Mongabay.co.id

Kelestarian Silok Merah Terancam di Alam

Arwana super red. Foto : BPSPL Padang

 

 

 

 

 

 

Namanya, arwana super merah (Scleropages formosus) atau arwana super red, biasa di Kalimantan Barat, dikenal dengan silok merah. Keindahan sang ‘naga merah’ mampu menghipnotis pecintanya hingga bersedia merogoh kocek dalam. Harga di pasaran bervariasi, minimal Rp2,5 juta ukuran 20 cm sampai ratusan juta rupiah.

Dua sungut di ujung bibir bawah membuat ikan ini mirip liong atau naga yang berwarna merah. Layaknya, naga, sebagian masyarakat menganggap sebagai simbol keberhasilan, keperkasaan dan kejayaan.

Dalam kontes internasional, silok merah Kapuas Hulu, Kalbar, mampu terjual sampai Rp875 juta di Tiongkok. Arwana ini memang unik. Bentuk tubuh, warna, kelincahan jadi penilaian arwana super red untuk mendapat kemenangan. Sedang kontes nasional, harga jual arwana paling tinggi di angka Rp300 juta.

Baca juga: Menjaga Silok Merah Danau Empangau

Silok merah adalah ikan hias endemik Kapuas Hulu. Ada juga arwana jenis Brazil berwarna silver. Pesona arwana super red memang nomor wahid , baik warna, bentuk dan harga.

Arwana jenis ini jadi komoditas paling banyak dicari untuk pasar ekspor, dibandingkan ikan hidup lain, macam tiger fish, live tropical fish, dan lain-lain. Pasar terbesar Tiongkok, Taiwan, Thailand, Jepang, Hong Kong, Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Filipina.

Berdasarkan data Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Pontianak, nilai ekspor produk perikanan hidup Kalbar mengalami tren peningkatan dalam tiga tahun terakhir, Rp138,7 miliar (2016), Rp185,7 miliar (2017), dan Rp248,2 miliar (2018).

Peluang besar pasar silok merah ini memicu kekhawatiran. Meski banyak arwana budidaya di penangkaran dan terkenal dalam kontes Internasional, arwana super merah di alam terancam. Saat ini, habitat arwana super merah hanya tersisa di Danau Lindung Empangau dan Danau Merebung, Kapuas Hulu, Kalbar.

Sekitar 1970-1980, ikan ini belum banyak jadi ikan hias. Bahkan, banyak untuk konsumsi karena nilai ekonomi tidak menggiurkan.

Seiring waktu, arwana jadi ikan hias di Jepang pada 1971, muncullah gejolak perburuan karena permintaan ikan terus meningkat.

Kala itu, permintaan tak terlalu berdampak bagi Indonesia. Bahkan hingga 1990-an, silok merah masih tersebar di hulu Sintang, seperti di Semitau, Embaloh, Silat, Sentabai, Selimbau, Jongkong, Bunut, Tembalung, dan Danau Sentarum.

”Yang pasti dan parah sekali itu di Semitau, sudah tidak ada lagi, sudah bisa dikatakan punah di Semitau,” kata Gusti Suhardi, Kepala Resort Kapuas Hulu, seraya bilang, awal 2000-an, titik kritis arwana super merah di alam.

 

 

Warga Desa Nanga Empangau mulai berkumpul di Danau Lindung Empangau untuk ‘nyuluh’. Nyuluh merupakan bahasa lokal mereka untuk mencari silok merah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Hingga 1999, keluarlah Peraturan Pemerintah RI Nomor 7/1999, arwana merah super sudah masuk daftar jenis tumbuhan dan satwa dilindungi. Di Indonesia, perdagangan diatur ketat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang mensyaratkan pemasangan chip atau penanda pada tubuh arwana untuk ekspor. Masa itu, harga arwana merah super mulai melambung tinggi dan perburuan meningkat.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan, ikan arwana super red masuk Appendix I CITES atau tangkapan jenis ini dari alam dilarang diperdagangkan. Ia masuk kategori terancam punah (endangered).

Selain penangkapan di alam, IUCN pun menyebutkan keterancaman arwana merah super juga karena konversi habitat rawa (gambut) jadi area pertanian, hutan yang ditebang dan jadi perkebunan maupun kebakaran hutan.

Faktor kerusakan alam, katanya, juga memungkinkan arwana ini makin tipis di alam.

