Mongabay.co.id

Jerat Satwa Jadi Penyebab Utama Punahnya Harimau dan Macan Tutul di Laos

 

Sebuah makalah riset terbaru di Konservasi dan Ekologi Global menanggap bahwa bahwa harimau terakhir di Laos lenyap sekitar tahun 2013 dari Kawasan Konservasi Taman Nasional Nam Et-Phou Louey. Para ilmuwan percaya jerat satwalah yang menyebabkan banyak kematian harimau, meskipun program besar-besaran aksi konservasi di taman nasional di negara itu telah dilakukan.

Dengan hilangnya harimau di kawasan lindung terbesar di Laos, para peneliti menyebut harimau kemungkinan besar juga telah punah di Kamboja dan Vietnam.

 

Salah satu harimau pertama yang difoto selama survei awal. Foto ini didapat pada tahun 2003, sekitar sepuluh tahun sebelum harimau di Laos punah. Foto oleh: WCS-Laos.

 

Harimau terakhir di Laos itu kemungkinan mati dengan kondisi kesakitan yang luar biasa. Kakinya terperangkap dalam jerat, sehingga ia mungkin mengalami dehidrasi. Atau mungkin ia coba lepas dari lilitan jerat sehingga kakinya luka, robek dan ia kehilangan banyak darah. Pada akhirnya, harimau itu kemungkinan mati dalam kondisi tersiksa.

Ada kemungkinan harimau Indocina (Panthera tigris corbetti) terakhir di Laos ini ditembak mati oleh para pemburu. Ia kemudian dimutilasi, dan dijual bagian-bagian tubuhnya. Di pasar gelap bagian-bagian tubuh harimau digunakan sebagai simbol status atau sebagai bahan obat yang mengada-ada.

Dan bukan hanya harimau yang jadi korban. Para peneliti juga percaya bahwa macan tutul Indochina (Panthera pardus delacouri) juga kini telah punah dari Kawasan Konservasi Nam Et-Phou Louey, Laos dan kawasan lindung lainnya karena krisis jerat yang sama.

Tragedi ini hanyalah salah satu tanda dari gejala ‘pengosongan hutan secara masif’ di seluruh Asia Tenggara, ketika pemburu dengan senjata dan jerat terus memusnahkan populasi hewan, dari hewan seukuran tikus atau burung pipit sampai hewan besar  sebagai targetnya.

Pada awal 2000-an, para konservasionis melihat Kawasan Konservasi Nam-Et Phou Louey sebagai prioritas utama. Saat itu area ini  masih memiliki populasi harimau, macan tutul dan banyak mamalia besar lainnya. Pada saat itu, taman nasional ini menjadi salah satu habitat populasi harimau paling penting di Asia Tenggara.

Pada tahun 2003 dan 2004, para konservasionis percaya bahwa setidaknya ada tujuh ekor harimau di Nam-Et Phou Louey atau mungkin sampai 23. Strategi konservasi baru, -termasuk peningkatan penegakan hukum dan bekerja dengan masyarakat lokal, dimulai pada tahun 2005. Namun pada 2013, para peneliti hanya menemukan dua harimau di kamera jebak, dan sejak itu tak ada lagi harimau yang terlihat melalui kamera jebak.

“Telah terjadi penurunan tajam dan kemusnahan harimau di Nam-Et Phou Louey hanya dalam kurun waktu 10 tahun,” kata Akchousanh Rasphone, peneliti dan anggota Wildlife Research Conservation Unit, yang dikenal sebagai WildCRU, di University of Oxford menjelaskan.

“[Hasil studi] kami melihat dari berbagai faktor yang menyebabkan penurunan, seperti pertimbangan faktor jumlah mangsa dan jumlah senjata api yang disita dari taman nasional, maka satu-satunya faktor yang tampaknya terkait langsung dengan penurunan harimau adalah peningkatan jumlah jerat secara luar biasa,” tambahnya.

 

Gambar yang luar biasa dari seekor harimau yang menggeram pada tahun 2005 di Laos. Mungkin salah satu individu terakhir yang bertahan di sana. Foto oleh: WCS-Laos.

