Mongabay.co.id

Bersepeda ke Berbagai Negara, Hakam Mabruri Kampanye Damai dan Lingkungan

Hakam Mabruri memulai perjalanan melintasi 14 negara di Afrika selama 12 bulan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Gema adzan mengantar keberangkatan Hakam Mabruri, menjelajah Benua Afrika dengan bersepeda. Ribuan santri Pondok Pesantren An Nur 2, Bulawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengantar dengan doa agar perjalanan selama 12 bulan lancar. Pemuda asal Desa Gading, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang ini bertolak menuju Afrika.

Pekik tabir dan tepuk sorai melepas perjalanan pria 37 tahun ini melintasi benua Afrika melakoni perjalanan Holy Journey 2nd : The Glorius Santri Journey in Africa.

Perjalanan Hakam ini kelanjutan Holy Journey yang dia lakukan bersama istrinya, Rofingatul Islamiah, dua tahun lalu. Keduanya bersepeda tandem berakhir di Mesir. Sebuah perjalanan bersepeda untuk menyampaikan pesan damai di seluruh penjuru negeri.

Kini, dia melanjutkan bersepeda seorang diri mulai dari Mesir melintasi Sudan-Etiopia-Kenya-Uganda-Rwanda-Tanzania-Mozambiq-Malawi- Zambia-Zimbabwe-Botswana-Namibia, bakal berakhir di Afrika Selatan.

Untuk memulai ini, dia bersepeda dari Malang ke Jakarta, lanjut naik pesawat ke Mesir. “Di Jakarta, perlu mengurus sejumlah dokumen perjalanan,” katanya, September lalu kala mulai perjalanan.

Hakam, menyiapkan perjalanan matang selama sebulan, mulai bekal logistik, dokumen, persiapan fisik dan peralatan sepanjang perjalanan. Perjalanan sejauh 17.000 kilometer ini, dirancang seorang diri karena tak memungkinkan bersama istri dan anak yang baru berusia setahun.

Hakam memutuskan bersepeda seorang diri apalagi iklim di Afrika, cepat berubah. Kalau tak ada hambatan, diperkirakan perlu waktu setahun. “Doa dari teman dan saudara mengiringi perjalanan saya,” katanya.

Sepanjang jalan, dia akan mengunjungi situs agama Islam, dan agama samawi lain juga berdialog lintas iman termasuk penganut agama lokal di Afrika. Tujuannya, menyampaikan pesan damai. Mengabarkan Indonesia terdiri dari warga dengan beragam agama, multi etnis dan berusaha rukun dan damai.

Dia juga ingin menyampaikan, kalau Islam agama damai. Hakam memandang Afrika, seksi, menyimpan peninggalan sejarah agama dunia, mulai samawi, hingga agama penduduk lokal. Afrika juga memiliki kebudayaan dan alam berbeda dengan benua lain.

“Afrika bisa dikatakan Ibu Bumi. Banyak masalah di muka bumi berasal dari Afrika.”

 

Hakam Mabruri bersalaman bersama pengasuh Pondok Pesantren An Nur 2, Bululawang, Kabupaten Malang Kiai Haji Fatchul Bahri sebelum berangkat. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Afrika dikenal memiliki alam ekstrem dan rawan konflik. Perjalanan ke Afrika, juga memiliki tantangan alam berbeda. Selama ini, katanya, Afrika digambarkan seram dan banyak konflik. Untuk itu, Hakam bakal menggali keindahan alam, budaya Afrika yang memesona.

Indonesia, katanya, juga negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, Dia juga akan kampanye kepada dunia Internasional, bahwa pesantren bisa mencetak tenaga berpikiran maju dan global.

Isu alam dan lingkungan tak jauh dari diri Hakam Mabruri. Pada Desember 2012, dia mengayuh sepeda Malang-Malaysia selama sebulan dan melanjutkan ke Brunei Darussalam untuk kampanye penyelamatan penyu. Bersepeda, kata Hakam, juga mengkampanyekan lingkungan hidup karena sepeda salah satu kendaraan tanpa emisi gas buang dan ramah lingkungan.

“Usaha saya untuk membuahkan kesadaran untuk menyelamatkan spesies ini,” katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren An Nur 2, Kiai Haji Fatchul Bahri memberi motivasi, agar perjalanan Hakam lancar. Semua kegiatan, katanya, tergantung niat. Perjalanan berat, akan mudah kalau niat kuat.

“Bekal paling utama ketakwaan. Ini perjalanan berat, jangan melupakan shalat lima waktu. Semoga istiqomah,” katanya, mengiringi Hakam bertolak ke Afrika.

 

Selamatkan penyu

Selama ini, Hakam cukup dikenal di kalangan komunitas pesepeda. Dia telah beberapa kali perjalanan membawa misi dengan beragam isu lingkungan. Pada 2012, bersepeda seorang diri Malang-Brunei untuk menyerukan SaveTurtle. Dia menyerukan setop perdagangan, perburuan dan konsumsi telur maupun daging penyu.

Perjalanan selama tiga bulan dengan rute Malang-Surabaya-menyeberang Makassar-Palu-Balikpapan-Tarakan-Tawau Malaysia- Sabah- Kinabalu-Brunei dengan habiskan biaya sekitar Rp7 juta. Sebagian besar dana dari donasi dan penjualan cindera mata.

