Mongabay.co.id

Sulitnya Izin Energi Terbarukan di Papua [2]

Sumatera Selatan, jadi provinsi percontohan pengembangan energi terbarukan. Daerah ini sudah mulai bangun pembangkit energi terbarukan, antara lain pembangkit biomassa dari sekam padi dan energi surya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pengembang energi terbarukan, PT. Anekatek Consultant, pada 2014, sudah memulai proyek energi matahari di Papua. Kampung Abar, jadi proyek percontohan. Mereka ingin memperluas pengembangan energi matahari di Papua, tetapi terkendala izin dari pemerintah pusat.

Meski sudah berjalan dengan proyek percontohan di Kampung Abar, dan studi potensi energi terbarukan di Papua pada 2016, perusahaan ini tidak kunjung mendapat izin usaha dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Dari sekian wilayah usaha yang diusulkan, belum ada satupun berjalan.

Penandantanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Prancis dan Pemerintah Papua di Jakarta akhir Maret 2017 dengan total investasi sudah disiapkan US$260 juta. Perjanjian kerjasama ini dikonfirmasi juga oleh Bangun Manurung, Kepala Dinas ESDM Papua, kala itu.

Baca juga: Listrik Matahari dari Kampung di Pinggiran Danau Sentani [1]

Gubernur Papua Lukas Enembe sudah mengeluarkan rekomendasi untuk sekian wilayah usaha di Papua dikelola perusahaan ini. Berbagai persyaratan yang diminta kementerian sudah dipenuhi namun izin tidak kunjung keluar.

“Saya mau bilang kita ada masalah yang serius dengan bangsa ini soal listrik. Saya urus izin dari 2015 sampai 2019. Presiden bilang permudah izin dengan sistem online tapi saya tidak tahu di negara ini ada berapa presiden dan berapa menteri. Menteri bilang oke tapi dirjen listrik tidak ada yang memproses,” kata Hengky Monim, Operasional Manager Papua PT. Anekatek Consultant, baru-baru ini.

Keterlibatan sektor swasta untuk penyediaan listrik sudah diatur dalam Permen ESDM Nomor 50/2017 juncto Permen ESDM Nomor 53/2018 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan listrik. Dasar hukum lain, katanya, Permen ESDM Nomor 38/2016 tentang percepatan elektrifikasi di pedesaan belum berkembang, terpencil, perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk. Caranya, melalui usaha penyediaan listrik untuk skala kecil. (Selesai)

 

Shelter tempat menyimpan baterei dan salahsatu solar sel. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Komitmen energi bersih?

Salah satu penyumbang emisi terbesar yang berdampak pada perubahan iklim adalah pembangkit listrik energi fosil. Di rumah, jalan, perkantoran, listrik sebagian besar bersumber dari bahan bakar batubara dan minyak bumi. Batubara biasa dipakai sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sedangkan minyak bumi atau solar sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Dalam proses menghasilkan listrik, batubara dan minyak bumi berdampak pada kerusakan lingkungan dan kualitas kesehatan masyarakat menurun di sekitar pembangkit. Selain itu, batubara dan minyak bumi diambil dari proses alami selama ribuan tahun (fosil). Ketersediaan kedua sumber ini akan habis kalau terpakai terus menerus.

Untuk itu, berbagai negara di dunia sudah berkomitmen mengurangi pembangkit listrik energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Sumber energi terbarukan ini, sumber tidak akan habis, dan minim dampak buruk bagi alam maupun manusia.

Di Indoensia, potensi energi terbarukan antara lain matahari, air, angin, panas bumi, bioenergi dan laut. Data Direktorat Penyiapan Program Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, KESDM 
menunjukkan, total potensi energi terbarukan mencapai 442 GW. Hingga kini, baru dimanfaatkan 9,4 GW (2,1%).

Tantangannya, Indonesia belum memiliki teknologi dan peralatan penunjang infastruktur energi terbarukan hingga bergantung pada industri luar negeri. Kontan, biaya pembangunan mahal.

Di Papua, pemerintah menargetkan 99,9% kampung mendapat aliran listrik. Kondisi geografis Papua menjadi tantangan tersendiri untuk mencapai target ini. Membangun pembangkit energi terbarukan menjadi pilihan. Ia sesuai juga dengan komitmen Pemerintah Papua memasukkan penggunaan energi terbarukan sebagai salah satu program mencegah perubahan iklim.

Mengaliri kampung-kampung di Papua, dengan listrik dari energi terbarukan paling memungkinkan. Dana-dana pembangunan yang masuk ke kampung bisa untuk membangun pembangkit energi terbarukan.

Bicara energi terbarukan, tak hanya di Papua, perkembangan secara nasional, juga lambat. Dari berita Mongabay, sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, selama 2010-2014 pembangkit energi terbarukan bertambah 1.760 megawatt. Pada 2014-2018, hanya bertambah 985 megawatt. Estimasi sampai akhir 2019, hanya akan bertambah 400-450 megawatt hingga total kapasitas 2014-2019 jadi 1300-1350 megawatt.

“Perkembangan energi terbarukan lima tahun terakhir melambat. Dalam lima tahun mendatang, beban mengembangkan energi terbarukan makin besar,” kata Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Dari 75 power purchase agreement (PPA) yang ditandatangani pada 2017-2018, delapan sudah beroperasi komersial dengan kapasitas 37,35 megawatt. Sebanyak, 35 PPA total 634,71 megawatt sedang masa kontruksi dan 30 lain tahap persiapan financial close.

Ada sembilan proyek PPA efektif sudah menyerahkan jaminan proyek sebesar 10% berjumlah 400,1 megawatt. Sisanya, 21 proyek belum efektif dengan kapasitas 304,72 megawatt.

Sementara dua proyek dengan kapasitas total 4,2 megawatt sudah diterminasi. Batas terminasi dari masing-masing proyek yang belum dapat pendanaan, berbeda-beda, pada Juni, Juli dan September 2019. Ada 21 PPA yang akan ditandatangani pada 2019.

Kalau melihat target dan realisasi investasi energi terbarukan 2015-2019–kecuali 2016—, realisasi selalu berada di bawah target rencana dan strategi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).

“Bahkan di bawah target penyesuaian,” katanya.

Kalau ditarik lebih jauh, melihat perbandingan target energi terbarukan di rencana umum energi nasional (RUEN) dan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028, target selalu di bawah target RUEN. Pada 2019, target energi terbarukan di RUEN 13,9 gigawatt, RUPTL hanya 9,9 gigawatt. Pada 2025, target energi terbarukan RUEN mencapai 45,2 gigawatt, jauh lebih tinggi dari target RUPTL hanya 23,7 gigawatt.

Menurut Fabby, tantangan dalam mengembangkan energi terbarukan lima tahun ke depan adalah mengejar target sesuai kebijakan energi nasional dan RUEN. Pemerintah, juga harus memulihkan kepercayaan investor swasta, mengatasi disparitas antara target RUEN dan RUPTL.

 

Keterangan foto utama: ILustrasi. Energi surya, salah satu energi terbarukan, potensi dikembangkan buat pemenuhan keperluan listrik di Papua. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version