 

Kamera perangkap tidak menemukan harimau atau macan tutul

Rasphone dan rekan-rekannya mengadakan survei di taman nasional secara sistematis dari 2013 hingga 2017 dengan kamera jebak, dan mereka menyatakan ini adalah upaya aksi konservasi terbesar yang pernah dilakukan di Laos.

Hasil dari survei, menunjukkan tidak ditemukannya macan sama sekali; individu terakhir tercatat pada tahun 2004. Dan dua harimau terakhir menghilang begitu saja setelah 2013. Kemungkinan besar mereka telah terbunuh oleh jerat atau senjata.

Ketika ditanya apakah mereka mungkin bisa saja melewatkan harimau di perangkat kamera jebak, Rasphone berkata, “harimau memiliki area jelajah, biasanya mereka dapat dengan mudah difoto dalam kamera yang dipasang di sepanjang jalur.”

 

Macan tutul Indocina terpotret di Taman Nasional Nam Et-Phou Louey. Pemburu memusnahkan macan tutul dari taman nasional sebelum harimau. Satwa ini difoto pada tahun 2003 dan mungkin merupakan salah satu macan tutul terakhir di Laos. Foto oleh: WCS-Laos.

 

Harimau memiliki badan besar, mudah dibedakan dari hewan lain, dan cenderung melalui jalur jelajah yang mencakup area yang luas di wilayahnya. Usaha untuk memotret mereka jauh lebih mudah daripada banyak spesies lain yang cenderung tampak samar di kamera jebak.

Satu-satunya tempat lain di Laos yang memiliki harimau yang masih diperkirakan bertahan adalah harimau di Kawasan Perlindungan Alam di Nakai-Nam Thuem. Meski indikasinya makin bertambah buruk.

“Kamera jebak di Nakai-Nam Thuen baru-baru ini menunjukkan harimau, macan tutul, macan tutul, dan kucing emas telah musnah dari kawasan lindung ini,” jelas seorang ahli konservasi anonim yang enggan disebut namanya.

Jadi, jika harimau punah dari Laos, sama seperti mereka yang juga baru saja punah dari Kamboja dan Vietnam. Mengingat semua perhatian dan dana dialokasikan untuk harimau, mengapa hal ini bisa terjadi?

 

Apa yang sebetulnya terjadi?

Jessica Hartel, Direktur Program Penghapusan jerat Kibale Snare di Uganda, di tahun 2015 menyebut jerat adalah “ranjau darat hutan.”

“Seperti ranjau darat, jerat tidak membedakan mangsa, hampir tidak terdeteksi, dan dapat menyebabkan kerusakan fisik permanen dalam sepersekian detik,” katanya.

“Seperti ranjau, jerat adalah perangkap kematian yang tak kenal ampun. Ia menyebabkan rasa sakit, penderitaan, dan mutilasi. Seperti ranjau darat, jerat meledak secara otomatis saat ada tekanan dari hewan yang masuk atau melewatinya. ”

Dan spesies kucing besar seperti harimau dan macan tutul “sangat rentan terhadap jerat,” sebut Jan Kamler. Bahkan jika jerat digunakan untuk menangkap hewan buruan untuk konsumsi, seperti rusa dan babi hutan.

“Harimau dan macan tutul sebagai makhluk pemburu tergolong jarang melintas karena mereka memiliki wilayah perburuan yang cukup luas dibandingkan hewan lain,” tulis Kamler. “Meskipun jerat dilarang di dalam area yang dilindungi, namun jika ia diletakkan di sepanjang batas hutan, populasi harimau dan macan tutul akhirnya bisa punah juga.”

 

Ratusan jerat yang disita di Kamboja. Kawat perangkap ini memusnahkan satwa liar di penjuru Asia Tenggara. Mereka membunuh tanpa pandang bulu dan menyebabkan penderitaan luar biasa bagi hewan-hewan yang terjerat. Murah dan mudah dibuat, jerat sulit diidentifikasi oleh penjaga hutan dan banyak taman nasional belum dapat beradaptasi dengan ancaman baru ini. Foto oleh: Rhett A. Butler / Mongabay.

 

Kamler berteori alasan macan tutul punah sebelum harimau di Laos. Sebutnya, karena macan tutul kalah bersaing dengan harimau yang merupakan predator puncak. Ia lalu tersingkir ke wilayah penyangga taman nasional. Di area ini mereka lebih mudah tertangkap jerat atau ditembak para pemburu ilegal yang menyusup ke area ini.