Perjalanan kampanye save turtles setelah secara tak sengaja dia mengonsumsi telur penyu. Seorang teman dia, peternak ayam petelur menghidangkan telur di meja. Dia dipersilakan mencicipi. “Kok suka telur lembek begini?,” tanya Hakam.

Sang teman pun menjelaskan kalau itu telur penyu dan memiliki banyak khasiat. Hakam mencari informasi di mesin pencari. Hasilnya, banyak berita menyebutkan telur penyu mengandung merkuri dan berbahaya bagi kesehatan tubuh.

“Perjalanan itu saya lakukan untuk membalas dosa setelah makan telur penyu,” katanya.

Sebelum melakoni perjalanan, dia mengumpulkan informasi mengenai penyu dari teman dan membaca artikel di situs WWF Indonesia, termasuk mengenal dan populasi penyu.

Hakam membuat desain sederhana brosur informasi penyu. Brosur itu dibagikan sepanjang perjalanan sebagai bagian edukasi bagi masyarakat pesisir. Hakam berusaha meyakinkan masyarakat kalau khasiat daging dan telur penyu itu mitos.

Perburuan dan konsumsi daging atau telur penyu bakal mengancam populasi mereka. Masa reproduksi penyu antara 22-25 tahun. Kalau ada perburuan telur, katanya, mengancam mempercepat kepunahan di alam. Apalagi, banyak predator memburu telur penyu.

Hakam memang hobi bersepeda. Beberapa kali trip ke Flores dan Sumatera. Kalau hanya sepeda biasa, tak ada target dan misi. Bahkan, ada yang nyinyir memuaskan hasrat sendiri dengan mencetak brosur dibuat sederhana soal bahaya konsumsi telur penyu.

 

Penyu hijau [Chelonia mydas], satwa terancam punah, salah satu karena perburuan dan diambil telurnya. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Hakam sempat mampir ke pesisir Sulawesi Barat, yang dulu habitat penyu. Kini sudah sulit, hanya ada beberapa karakas atau tempurung. Penyu langka karena perburuan. Dia mendirikan tenda dan membagikan brosur kepada masyarakat luas.

Tak hanya mengancam penyu, kalau penyu habis, akan mengancam manusia. “Allah, menciptakan makhluk hidup dengan tujuan dan fungsi masing-masing di alam, seperti penyu selama ini satwa yang mampu menyerap racun dan polutan termasuk merkuri,” katanya. Kalau penyerap polutan hilang, katanya, limbah atau polutan bisa merajalela.

Dampaknya, akan mengancam populasi ikan, tangkapan ikan menipis, dan nelayan kehilangan matapercarian. Ikan salah satu bahan pangan manusia. Kalau ikan menipis, katanya, mengakibatkan krisis kelaparan dan merusak ekosistem.

DI Kalimantan Barat, Hakam diajak pegiat WWF Pontianak mengikuti persidangan relawan WWF Indonesia gara-gara berkelahi dengan pencuri penyu. Diadili di pengadilan dengan tuduhan penganiayaan. “Saya memberi dukungan, mas pencuri penyu malah aman, sedangkan aktivis WWF harus dihadapkan di peradilan,” katanya.

Kasus itu menjadi catatan penting dalam perjalanannya, sekaligus pertama kali berinteraksi langsung dengan masalah konservasi penyu. Sepanjang perjalanan ada pengalaman yang tak bisa dilupakan sampai sekarang, saat mendirikan tenda di taman nasional di Kalimantan. Sekitar pukul 04.00, terdengar suara berisik, ternyata di samping tenda menumpuk kotoran gajah.

“Semalam nyaris diinjak gajah. Kejadian ini tak bisa dilupakan,” katanya.

Hakam juga melintasi daerah lokasi perdagangan dan penyelundupan penyu di Tarakan-Tawau, Malaysia. Di daerah perbatasan ini, katanya, rute perdagangan penyu. Dia berinteraksi dengan masyarakat dan menyebarkan brosur.

 

Hakam Mabruri memulai perjalanan melintasi 14 negara di Afrika selama 12 bulan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Sepeda sebagai alat transportasi

Bagi Hakam, sepeda memiliki makna penting. Sepeda jadi alat transportasi utama dalam beraktivitas. Sejak setahun terakhir, dia pulang dan pergi bekerja sejauh 20 kilometer dengan bersepeda. Selain mengubah cara pandang sepeda, aktivitas Hakam juga untuk kampanye lingkungan.

“Irit, tak perlu BBM (bahan bakar minyak-red). Saya tak bingung kenaikan harga BBM,” katanya.

Sepeda, katanya, bisa untuk perjalanan jauh. Dia bertandang ke rumah mertua di Trenggalek, sejauh 100 kilometer dengan bersepeda. Waktu tempuh sekitar sehari.

Banyak pengendara sepeda motor, memburu cepat tanpa berpikir polusi. Hakam tak memungkiri kadang masih mengendarai sepeda motor. Namun tak sesering mengendarai sepeda angin. Sepeda sebagai alat transportasi, katanya, bukan sekadar hobi.

“[Berkendara motor] kamu tak terjebak macet, kamu yang bikin macet. Coba kamu naik sepeda, tak ada macet,” kata Hakam.

 

Hakam Mabruri . Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version