Pada kemarau 1997, kata Gusti, memperparah kehilangan silok merah. Arwana, katanya, tak bisa tinggal di lumpur, ketika danau mengering, dia biasa hidup di permukaan air.

Kondisi ini diyakini, Joni Karyadi, masyarakat sekitar Danau Lindung Empangau, di samping kemarau panjang, pada 1997-1998, silok merah tertekan perburuan. Saat itu pula, masyarakat sekitar menyadari dan bikin aturan untuk mengambil silok merah di danau lindung.

Gusti mengatakan, perburuan kini sudah jarang, selain memerlukan biaya tinggi, keberadaan di alam sudah sangat sulit.

”Konservasi arwana super red itu lahir dari kearifan lokal,” katanya. Dengan kearifan ini, meskipun ikan bernilai tinggi, mereka juga turut menjaga kelestariannya.

 

Joni Karyadi sedang memberi pakan ikan Arwana Super Red di penangkaran milik pribadi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Dia berharap, spesies endemik seperti ini terus terjaga dan perlu ada pendampingan bagi masyarakat agar tetap menjaga lingkungan.

Kiki Prio Utomo, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura mengatakan, perubahan lingkungan yang berdampak pada perubahan habitat terjadi di Sungai Kapuas. Kondisi alam, katanya, antara siklus kering dan basah, kian tak menentu.

”Perubahan siklus ini dimungkinkan mempengaruhi tempat hidup, ketersediaan makanan dan juga reproduksi,” katanya.

Siklus kian pendek pun membuat populasi dan ekosistem makin mudah mendapatkan gangguan sebelum mampu mendapatkan masa pemulihan. ”Iini bisa juga berkontribusi pada hilangnya spesies.”

Berbicara soal danau lindung di Kapuas Hulu, kata Kiki, perlindungan harus menyeluruh, dari sistem Sungai Kapuas dan wilayah penyangganya.

Silok merah, katanya, juga perlu perlindungan dari limpasan limbah perkebunan masyarakat, yang mengandung pestisidan dan insektisida. Belum lagi banyak warga bermukim di sekitar danau, katanya, bisa jadi masalah ke depan.

Limbah rumah tangga masuk ke danau akan terakumulasi, apalagi air tidak bergerak dan polutan akan terkumpul. ”Sekarang, memang belum nampak, jika tidak ditata akan berdampak. Kalau serius menyelamatkan arwana, ini sangat positif, menyelamatkan danau, sungai. Harus perlindungan lanskap.”

Agus, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Danau Lindung Empangau mengatakan, masyarakat desa mulai sadar menjaga kelestarian danau dengan tak membuang sampah di danau dan mengambil kalau menemukan.

Namun, katanya, ada ancaman kelestarian danau lindung, yakni, lahan perkebunan warga di pinggir danau. Kegiatan ini, katanya, menyebabkan limbah perkebunan mencemari danau.

”Kalau musim hujan, limbah dari kratom itu masuk ke danau,” katanya. Kratom adalah tumbuhan yang dipercaya bisa jadi obat berbagai penyakit. Meski belum ada dampak pencemaran signifikan, kata Agus, harus disadari agar kondisi tak memburuk.

Dia ilang, sosialisasi terus dilakukan tanpa henti, meski sulit karena berhubungan dengan ekonomi masyarakat. Mereka bersama anggota dan warga berencana membeli lahan perkebunan di sekitar danau. Tujuannya, perlindungan danau Empangau bisa lebih menyeluruh dan maksimal.

 

Saat ini panen tanaman kratom menjadi teh puri menjadi alternatif ekonomi masyarakat. Mereka membuat bibit kratom sendiri di sekitar pekarangan rumah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Pelestarian silok merah di alam penting

Walujan Tjhin, Ketua Asosiasi Penangkar dan Pedagang Silok Kalbar bilang, arwana super red dari alam liar memiliki fisik lebih bagus dan warna sisik lebih indah.

”Fisik lebih tahan penyakit, segi anatomi lebih indah dari kecerahan. Saat penangkaran, diperbaiki keindahannya,” katanya yang biasa disapa Acung ini.

Silok di penangkaran, katanya, secara fisik lebih lemah karena ketika di alam ikan mendapatkan asupan makanan lebih beragam.

Pelepasan di alam liar pun, katanya, menjadi langkah penting guna memperbaiki kualitas arwana itu sendiri.