Penelitian pada jurnal Biological Conservation yang dirilis tahun lalu, menyebut para ranger penjaga hutan telah menyita lebih dari 200.000 jerat dari hanya lima kawasan lindung di Asia Tenggara termasuk Nam-Et Phou Louey, hanya dalam kurun waktu lima tahun.

Pernyaataan mengejutkan disampaikan oleh Thomas Gray, -penulis utama riset yang juga Direktur Sains untuk Wildlife Alliance. Saat berjumpa tahun lalu dengan penulis, dia menyebut para penjaga hutan paling terlatih pun hanya bakal menemukan sepertiga dari jumlah jerat yang ada di kawasan lindung. Padahal, Gray menyebut penjaga hutan Nam-Et Phou Louey  bukan masuk bagian dari mereka yang terbaik.

“Keberadaan jerat sangat sulit untuk dikendalikan karena jerat dibuat dengan biaya yang murah. Satu orang dapat membuat ratusan bahkan kadang ribuan jerat,” kata Rasphone.

Saat ini, jutaan jerat kemungkinan sudah tersebar luas di hutan dan kawasan lindung di Asia Tenggara, yang tanpa pandang bulu bakal menyapu habis satwa liar yang tersisa.

 

Sudah Sedikit Terlambat

Troy Hansel, mantan Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Program untuk Laos, mengatakan bahwa pendanaan dan sumber daya untuk Nam-Et Phou Louey datang “agak sedikit terlambat untuk menyelamatkan populasi harimau.”

Konsorsium tim konservasi dipimpin oleh WCS Laos, yang menurut Rasphone menghabiskan antara USD 150.000-200.000 setiap tahun antara 2009 hingga 2012. Uang itu berasal dari donor internasional seperti Bank Dunia, USFWS, dan Badan Pembangunan Prancis (AFD). Meskipun terdengar besar, tapi ini diperuntukkan untuk mengelola hutan taman nasional yang yang luasnya setengah wilayah Jamaika, hutannya pun teramat lebat.

Rasphone mengatakan dana itu telah berkontribusi untuk membantu menghentikan pemburuan satwa lewat senjata api. Jumlah senjata api api yang disita jumlahnya meningkat selama program berlangsung. Tapi, tidak cukup untuk “menghentikan laju peningkatan penggunaan jerat.”

 

Pemburu yang tertangkap kamera di Laos. Beberapa perburuan diperbolehkan di zona penyangga Kawasan Lindung Nasional Nam Et-Phou Louey. Tetapi hanya untuk spesies tertentu yang tidak dilindungi dan berdasarkan peraturan tertentu. Foto oleh: WCS-Laos.

 

Ketika program konservasi dimulai tahun 2005, para konservasionis memiliki tujuan ambisius untuk meningkatkan jumlah harimau hingga 50 persen dalam sepuluh tahun, dengan target ada 25 ekor harimau betina. Harapannya ini bakal mengubah taman nasional ini menjadi “sumber plasma nutfah konservasi” harimau Indocina, demikian mengutip makalah tahun 2016 yang disajikan dalam Biological Conservation.

Penulis utama penelitian itu, yang juga mantan Direktur WCS Laos, Arlyne Johnson, mengatakan makalah riset ini dimaksudkan untuk mengevaluasi keberhasilan atau kekurangan program ini. Dia mencatat bagaimana para konservasionis melihat peningkatan signifikan kasus penggunaan jerat selama sepuluh tahun terakhir. Ini ada kemungkinan adalah strategi yang sengaja digunakan oleh para pemburu ilegal untuk membunuh harimau terakhir.

“Perangkap jerat kemungkinan digunakan pemburu lokal yang mengubah taktik agar mereka lebih efektif memburu harimau,” tulis Johnson dan rekan-rekannya. “Jerat tidak digunakan secara umum sampai pedagang dari Vietnam dan Cina dari luar daerah mulai mendukung perburuan lokal dengan menyediakan alat ini.”

Meski pendanaan yang ada membantu meningkatkan populasi hewan berkuku tajam dalam mengatasi perburuan, namun jumlah dana itu belum ideal, hanya separuh untuk menjaga agar harimau tetap ada di dalam taman nasional. Jelas hasil penelitian itu menyebut.

