Mongabay.co.id

Minyak Cemari Sungai Saroka Ancam Hutan Mangrove

Rimbunan hutan mangrove. Minyak tampak melekat di batang pohon mangrove dengan garis tebal kehitamam memanjang. Foto: Moh Tamimi / Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Saya berperahu menyusuri Sungai Saroka, Sumenep, Madura, di penghujung Oktober lalu.  Air sedang surut. Kala memperhatikan tepian sungai, di pepohonan mangrove, tampak garis berupa gumpalan hitam melekat, semacam minyak. Di hutan mangrove itu, pemerintah desa dan warga, berencana jadikan ekowisata.

Maskur Riyanto, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Reng Paseser, yang ikut bersama saya mengatakan, kalau itu tumpahan minyak. Dia sudah melihat sejak beberapa hari lalu tetapi tak tahu dari mana asalnya. “Saya tahu kemarin. Informasinya [minyak] dari tengah, ditelusuri ke tengah. Saya sempat tanya-tanya ke teman, tidak ada yang tahu,” katanya, akhir Oktober lalu.

Melihat kondisi ini, Maskur mengambil sampel daun mangrove untuk memastikan cairan itu minyak yang mengental. Minyak cukup banyak menyebar di sepanjang aliran Sungai Saroka di bagian timur, tepatnya, Desa Kebundadap Timur, Kecamatan Saronggi, Sumenep.

Maskur menyayangkan, perilaku orang tak bertanggung jawab itu. Dia berharap, pemerintah turun tangan jangan sampai minyak mencemari dan mengancam sungai, biota dan mangrove sekitar.

Sudibyo, nelayan Saronggi mengatakan, sehari-hari menjaring ikan dan kepiting di sepanjang sungai di sebelah utara rumahya. Sejak beberapa pekan ini tercemar minyak, tak lagi mudah mencari ikan dan kepiting.

Ngghi mun teppa’en aeng mandhu kor je’ bede oli oli napa, engghi rajekke. Seang malem ekalako. (iya kalau pas air surut, asal tidak ada oli (minyak-red), rezeki [itu]. Siang malang dikerjakan),” katanya.

 

Nelayan, penjaring dan pemancing ikan di sungai itu merasa dirugikan karena ikan, kepiting dan lain-lain jadi sulit dapat setelah ada cemaran minyak. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Minyak cemari sungai dan mangrove itu, katanya, sudah sekitar dua bulan lalu, namun kini mulai ke pinggir dan menempel di mangrove. Asal minyak, katanya, dari tengah, di sana tempat persingahan kapal.

“Ye pas temmu athak jelitak. Reng manceng bei tak ngenning (ya, tiba-tiba sudah berceceran. Orang mancing saja tidak dapat.”

Di sungai itu, dia biasa mendapatkan kepiting dan ikan jhubit (kakap kecil). Dalam satu hari, kadang dia mendapat penghasilan Rp200.000, paling sedikit Rp50.000.

Sejak tercemar, Sudibyo dan nelayan lain harus pindah ke sungai bagian barat yang belum terkontaminasi. Menurut dia, ikan-ikan di sebelah timur sudah tak ada, pindah ke barat. Ikan-ikan maupun kepiting di sungai itu, katanya, cukup besar. Besaran kepiting ada 1,5 kg.

Imranto, Kepala Seksi Pencegahan Pencemaran dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Sumenep mengatakan, belum mengetahui pencemaran itu. Dia baru tahu setelah ada warga melaporkan. DLH, katanya, langsung turun ke lokasi guna mencari tahu soal minyak bisa ada di sungai.

Setelah dari lokasi, dia menduga cairan minyak itu dari tumpahan dari mesin perahu (tap-tapan oli). “Dhari dimma pole (dari mana lagi)?” katanya.

 

Dinas Lingkungan Hidup Sumenep, turun lapangan memantau tepian sungai dan mangrove yang terkena limbah minyak. Foto: Maskur

 

Ekowisata mangrove

Di tengah hutan mangrove sepanjang sungai, terdengar burung-burung berkicau. Bangau tampak hinggap di dahan pohon, sesekali terbang ke sungai mencari makan. Sungai tercemar minyak dan mengenai hutan mangrove ini akan menjadi ekowisata, sekaligus eduwisata. Selain bangau dan ikan-ikan dan biota lain dalam air, hutan mangrove ini juga ada sekitar lima monyet. Warga khawatiir, pencemaran sungai dan mangrove ini bisa menggangu rencana ekowisata mereka.

Pada 2018, mangrove sekitar pantai ada penambahan, dengan menanam sekitar 30. 000 bibit. Nanti, katanya, wisatawan akan diajak menaiki perahu sepanjang sungai sambil menikmati alam, rimbunan pohon mangrove beserta satwanya. Panorama alam berupa sunrise tak kalah indah dari tempat-tempat lain.

Pariwisata itu akan dikelola pemerintah desa bekerjasama dengan Pokmaswas Reng Paseser, Saronggi.

“Kita mau bikin eduwisata itu tak mendapat dana dari mana-mana, cuman kita swadaya. Artinya, kas kelompok kita gunakan,” kata Maskur.

Selain jadi tempat wisata, katanya, mereka akan mengolah hasil hutan mangrove jadi beragam pangan. “Nanti mau bikin juice mangrove. Pembelajaran sudah ada. Kita tinggal proses pembuatan dan pengemasan,” katanya.

Imam Buchori, Kepala Bidang Bariwisata Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Sumenep mengatakan, pemerintah sudah membicarakan perihal wisata mangrove di Saronggi itu.

“Rapat di Dinas Perikanan terkait pemanfaatan lahan mangrove di Saronggi, untuk jadi ekowisata,” katanya. Sebelumnya, Disparbudpora berencana membangun fasilitas mendukung ekowisata. “Itu sebatas membantu.”

 

 

Keterangan foto utama:  Rimbunan hutan mangrove. Minyak tampak melekat di batang pohon mangrove dengan garis tebal kehitamam memanjang. Foto: Moh Tamimi / Mongabay Indonesia

Dermaga tempat berlabuhkan perahu dan kapal di Desa Kebundadap, Saronggi. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia
Exit mobile version