

Banggai Cardinal Fish, Masa Depan Masyarakat Bone Baru

 

 

Di Desa Bone Baru, laut adalah latar depan. Meski berada di pesisir, tapi tak banyak masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Penduduknya bertumpu hasil kebun. Sebagian besar mereka adalah petani yang menggantungkan harapan dari panen cengkih, kelapa dalam, atau kakao.

Pagi di awal Oktober 2019 itu, aktivitas warga berjalan seperti biasa. Desa ini terletak di Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Jaraknya 20 menit dari ibu kota kabupaten dengan kendaraan roda dua atau empat.

Pertengahan Mei 2018, desa ini pertama kali dalam sejarah didatangi tamu penting. Susi Pudjiastuti yang saat itu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan meninjau lokasi budidaya ikan capungan banggai atau Banggai Cardinal Fish [BCF] yang dikelola masyarakat.

“Itu pertama kalinya kami didatangi menteri,” kata Saleh B. Lalu, warga dan juga pendamping kelompok budidaya BCF Lestari Desa Bone Baru.

Baca: Banggai Cardinal Fish, Ikan Asli Indonesia

 

Surya Risuana, koordinator program Yayasan Lini saat melakukan survei populasi BCF. Foto: Yayasan Lini/Mongabay Indonesia

 

Capungan banggai memiliki nama latin Pterapogon kauderni, ikan endemik Banggai. Jenis ini termasuk ikan hias yang memiliki tubuh unik dengan warna eksotik. Nilai permintaannya tinggi, nasional maupun internasional, menyebabkan populasi BCF menurun akibat penangkapan di alam berlebihan.

Laut di depan Desa Bone Baru adalah salah satu habitat capungan banggai. Beberapa tahun sebelumnya, kapal-kapal kayu pengepul ikan hias dari Manado atau Kendari, kerap berlabuh. Jika kapal sudah datang, artinya permintaan meningkat.

“Mereka sudah punya orang khusus penangkap ikan hias dari kampung. Satu kali pengiriman dari desa ini dan tetangga, mencapai 10 hingga 20 ribu ekor BCF,” kata saleh.

“Harga per ekornya variasi, rata-rata 100 dan 200 Rupiah. Sekarang pengambilan di alam senilai Rp 7.500 dan hasil budidaya lebih mahal yakni Rp30.000 per ekor dengan usia mulai 4 bulan,” lanjutnya.

Baca: Banggai Cardinal Jadi Ikan dengan Perlindungan Terbatas di Indonesia

 

Ikan capungan banggai atau Banggai Cardinal Fish yang menjadi harapan masa depan masyarakat • Desa Bone Baru, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Menurut Saleh, capungan banggai mudah didapat di laut Bone Baru. Itu yang membuat nama desa ini dikenal sebagai pengepul terbesar. Untuk membuktikannya, saya melihat langsung kondisi bawah lautnya dengan cara snorkeling.

Awalnya, pemandangan padang lamun tersaji. Tak butuh lama, terumbu karang, anemon, dan bulu babi mulai nampak. Lalu ikan-ikan kecil sekira 4 sampai 8 cm bermunculan, di antara anemon dan bulu babi: inilah capungan banggai. Mudah dikenali karena memiliki corak tiga garis hitam pekat dari kepala, tubuh, dan ekor. Dua sirip bagian bawah terdapat totol putih.

Ikan ini berkelompok. Ukuran kecil banyak berlindung di bulu babi, yang agak besar berbaur dengan jenis lain seperti nemo atau clown fish. Bulu babi dan anemon adalah mikrohabitat capungan banggai. Hampir di semua titik dengan mudah dijumpai capungan banggai ini. Perairannya cukup dangkal. Jika sedang pasang, kedalamannya dua meter lebih. Saat surut, hanya setengah meter dan karang-karang terlihat dari daratan.

“Beberapa tahun lalu, nelayan penangkap BCF di kampung mengambil dengan cara merusak, gelondongan. Banyak nelayan menggunakan bius,” kata Saleh.

Baca juga: Lambangan dan Uwedikan, Desa yang Merancang Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

 

Ikan capungan banggai yang menjadi incaran untuk ditangkap. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Populasi menurun

Lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature [IUCN] memasukan capungan banggai dalam daftar merah dengan kategori Genting [Endangered].

Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Ikan Capungan Banggai periode 2017-2021, disebutkan bahwa populasi ikan ini di alam menurun drastis. Penyebabnya karena penangkapan berlebihan, serta degradasi habitat yang diakibatkan kegiatan manusia dan perubahan iklim. Disebutkan bahwa capungan banggai kecil mempunyai nilai jual lebih tinggi dibandingkan ukuran besar. Hal ini mengakibatkan sedikit ikan ini mencapai usia dewasa dan berkembang biak di habitat alam.

Pada 2007 dan 2016, capungan banggai dua kali dimasukan dalam daftar Appendiks II CITES [Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna] atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar terancam punah. Namun dua kali proposal usulan itu ditarik oleh Amerika dan Uni Eropa. Namun, ada kemungkinan negara-negara ini mengusulkan kembali aturan tersebut.

Dalam negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan statusnya dilindungi terbatas melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 49/KEPMEN-KP/2018. Kepmen tersebut menjelaskan perlindungan berdasarkan tempat dan waktu yakitu di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah dan hanya pada Februari-Maret dan Oktober-November. Ini sesuai rekomendasi LIPI yang menyebutkan, bulan tersebut capungan banggai mengalami puncak pemijahan.

 

Ikan capungan banggai atau Banggai Cardinal Fish [BCF] yang hidup berkelompok di bulu babi. Hilangnya bulu babi akibat dikonsumsi masyarakat membuat populasi BCF menurun. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pada 14-21 Oktober 2019, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut [BPSPL] Makassar, bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan pemantauan populasi capungan banggai di Bokan Kepulauan, Kabupaten Banggai Laut. Hasil survei di delapan lokasi menunjukkan, populasinya menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di Tanjung Nggasung, populasinya turun drastis. Di stasiun Mandel, bahkan berada pada tingkat kritis. Lokasi lain yang tak jauh berbeda adalah stasiun Minanga.

Kendati demikian, di beberapa lokasi, kelimpahannya terlihat seperti di stasiun Melilis dan Toada. Hasil pantauan meningkatnya populasi hanya ditemukan di stasiun Kombangan dan Mbuang-Mbuang. Adapun stasiun Toropot, relatif stabil sejak 2017 hingga 2019.

“Selain penangkapan, penurunan populasi terjadi karena berkurangnya jumlah mikrohabitat, yaitu anemon dan bulu babi. Mikrohabitat kerap dikonsumsi masyarakat. Bahkan di salah satu lokasi survei, yaitu di Kombongan, sama sekali tidak ditemukan lagi bulubabi,” ungkap Kris Handoko, surveyor dari BPSPL Makassar.

Sebelumnya, dalam ekspos monitoring populasi ikan Capungan Banggai itu, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Banggai Laut, Balsam Sarikaya, menyampaikan informasi perdagangan ikan di Kabupaten Banggai Laut. Menurutnya, hasil tangkapan di alam hampir sebagian besar diperdagangkan di Bali, Jakarta, dan Kendari.

Berdasarkan lalu lintas perdagangan SKIPM [Stasiun Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu] Banggai Laut, jumlah produksi capungan banggai di daerahnya sejak 2016 sampai Juli 2019 cenderung turun. Pada 2016 [45.820 ekor], 2017 [59.650 ekor], 2018 [16.150 ekor], dan Juli 2019 [3.435 ekor].

 

Aquarium berisi budidaya ikan capungan banggai ini dibududayakan oleh kelompok BCF Lestari. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Budidaya

Sebuah papan tulis berukuran kecil tergantung di tengah lokasi budidaya. Ada tulisan tangan Susi Pudjiastuti, berisi pesan kepada kelompok budidaya BCF Lestari dan masyarakat Bone Baru: Laut adalah masa depan bangsa, hanya kalau kita jaga!

“Saya salah satu nelayan ikan hias di kampung ini. Dulu mengambil pakai bius, sekarang sudah diajarkan untuk ramah lingkungan,” kata Husain Tuah.

Akhir 2017, kelompok budidaya BCF Lestari yang beranggotakan 7 orang, mendapat bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di Kabupaten Banggai Laut, satu-satunya budidaya capungan banggai hanya ada di Desa Bone Baru. Selebihnya, di Kabupaten Banggai Kepulauan.

