Mongabay.co.id

Kala Satwa Menderita karena Kebakaran Hutan dan Lahan

Satwa primata yang ada di Taman Binatang Jambi, banyak terserang batuk kala asap karhutla menyelimuti Jambi. Foto: Yitno Supratpto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kebakaran hutan dan lahan di Jambi, tak hanya berdampak pada kehancuran lingkungan, kesehatan masyarakat juga kerusakan habitat satwa sekaligus satwanya.

Analisis Warsi, 68% lahan terbakar di Jambi, merupakan gambut, atau sekitar 86.000-an hektar. Kebakaran terluas pada kawasan berizin. Dalam hitungan KKI Wars, konsesi HPH terluas, 32.000 hektar, 41 perusahaan sawit juga turut menyumbang lahan terbakar seluas 20,983 hektar.

Disusul 19 perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri luas 16.456 hektar. Tanaman Hutan Raya 10.155 hektar, lahan masyarakat 2.956 hektar, hutan produksi terbatas 5.165 hektar dan hutan produksi konversi 169 hektar.

Celakanya, hutan lindung, taman nasional, dan kawasan restorasi habitat satwa di Jambi, juga turut terbakar. Warsi mencatat, luas kebakaran di kawasan hutan mencapai 13.563 hektar, restorasi ekosistem 13.140 hektar dan taman nasional 10.811 hektar.

Sampai akhir Agustus, PT Restorasi Ekosistem mencatat, ada 313 titik api (hotspot) di Hutan Harapan yang jadi wilayah restorasi.

Mangarah Silalahi, Presiden Direktur Reki, menyebut, lebih 5.000-6.000 hektar izin Reki terbakar pada 2019. Kawasan perambahan, katanya, jadi lokasi kebakaran paling parah.

Dia bilang, banyak pembukaan lahan ilegal di kawasan izin dengan cara membakar. Terbukti, anggota Polres Batanghari menangkap 27 orang diduga sengaja membakar untuk pembukaan lahan di Hutan Harapan, 21 orang sebagai tersangka.

Mangarah mengatakan, kebakaran di Hutan Harapan bukan hanya menghancurkan ekosistem, juga memusnahkan satwa yang hidup di dalamnya, terutama kelompok reptil.

“Ular, kadal dan sejenisnya tak bisa kencang berlari,” katanya lewat sambungan telepon.

 

Api membakar perkebunan sawit milik PT BEP. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Hutan Harapan, merupakan bagian dari hutan alam dataran rendah di Jambi, yang menyimpan banyak ragam hayati. Hutan Harapan adalah rumah untuk 71 jenis reptil atau 29% spesies reptile di Sumatera, 55 jenis amfibi, 123 air tawar, 728 tanaman, 307 burung dan sembilan spesies terancam.

Di sana, juga hidup 64 mamalia Sumatera, termasuk delapan gajah Asia dan 29 harimau Sumatera. Ada sekitar 100 jenis satwa dilindungi hidup di Hutan Harapan.

Dia menyakini, kebakaran terjadi membuat habitat gajah dan harimau berkurang, meski hingga kini belum bisa memastikan ada dampak lebih serius.

Kebakaran membuat banyak lebah madu meninggalkan sarang, tak menutup kemungkinan sebagian mereka mati terpanggang. Sedikitnya, 150 batang pohon di Hutan Harapan jadi rumah lebah madu. “Beberapa sudah ditinggalkan, lebah itu kena asap saja lari, apalagi kebakaran.”

Izin restorasi PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT), seluas 38.665 hektar di Tebo juga tak luput dari kebakaran. Kondisi di Blok II paling buruk. Lebih 100 hektar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumai, terbakar.

Dodi Direktur ABT menyebut, banyak titik api terpantau di wilayah yang dibuka jadi kebun warga, hanya 30% hutan tersisa di Blok II.

Tebo, merupakan habitat gajah terbesar di Jambi. Ada 120 gajah dari lima kelompok di sana. Blok II ABT, adalah wilayah jelajah gajah.

“Kalau pergerakan gajah sekarang ke Tebo Multi Agro dan sebagian PT LAJ,” kata Dodi.

Albert dari Frankfrut Zoological Society di Jambi, bilang kebakaran di Tebo, membuat lima kawanan gajah [antara lain, Mutiara, Ginting, Indah dan Cinta] bergerak keluar konsesi ABT menuju alokasi penggunaan lain (APL) di pinggir Desa Semambu, dan Muara Sekalo, yang banyak dibuka jadi perkebunan warga.

Kelompok Freda, katanya, masih bertahan dalam kawasan. Albert khawatir, banyak gajah yang mendekati perkebunan warga memicu konflik gajah dengan manusia.Desa Semambu dan Desa Sekalo, merupakan wilayah jelajah gajah di Tebo.

BKSDA Jambi mencatat, ada 300.000 hektar Tebo, jadi habitat gajah, namun 10 tahun terakhir menyusut jadi 189.000 hektar, tahun ini tinggal 143.000 hektar, itupun tak semua bisa jadi habitat gajah.

 

Konflik gajah dan manusia di Jambi, seperti di Kawasan Ekosistem Bukit Tigapuluh, makin parah. Makin ada kebakaran hutan dan lahan, kondisi makin sulit bagi kawanan gajah hidup. Foto: Frankfurt Zoological Society/ Mongabay Indonesia

 

Rahmad, Kepala BKSDA Jambi, hanya 60.000 bisa buat habitat gajah di Tebo. Sekitar 80.000 hektar dikuasai perusahaan untuk izin hutan tanaman industri (HTI).