”Kita harus memperbaiki kualitas keturunan (arwana super red penangkaran), agar tidak diambil alih dengan Malaysia dan Singapura. Produk Kalbar ini paling cantik, sampai saat ini kita masih unggul.”

Saat ini, kata acung, sulit temukan generasi pertama (f0) arwana, atau generasi f1 di alam. Dia memprediksi, arwana beredar berada pada keturunan kelima (f5).

Selama ini, katanya, tak ada penandaan dan pendokumentasian hingga jenis asli (f1) maupun populasi di danau lindung sulit diprediksi. Bahkan, spesies dari alam pun, Acung meyakini, tak ada benar-benar asli alam.

Tahun ini, asosiasi telah mengumpulkan sekitar 50 arwana super red endemik Kapuas Hulu, untuk lepas liar kedua kalinya. Pengumpulan ini secara wajib kepada para anggota asosiasi yang kini berjumlah sekitar 40 penangkar.

Acung berharap, keseriusan pemerintah dalam memperbaiki kualitas dan keturunan spesies endemik Kalbar ini dapat bersaing di dunia, terutama arwana super red.

Melalui pelestarian arwana super red baik melalui konservasi maupun budidaya, katanya, mampu meningkatkan pendapatan negara, menyerap ketenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan masyarakat di Kalbar.

Penangkaran arwana, kata Acung, banyak membuka lapangan pekerjaan masyarakat sekitar, seperti dalam penyediaan pakan untuk arwana, yakni, katak dan udang.

”Saat ini kita masih beli pakan arwana dari Jakarta, misal, cacing beku, kodok beku, cere beku. Ini potensi pengembangan usaha di daerah oleh masyarakat, seharusnya dilihat juga oleh pemerintah daerah.”

 

Agus, Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat Danau Lindung Empangau mendapatkan Kalpataru pada 2017 kategori Penyelamat Lingkungan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Dorong sertifikasi dan akte ikan

Joni Karyadi, juga mantan Kepala Desa Nanga Empangau Hulu, sudah jadi penangkar sejak 2011. Dia bilang, sejak lama hendak mengurus chip dan sertifikat untuk arwana super red hasil konservasi masyarakat Danau Lindung Empangau.

Sertifikat dan chip ini, katanya, untuk memastikan arwana yang dibeli dari hasil budidaya atau penangkaran, bukan alam. Harga jual arwana yang dilengkapi prosedur ini lebih tinggi.

Meski keinginan ke arah sertifikasi dan chip masih ada, mereka memerlukan bimbingan dalam proses pengurusan izin ekspor oleh masyarakat.

Masyarakat Empangau mau mengurus chip tetapi gagal karena sulit mendapatkannya. “Dibayangan, mahal untuk membuat izin, ada syarat pemda membuat masyarakat berat, misal, izin lingkungan, yang mereka tidak mengerti.”

Untuk itu, katanya, perlu ada dorongan kementerian, yang mampu mendorong masyarakat lebih berdaya.

Baik Acung maupun Gusti, sama-sama bilang, akses sulit masyarakat Kapuas Hulu untuk ekspor langsung menyebabkan penumpukan arwana super red di penangkar. Kondisi ini, katanya, jadi celah bagi para ‘penangkar nakal’ menyelundupkan ke Malaysia.

”Makin akses birokrasi dipermudah, ini kelangsungan bagi arwana sendir.”

Nandang Sunarya, Regional Fasilitator Bidang Agroforestry Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan, Yayasan Kehati mengatakan, segala aturan dalam perlindungan danau lindung– berupa kearifan lokal– seharusnya masuk dalam peraturan legal.

”Bisa jadi peraturan desa atau masuk dalam RPJMD karena sudah mendapatkan dukungan dari bupati.”

Danau Lindung Empangau, merupakan habitat penting bagi silok merah maupun 47 jenis ikan konsumsi lain, seperti jelawat, toman, baung, belida dan lain-lain.

 

 

Keterangan foto utama:  Joni Karyadi sedang memberi pakan ikan Arwana Super Red di penangkaran milik pribadi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sore hari di Danau Lindung Empangau pada masa pembukaan panen sejak 28 September 2019-28 Maret 2020. Masyarakat diperbolehkan memanen ikan arwana dan konsumsi hingga di wilayah zona inti. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version