Johnson pun menyebut tindakan penegakan hukum lemah. Pemburu sulit tertangkap dan dihukum. Salah satunya karena ada kendala seiring waktu berjalan, yaitu dana patroli yang menurun.

“Sangat sulit untuk mendapatkan dana memadai yang cukup untuk mendukung tim patroli,” kata Paul Eshoo, yang bekerja di bidang ekowisata dan konservasi di Laos.

“Donor biasanya tidak mau mendukung pengeluaran operasional langsung sehari-hari dan gaji staf patroli. Alih-alih mereka lebih suka mengalokasikan bagian terbesar dana mereka, dalam program untuk mendukung peningkatan kesejahteraan sosial [di sekitar wilayah konservasi].”

 

Sebuah foto harimau yang diambil pada survei terakhir, artinya ini adalah individu harimau yang ada di Laos sebelum dinyatakan punah. Foto oleh: A. Rasphone, WildCRU, dan WCS-Laos.

 

Masalah lain lebih pada birokrasi struktural, dimana Laos tidak memiliki jagawana tetap.

Menurut Eshoo, patroli di Nam-Et Phou Louey sebagian besar terdiri dari tim yang direkrut dari beraneka ragam profesi. Pegawai negeri, sukarelawan, militer, dan penduduk desa, tanpa ada yang berasal dari mereka yang memiliki profesi tetap sebagai jagawana di taman nasional.

“Tim penjaga hutan sering berubah, dan terus membutuhkan pelatihan ketika mereka baru bergabung,” katanya. Kurangnya keahlian, pengalaman, dan seringnya pergantian anggota tim tentu saja merugikan dalam upaya menyelamatkan harimau di taman nasional.

“Padahal untuk melindungi spesies seperti harimau yang sangat terancam punah, membutuhkan perlindungan ekstra yang lebih profesional dan komitmen jangka panjang.”

 

Seekor beruang madu, salah satu spesies mamalia besar yang tersisa di TN Nam Et-Phou Louey. Foto: A. Rasphone, WildCRU, WCS-Laos.

 

Pendanaan masih sangat penting

Meskipun pendanaan konservasi datang “terlambat” untuk penyelamatan macan tutul dan harimau, tetapi adanya pendanaan ini tetap berperan besar dalam mempertahankan populasi hewan lain di kawasan lindung terbesar di Laos ini.

Selama program berlangsung, Johnson menyebut adanya peningkatan populasi hewan berkuku tajam di taman nasional ini. Seperti anjing liar (Cuon alpinus), macan tutul (Neofelis nebulosa), beruang hitam asia (Ursus thibetanus), beruang madu (Helarctos malayanus), bison india (Bos gaurus), rusa sambar (Rusa unicolor), musang owston (Chrotogale owstoni), serta beberapa spesies primata dan berang-berang.

Gajah asia (Elephas maximus) pernah berkeliaran di bagian utara taman, tetapi menghilang sekitar satu dekade yang lalu, meski Rasphone menyebut ada potensi jejak kaki mereka ditemukan pada tahun 2015. Mungkin kawanan gajah bermigrasi diantara Laos hingga Vietnam.

Para ahli memprediksi hilangnya macan tutul dan harimau akan merestrukturisasi rantai puncak predator di taman nasional ini, yaitu: anjing liar. Anjing liar sendiri masuk dalam Daftar Merah IUCN. Jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah harimau di seluruh dunia.

“Anjing liar tidak lagi punya pesaing untuk memperoleh makanan dan ruang. Mereka akan mengambil manfaat dari kepunahan ini,” kata Kamler. Tapi dia pun buru-buru menambahkan pernyataannya, “Selama jerat tidak menyebabkan kepunahan spesies anjing liar ini juga.”

 

Seekor individu anjing liar di TN Nam Et-Phou Louey. Anjing liar sekarang menjadi predator teratas di taman nasional. Ia mungkin mendapat manfaat dari kurangnya populasi harimau dan macan tutul, tetapi ia menghadapi banyak tantangan yang sama untuk kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang. Spesies ini memiliki populasi lebih sedikit daripada harimau di dunia dan terdaftar sebagai terancam punah. Foto oleh: WCS-Laos.