Dia merencanakan, membuat kawasan ekosistem esensial (KEE) di Desa Semambo, Muara Kilis, Suo-Suo, Sekalo dan Pemayungan untuk menyelamatkan habitat gajah, termasuk dari kebakaran. ‘Tahun depan akan dimulai.”

Rahmad bilang, karhutla tahun ini banyak membunuh satwa. Mereka mati terpanggang. “Kalau kebakaran itu tak ada ampun, habis semua. Apalagi di daerah gambut itu akan sulit sekali menghindar. Kalau harimau itu karena lincahnya masih bisa menghindar.”

Dia menunjukkan beberapa pesan WhatsApp laporan temuan jejak harimau Sumatera keluar dari Taman Nasional Berbak Sembilang karena karhutla.

Setiap tahun, habitat hewan di Jambi, terus menyempit karena ulah manusia. Potensi konflik manusia dengan satwa kian terbuka. “Ini bom waktu, tinggal menunggu saja.”

Yoan Dinata, Dewan Pengawas Forum Harimau Kita menyebut, panas dan asap akibat kebakaran di TNBS praktis mengganggu harimau. Namun, katanya, belum ada kabar harimau mati karena karhutla.

Berdasarkan catatan BKSDA Jambi, populasi harimau ada 150 tersebar di Hutan Harapan, Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Berbak Sembilang.

Sunarto, Wildlife Poaching & Trade Manager, WWF Indonesia mengatakan, kebakaran tahun ini berdampak pada kawanan gajah dan harimau Sumatera di Tesso Nilo, Landskap Bukit Tigapuluh, dan Landskap Bukit Barisan Selatan. Pasca kebakaran ketersediaan makan jauh berkurang.

Dia menyimpulkan, dampak kebakaran hutan 2019, lebih serius pada tingkat species, terutama satwa terancam punah yang hidup bergantung hutan.

 

Ikan air tawar juga terdampak

Tedjo Sukmono, peneliti ikan air tawar di Jambi, mengatakan, sungai-sungai di sekitar gambut paling terdampak karhutla. Abu karhutla yang masuk ke perairan memicu kekeruhan air naik. Kebakaran, katanya, juga membuat suhu air naik.

“Kalau ia [sungai] kebakaran di sekitarnya, suhu di perairan itu kan naik, kalau suhu naik, oksigen jadi rendah. Kalau oksigen rendah, ikan tidak akan hidup baik,” katanya.

Dia bilang, umumnya ikan hanya mampu bertahan hidup dengan oksigen dikisaran 4-6 part per milion. “Kalau di bawah empat tak sanggup hidup atau terganggu. Kecuali, beberapa jenis ikan yang bisa mengambil oksigen langsung ke udara seperti gabus, sepat.”

Kebakaran hutan dan lahan di Muarojambi, diperkirakan berdampak pada habitat ikan di Danau Arang-Arang dan perairan di Desa Seponjen, yang berdekatan dengan lokasi kebakaran.

 

Serandang, salah satu ikan air tawar di Jambi, yang terancam punah. Tambah karhutla, makin terancamlah hidup mereka. Foto: Yitno

 

Kurun waktu 1999-2006, peneliti ikan dunia, Maurice Kottelat dari Raffles Museum of Biodiversity Research, Singapura, yang meneliti bersama Britz, Tan dan White menemukan  Paedocypris progenetica atau ikan terkecil di dunia di sekitar rawa dan sungai gambut di Desa Arang-Arang, Kumpeh Ilir.

Tedjo bilang, sungai sekitar Desa Suo-Suo di Tebo, juga diperkirakan habitat arwana silver Jambi. Sungai-sungai kecil di kawasan restorasi ABT dan sungai Hutan Harapan juga habitat ikan air tawar Jambi.

“Perlu penelitian untuk membuktikan seberapa parah dampak karhutla pada habitat ikan.”

 

Satwa di Taman Rimba terdampak

Satwa di Taman Rimba Zoo Jambi juga terdampak asap karhutla di Jambi. Kepala UPTD Taman Rimba, Endang Purnamawati mengatakan, kelompok primata lebih rentan kena dampak kabut asap. Banyak primata di taman rimba terserang batuk.

“Primata ini mirip manusia, jadi lebih rentan.”

Untuk menghidari dampak kabut asap lebih parah, pengelola Taman Rimba harus memberikan vitamin lebih rutin dari biasa.

“Kalau beruang dikasih madu. Kita lebih fokus pada pencegahan pengalaman dari 2015. Kalau burung-burung dikasih vitamin di minumannya. Karena sakit tidak terdeteksi, tiba-tiba mati.”

Dampak kabut asap juga membuat pengunjung Taman Rimba anjlok. Sejak Semptember, pengunjung menurun. Pada masa normal, pengunjung bisa 4.000 orang di akhir pekan. Dua bulan terakhir, pengunjung turun lebih separuh.

 

Keterangan foto utama:  Satwa primata yang ada di Taman Binatang Jambi, banyak terserang batuk kala asap karhutla menyelimuti Jambi. Foto: Yitno Supratpto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version