Mongabay.co.id

Para Penjaga Silok Merah Danau Empangau

Agus, Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat Danau Lindung Empangau mendapatkan Kalpataru pada 2017 kategori Penyelamat Lingkungan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Siang hari, sepulang dari penangkaran dan kebun, Agus merebahkan diri sejenak. Telepon genggam berdering, panggilan tanpa nama memanggil.

Dia angkat, ternyata…. ”Saya gemetar kala saya tau mau ketemu Pak Jokowi (Presiden Joko Widido-red),” katanya mengenang 2017.

Kala itu, dia mendapat undangan ke Jakarta, sebagai perwakilan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Danau Lindung Empangau, menerima penghargaan Kalpataru 2017 kategori penyelamat lingkungan.

Penghargaan itu disematkan kepada Pokmaswas, di mana dia selaku ketua, yang telah melindungi danau dan hutan sekitar dengan kearifan lokal. Di danau yang berada di Desa Nanga Empangau Hulu, Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini, ada satu spesies dengan status endangered, yakni, arwana super merah (arwana super red) atau silok merah.

Baca juga: Menjaga Silok Merah Danau Empangau

Berbalut dengan pakaian adat Melayu, Agus menerima penghargaan dari Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Saat bersalaman, Agus meneteskan air mata bahagia, dia teringat betapa berat perjuangan sang paman dan tetua yang sudah meninggal dalam menjaga Danau Lindung Empangau agar terus lestari.

Penghargaan Kalpataru, katanya, hasil jerih payah para tetua masyarakat yang terus menjaga Danau Lindung Empangau hingga hari ini.

”Kapal dayung ini hasil dari hadiah kalpataru,” katanya, sambil mendayung di Danau Empangau. Ini jadi kapal operasional Pokmaswas kala pengawasan sekitar danau dan berbagai kegiatan.

Pada 2018, Pokmaswas Danau Empangau mendapatkan pendanaan lingkungan hidup dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan musyawarah desa, masyarakat membeli berdasarkan kebutuhan Pokmaswas, yakni, tiga kapal dayung, 100 pelampung batas dan panel tenaga surya untuk ruang pertemuan di danau.

Baca juga: Kelestarian Silok Merah Terancam di Alam

Pengelolaan Danau Empangau, lahir dari inisiatif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dalam melindungi spesies terancam punah. Aturan pengelolaan konservasi berlangsung turun temurun agar keberlangsungan alam dan masyrakat berjalan secara seimbang.

Kala melanggar, akan ada sanksi. Bisa awalan hanya teguran, pembatasan pemanfaatan, hingga sanksi berupa denda.

 

Arwana super red. Foto dari bpsplpadang.kkp.go.id

 

***

Jam menunjukkan pukul 04.30 pagi. Agus (bergegas menjalankan ibadah Subuh lalu bersiap ke penangkaran ikan. Berbekal senter dan pakan ikan, Agus berjalan sekitar 20 menit menuju penangkaran arwana super merah. Ada sekitar 33 anak silok mera di penangkaran yang berpagarkan seng itu.

Dengan menenteng senter dan membawa pakan arwana, hanya 15 menit berjalan kaki, Agus pun sampai di penangkaran. Secara rutin, tiap pagi, dia mengecek dan memberi pakan.

Sejak kecil, Agus biasa tangkap ikan di Danau Empangau, ikut orangtua dan kakeknya.

”Arwana di penangkaran ini saya beli. Saya belum dikasih kesempatan jadi tuan untuk arwana di danau, saya percaya itu,” ceritanya sambil mendayung di Danau Empangau. ”Saya belum pernah mendapatkan arwana, tapi saya merasa memiliki dan bertanggung jawab menjaga danau itu. Ini harga mati.”

Tahun ini, menjadi tahun ketiga Agus menjalani tugas sebagai Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Danau Lindung Empangau di Desa Nanga Empangau Hulu, Kecamatan Bunut Hilis, Kapuas Hulu.

