Mongabay.co.id

Ironi Hari Sungai dan Kekeringan Kemarau Panjang di Bali

 

Peringatan hari sungai sedunia setiap minggu ke-4 September tahun ini ditandai dengan kekeringan di sejumlah daerah di Bali. Sumber air permukaan, air tanah, dan cubang penampung air hujan menipis.

Selama lima bulan terakhir ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karangasem mendistribusikan hampir 600.000 liter air ke sejumlah desa sampai akhir Oktober 2019.

Kepala BPBD Karangasem IB Ketut Arimbawa kepada Mongabay-Indonesia, Kamis (31/9/2019), mengatakan kondisi kekeringan yang melanda wilayah kabupaten Karangasem karena kekurangan air bersih dan kebakaran hutan/lahan. Permintaan air bersih diajukan 16 desa di 5 kecamatan.

BPBD Karangasem mendistribusikan air bersih bagi masyarakat yang mengalami krisis air bersih sesuai permohonan dari kepala desa setempat. Air ditampung ke cubang-cubang, istilah lokal penampung air hujan. Terakhir pada akhir Oktober, tim BPBD membawakan air ke Banjar Dinas Bukit Kaler, Desa Bukit, Kecamatan Karangasem sebanyak 5.000 liter untuk 50 KK ke sebuah cubang umum.

Juga ke Banjar Dinas Kalanganyar Kaler, Desa Seraya Barat, Kecamatan Karangasem sebanyak 10.000 liter untuk 65 KK ke satu cubang umum. Update distribusi air bersih 18 Juni-30 Oktober 2019 dari BPBD Karangasem sebanyak 580.000 liter.

baca : Kemarau Panjang, Lombok Krisis Air dan Gagal Panen, 30 Desa di Sumenep Kekeringan

 

Seorang petugas BPBD Karangasem Bali mengisikan air bersih ke cubang, wadah penampung air hujan. Cubang kolektif warga ini mengering karena kemarau panjang. Foto: BPDB Karangasem/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah sungai besar mengering di Bali. Misalnya Tukad (sungai) Unda dan Tukad Ayung, dua sungai yang menjadi sumber baku pengolahan air bersih oleh pemerintah.

Sementara anak Tukad Ayung yakni Tukad Bindu yang berada di hilir yakni tengah Kota Denpasar masih teraliri, walau debitnya menurun. Mesin mikrohidro yang dipasang di terjunan sungai ini tak bisa menghasilkan energi karena debit air mengecil. Sejumlah petugas terlihat memantau alat ini dan terus mengoperasikan walau tak bisa menghasilkan listrik untuk penerangan sekitar Tukad Bindu yang dikelola komunitas warga setempat ini.

Walau debit air mengecil, puluhan anak-anak masih menyambut air untuk bermain dan mendinginkan diri di tengah teriknya kemarau panjang ini. Sementara orang dewasa bersantai menikmati sedikit suara gemericik air yang membelah pemukiman padat Kota Denpasar ini.

baca juga :  Ketika Sungai Penuh Sampah Kini Jadi Taman Bermain

 

Sungai Tukad Bindu ini menjadi oase warga Kota Denpasar, setelah bertransformasi dari area yang ditakuti karena kotor dan sampah menjadi bersih dan jadi tempat rekreasi warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

WWF Indonesia memperingati Hari Sungai dengan mengingatkan pada upaya konservasi air pada Sabtu (19/9/2019) lalu di Denpasar. Selain diskusi dan pemutaran film, juga dibuka laboratorium pop-up untuk mengetes kualitas air.

Salah satu film yang diputar adalah tentang upaya konservasi di bentang alam Rimbang Baling, Riau. Sebuah kawasan hutan dan bebukitan yang terancam rusak karena industri pertambangan dan ekspoitasi lainnya.

Dikutip dari laman bksdariau.id, Bukit Rimbang Bukit Baling pada awalnya ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Riau No.149/V/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan sebagai kawasan Hutan Tutupan/Suaka Alam seluas 136.000 hektar. Bukit Rimbang Bukit Baling ditunjuk sebagai kawasan suaka alam dikarenakan areal hutannya berfungsi sebagai suaka margasatwa (SM) dan sumber mata air yang perlu dilestarikan untuk kepentingan pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir, tanah longsor, dan erosi.