 

Sedangkan untuk harimau indocina, Kamler mengatakan fokus konservasi sekarang harus beralih ke Thailand dan Myanmar. Saat ini, harimau indocina terdaftar sebagai terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Namun, status itu belum diperbaharui lagi sejak ia dirilis pada 2010.

Pada 2010, para konservasionis memperkirakan ada 20 individu harimau di Kamboja (sekarang sudah punah), 20 di Vietnam (juga sudah punah), dan 17 di Laos (sayangnya, juga sudah punah). Thailand dan Myanmar menjadi negara dimana terdapat populasi liar yang masih dapat bereproduksi.

Selain itu, para peneliti percaya mungkin masih ada 352 harimau sumatera di Indonesia yang tersisa. Jika hari ini jumlahnya di bawah 250, hal ini akan membuat potensi kepunahan mereka semakin tinggi.

“Semua kawasan lindung di Asia Tenggara harus waspada terhadap krisis penggunaan jerat di kawasan ini,” kata Kamler.

Bagi Laos, yang terpenting adalah meningkatkan status pentingnya konservasi di birokrasi pemerintah. Seorang sumber anonim, menyebut TN Nam-Et Phou Louey tidak pernah “dianggap serius” oleh tiga pemerintah provinsi setempat. Di sisi lain, karena desentralisasi, pemerintah pusat tak membari banyak perhatian.

“Kawasan lindung dan konservasi spesies bukan prioritas penting pemerintah,” kata sumber itu.

“Kawasan konservasi tidak diberi tingkat otoritas yang sama dengan lembaga lain. Kepala kawasan lindung bahkan tidak punya cap resmi. Otoritasnya dianggap lebih rendah dari otoritas setingkat wilayah kabupaten. Padahal spesies dan habitatnya dapat membawa kekayaan atau manfaat bagi negara jika dilindungi.”

 

Bison india difoto dalam kegelapan di Area Lindung Nasional Nam Et-Phou Louey. Terdaftar sebagai rentan, spesies ini juga menjadi korban perburuan liar untuk pengobatan tradisional Tiongkok. Foto oleh: WCS-Laos.

 

Hasan Rahman, seorang ahli harimau dari WCS Bangladesh, mengatakan komponen terakhir yang amat penting untuk keberhasilan konservasi harimau adalah: “dukungan publik.”

“Dukungan publik adalah kuncinya. Tidak hanya dukungan dari orang-orang yang hidup di lanskap wilayah sekitarnya, tetapi juga perhatian dunia diperlukan untuk menyelamatkan sebagian besar spesies ‘karismatik’ ini dari kepunahan. ”

Laos mungkin telah kehilangan harimau. Tetapi potensi konservasi di sana tetap besar, seperti halnya di Kawasan Konservasi Nam-Et Phou Louey. Bukan tak mungkin jika suatu saat nanti, harimau dan macan tutul dapat kembali menemukan jalan untuk kembali ke Laos. Dengan asumsi, kita dapat menyelamatkan mereka dari kepunahan.

 

Gambar langka dua macan tutul-dahan (clouded leopards). Hewan-hewan ini sekarang merupakan spesies kucing terbesar di TN Nam Et-Phou Louey. Foto oleh: A. Rasphone, WildCRU, WCS-Laos.

 

Citations:

Gray, T.N.E., Hughes, A.C., Laurance, W.F. et al. The wildlife snaring crisis: an insidious and pervasive threat to biodiversity in Southeast Asia. Biodivers Conserv (2018) 27: 1031. https://doi.org/10.1007/s10531-017-1450-5

Johnson, A., Goodrich, J., Hansel, T., Rasphone, A., Saypanya, S., Vongkhamheng, C., Venevongphet & Strindberg, S. 2016. To protect or neglect? Design, monitoring, and evaluation of a law enforcement strategy to recover small populations of wild tigers and their prey. Biological Conservation, 202: 99-109.

Rasphone, A., Kéry, M., Kamler, J.F., Macdonald, D.W., Documenting the demise of tiger and leopard, and the status of other carnivores and prey, in Lao PDR’s most prized protected area: Nam et – Phou louey, Global Ecology and Conservation (2019), doi: https://doi.org/10.1016/j.gecco.2019.e00766 .

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: How Laos lost its tigers.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version