Dia punya sembilan anggota, mewakili tiap rukun tetangga (RT) masing-masing. Bersama masyarakat, dia menjaga kearifan lokal di danau.

Agus berharap, kalau nanti tak ada bantuan dari pemerintah, kearifan lokal ini harus terus dijaga. ”Gambarannya, ke depan Danau Empangau itu makin hari makin dijaga, di-indahkan lagi adat budaya dijunjung tinggi, kearifan lokal kuatkan lagi.”

Dia meminta, zona inti lindung diperluas agar kelestarian ekosistem tetap terjaga. Melindungi lanskap danau agar tetap terjaga dengan menanam pohon di sekitar danau dan tak diperkenankan untuk ditebang.

”Danau Empangau seperti orangtua saya sendiri. Dia yang melahirkan kita dan jadi tulang punggung masyarakat disini,” katanya.

Kalau tidak ada Danau Empangau, Agus tak pernah tahu bagaimana pembangunan ekonomi masyarakat, dari sisi infrastruktur dan pendidikan. Danau Empangau, katanya, memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang telah menjaganya.

 

Ibra Mandho Brain, dari Kelompok Pengelola Pariwisata Desa Lindung Empangau. Bersama anggota lain mereka hendak mengembangkan ekowisata. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Setiap 1 Januari, Agus bercerita para perangkat desa, anggota masyarakat dan anggota Pokmaswas, bertemu rutin tahunan. Berisi tentang laporan pertanggung jawaban kegiatan, evaluasi aturan-aturan yang ada dan perlu penguatan atau tidak. Semua dibahas dan disepakatisecara bersama.

Usaha pelestarian Danau Empangau, dia katakan, mengalami banyak suka duka. Tekanan dari masyarakat yang tak setuju dengan aturan-aturan pun seringkali ditentang karena dianggap memberatkan.

”Ini danau bersama, ya harus merintis secara bersama juga,” katanya.

Sebelum 1997, masyarakat masih boleh mengambil arwana yang sudah dewasa (indukan). Tidak ada aturan terkait ukuran yang diperbolehkan. Kini, sauk (jala) tak boleh lebih dari 20 cm. Yang bisa diburu hanya anakan.

Kala itu, Agus masih 17 tahun, puluhan ton mati, termasuk arwana. ”Sejak itu, kami khawatir barang itu (arwana) bisa sampai punah.”

Hingga akhirnya, pada 2000, masyarakat swadaya membeli dan melepasliarkan tiga anakan arwana ke danau yang memiliki luas 103,6 hektar ini. Pengawasan arwana di Danau Empangau, langsung dari masyarakat.

Pencurian silok di alam bisa dikatakan tak mungkin. Terakhir kali, pencurian pada 2011, dan dapat sanksi dengan membayar denda Rp75 juta untuk tiga arwana. Biasa, kalau sudah ketahuan, orang itu akan keluar dari desa karena malu.

Kalau tiba masanya pembukaan panen arwana, dia bergegas pergi ke danau pukul 4.00 sore. Dia pulang larut, sekitar pukul 10.00 malam. Ada sebuah tanda alam yang seringkali dianggap mujarab bagi masyarakat.

”Arwana itu ikan dewata. Kalau pelangi timbul saat sore hari pada masa pembukaan pemanenan, masa itu akan menjadi patokan akan banyak ikan muncul.”

Kearifan lokal lain, kalau pada masa pembukaan panen ada warga meninggal dunia, selama tiga hari tak boleh mencari arwana maupun mengkonsumsinya. ”Ini semua, berkat alam yang perlu dijaga.”

 

Keterangan foto utama:  Agus, Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat Danau Lindung Empangau mendapatkan Kalpataru pada 2017 kategori Penyelamat Lingkungan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sore hari di Danau Lindung Empangau pada masa pembukaan panen sejak 28 September 2019-28 Maret 2020. Masyarakat diperbolehkan memanen ikan arwana dan konsumsi hingga di wilayah zona inti. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version