“Sejak ada budidaya saya belajar, semakin semangat ketika Ibu Susi datang,” ungkapnya.

Perubahan pola pikir nelayan terbantu kehadiran Yayasan Lini. Organisasi nirlaba berbasis di Bali yang bergerak di bidang perikanan berkelanjutan ini melakukan pendampingan masyarakat pesisir. Sejak 2010, yayasan ini kampanye alat tangkap ramah lingkungan dan meninggalkan potasium.

“Kami survei populasi capungan banggai sejak 2016 hingga sekarang. Ada 16 lokasi yang dipantau, ada peningkatan dan penurunan di beberapa tempat itu,” ungkap I Gede Surya Risuana, Koordinator Program Yayasan Lini di Kabupaten Banggai Laut.

Kini, anggota kelompok budidaya BCF Lestari belajar sisi ekonomi, pemasaran capungan banggai. Yayasan Lini menjadi penghubung antara nelayan budidaya dan eksportir.

Kelompok ini sudah empat kali melakukan pengiriman ke Bali, dengan ukuran ikan sebesar 3 cm dan usia 4 bulan. Jumlahnya 100 sampai 200 ekor. Harga satu ekor Rp30.000 yang bagi nelayan sangat menguntungkan. “Kami sudah ada rencana sertifikasi budidaya untuk membedakannya dari alam,” tuturnya.

 

Kapal kayu yang biasanya mencari ikan hias, terutama capungan banggai di Kepulauan Banggai. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pengambilan bulu babi dan anemon

Populasi capungan banggai yang turun akibat berkurangnya mikrohabitat, yakni anemon dan bulu babi, juga diulas dalam jurnal Marine Fisheries Pengelolaan Banggai Cardinal Fish Melalui Konsep Ecosystem Based Approach” oleh Samliok Ndobe, dkk [November, 2013]. Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa persepsi masyarakat mengkonsumsi bulu babi dan anemon laut secara terbatas merupakan bagian dari pola kehidupan tradisional masyarakat Kepulauan Banggai. Namun tingkat konsumsi telah meningkat tajam pada sebagian besar lokasi.

Berdasarkan responden mereka di kalangan nelayan ikan hias maupun masyarakat umum, didapati jawaban bahwa penyebab utamanya adalah perubahan pola kehidupan masyarakat, nelayan yang beralih menjadi pembudidaya rumput laut jarang menangkap ikan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka mencari sumber protein di perairan dangkal sekitar lokasi budidaya, termasuk avertebrata bentik dan secara khusus bulu babi dan anemon laut.

 

Banggai Cardinal Fish merupakan jenis ikan mouthbrooder atau memelihara anak di mulutnya. Foto: Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat semakin tertarik mengkonsumsi bulu babi, akibat cerita bahwa bulu babi memiliki khasiat sebagai afrodisiak [peningkat daya seksual]. Selain itu, bulu babi digunakan sebagai pakan ikan karang, termasuk kerapu dan ikan napoleon [Cheilinus undulates].

Terindikasi kuat, penyebab utama penurunan jumlah populasi capungan banggai adalah degradasi habitat, termasuk secara khusus peningkatan konsumsi mikrohabitat.

Saleh B. Lalu dan Husain Tuah membenarkan masyarakat banyak yang mengkonsumsi anemon dan bulu babi. Namun kata mereka, warga itu berasal dari desa tetangga di perbukitan. Anemon dimasak. Bahkan, saat ini mulai banyak yang menjual dengan harga Rp10 ribu per satu ikat, biasanya terdiri 5 anemon dengan berat lebih 1 kilogram.

“Kalau bulu babi bisa langsung dikonsumsi, yang mengambil mulai anak-anak sampai orang dewasa saat air surut,” kata Saleh.

Surya Risuana dari Yayasan Lini mengatakan, solusi sementara yang mereka lakukan adalah membuat pembelahan anemon untuk dikembangbiakkan. Bahkan, anemon di aquarium budidaya kelompok BCF Lestari merupakan hasil pembelahan.

“Aturan dan larangan konsumsi anemon serta bulu babi belum ada. Kami berharap, kerusakan mikrohabitat tidak bertambah luas,” paparnya.

 

 

Exit mobile version