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan SM, di kawasan ini terdapat beberapa perusahaan pengusahaan hutan maupun batubara yang beroperasi. Setelah dilakukan penataan batas, SM Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.3977/Menhut-VIII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan SM Bukit Rimbang Bukit Baling seluas 141.226,25 hektar di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

baca juga : Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

Anak-anak bermain dengan riang gembira di Sungai Tukad Bindu, Denpasar, Bali. Foto : denpasarkota.go.id /Mongabay Indonesia

 

Restorasi Tukad Bindu

Sementara dari skala kecil, pengelola Tukad Bindu mengisahkan transformasi sungai dari kawasan yang ditakuti menjadi sungai (tukad) yang dirindu. Ida Bagus Ari Manik, Ketua Yayasan Tukad Bindu mengingatkan, tiga tahun lalu kawasan Tukad Bindu adalah daerah yang menyeramkan. Lokasi pembuangan limbah domestik dan sampah.

“Tidak ada yang ke sini, katanya ada penampakan,” sebutnya menjelaskan ketakutan sebagian warga. Kengerian yang bersumber bau dan kotornya kawasan sungai saat itu.

Sejumlah warga berniat membersihkan dan menata sungai belakang rumahnya dan meminjam dana di koperasi dengan jaminan BPKB mobil sekitar Rp200 juta. Ari menyebut selama 1,5 tahun sungai ditata, sampai kemudian perlahan warga mendatangi dan menjadikan lokasi rekreasi, seperti saat ini.

Pengelola membentuk badan hukum yayasan agar bisa lebih mengembangkan kawasannya. Kini makin banyak area sempadan sungai yang ditata jadi taman atau kebun. Sebagian berkolaborasi dengan pihak lain seperti mahasiswa, pemerintah, dan lembaga lain.

Untuk mencegah sampah, mereka bekerja keras memasang sejumlah jaring di hulu dan menata area hilir. Setelah itu, sempadan sungai dihijaukan dan dibuatkan taman dengan tempat duduk dan berteduh. Ada juga kebun pembibitan, kolam lele, dan wantilan tempat menghelat acara dan diskusi.

“Menata sungai harus melibatkan warga sempadan, beri mereka akses buka warung. Sekarang, kami tiap tahun setor profit ke empat banjar di sepanjang satu km,” lanjut Ari.

baca juga : Bali Terancam Krisis Air, Mengapa?

 

Upaya konservasi air permukaan dengan cara menjaga kebersihan air sungai bisa dipantau dengan uji kualitas air oleh WWF Indonesia. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Uji Kualitas Air Sungai

Saat diskusi, Ratih Permitha dari tim Plastic Free Ocean WWF Indonesia mengingatkan sekitar 80% plastik di laut berasal dari darat menurut data World Bank 2017. Sementara kondisi sungai di Indonesia, sebagian besar rusak dan kondisinya tercemar. Untuk memastikan, warga diajak melihat cara pemeriksaan sampel air, bisa air sungai atau air dari rumah.

WWF-Indonesia membawa laboratorium portable dengan sejumlah alat untuk mengukur indikator kualitas air.

Tahap pertama adalah tes asam dan basa dengan kertas lakmus. Sampel air dicelup kertas lakmus yang menunjukan perubahan warna. Asam misal air lemon, sementara basa seperti air sabun. Range air bersih dengan pH 6,5-8,5.

Setelah itu, sampel air dites elektrolisis, cek kandungannya dengan sebuah alat yang dialiri listrik. Setelah beberapa menit, air menunjukkan perubahan warna dan ini bisa jadi indikator, apakah air mengandung logam dan bakteri.

Jika sampel air berubah jadi hijau, ada kemungkinan mengandung arsenik, merkuri, sodium, dan timbal. Jika menjadi biru, ada kemungkinan mengandung bakteri, virus, karsinogen, pupuk, dan pestisida.

Sementara jika berubah merah, berisiko mengandung besi dan karat. Jika putih, kemungkinan mengandung timbal, zinc, dan merkuri. Kalau kuning, mengandung asam, flouride, dan organisme lain.

Setelah tes dengan alat deteksi water electrolyzer itu, dilanjutkan dengan mengidentifikasi sampel air di mikroskop. Namun, untuk memastikan apakah air aman dikonsumsi, harus melalui tes baku mutu. Apakah kandungan dalam air masih aman, di bawah atau atas baku mutunya.

 

Exit mobile version