Mongabay.co.id

Kapal Samudra Raksa, Kejayaan Maritim Nusantara di Pahatan Borobudur

Kapal Samudra Raksa, kini jadi koleksi museum. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Namanya, Kapal Samudra Raksa. Kapal kayu yang dibuat terinspirasi dari relief Borobudur, kini ada museum khusus di Komplek Candi Borobudur.

Kapal legendaris yang mengandalkan layar dan dayung ini memulai ekspedisi pada 15 Agustus 2003, dari Ancol, dan berakhir 23 Februari 2004, di Pelabuhan Tema, Accra, Ghana, Afrika Barat.

“Saya sampai menangis di situ, saya bangga sekali,” kenang I Gusti Putu Ngurah Sedana, kapten kapal kala itu.

Setelah mendarat di Ghana, Samudra Raksa, dipotong-potong dan kirim ke Indonesia, melalui kargo. Dia lalu dirangkai kembali dan untuk kepentingan wisata serta pendidikan.

“Roh kapal Samudra Raksa, rupanya meminta saya untuk ke sini,” katanya.

Kini, pengunjung bisa berinteraksi dengan layar dan cara menggerakkan tangan. Gerakan tangan ini lalu ditangkap alat sensor. Tayangan interaktif ini bisa memunculkan lumba-lumba berloncatan, aneka hasil bumi, juga rasi bintang.

“Museum sebagai rumah terakhir Kapal Samudra Raksa dibuka pada 2005. Sejak setahun lalu, kami berbenah dengan melengkapi layar sinema interaktif ini. Tujuannya, makin banyak pengunjung datang dan menikmati isi museum,” kata Joni Sulistyono, Kepala Program Bisnis Museum Samudra Raksa, baru-baru ini.

Ada layar besar di dinding museum, ada pula di lantai yang memunculkan beragam jenis ikan berenang. Ia memunculkan kesan seolah-olah berada di lautan. Pengunjung tak perlu khawatir kaca panel pecah, katanya, karena perangkat ini mampu menahan beban hingga 500 kg tiap titik.

“Menjaga permukaan tidak tergores, kita minta gunakan kaos kaki tanpa sepatu saat memasukinya.”

 

Borobudur, candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun pada abad kedelapan.Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Putu mengenang masa ekspedisi dari Jakarta ke Afrika. Berbagai rintangan harus mereka hadapi selama berlayar. Baik dari alam, kapal, maupun personil yang ikut. Dengan menempuh jarak 11.000 mil, dengan ombak tak jarang sampai sembilan meter, dan berkali-kali dihantam badai. Sebagai kapten kapal, Putu nyaris ditinggal anak buah karena mereka ragu apakah bisa menyelesaikan ekspedisi sampai akhir atau tidak.

“Saat itu karena badai, kami terpaksa singgah di Richard Bay. Semua minta turun. Setelah dari Madagaskar seharusnya ke Cape Town. Masa’ harus kita tinggalkan kapal ini.

“Kalau di kapal perang, ini negara kita. Kedaulatan kita ada di situ,” kata pria yang pernah berdinas di Angkatan Laut kepada Mongabay.

Secara keseluruhan, ada 27 awak Kapal Samudra Raksa. Mereka berasal dari berbagai negara. Karena itu, alasan daya tampung ekspedisi hanya mengangkut 16 orang, sisanya naik bergantian.

Samudra Raksa, berarti penguasa lautan. Ini nama yang diberikan Megawati, Presiden Indonesia, waktu itu. Kapal ini dibuat berdasarkan contoh relief atau pahatan di Borobudur.

Ekspedisi itu, katanya, untuk mengenang ketangguhan pelaut nusantara di abad kedelapan yang melayari Samudera Hindia hingga Afrika. Juga, membawa rempah-rempah seperti kayu manis yang bernilai tinggi kala itu.

 

Kapal tanpa paku  

Pembuat kapal Samudra Raksa adalah warga Pagerungan, Pulau Kangean, bernama As’ad Abdullah. Dia pembuat kapal ulung. Puluhan kapal tradisional pernah dia buat. Dia kerjakan dengan peralatan sederhana.

Kapal yang dibuat menggunakan kayu dan sebagian kecil bambu. As’ad menyatukan, bilahan kayu jadi badan kapal tanpa paku. Bagian kapal lain disatukan dengan pasak dan tali.

Paduan antara teknologi sederhana dan keterampilan itu bahkan sempat diragukan apakah bisa menyatukan antarbagian kapal dengan baik. Nyatanya, kapal hasil karya itu sukses berlayar hingga Afrika.

Untuk membuat kapal sepanjang hampir 20 meter, lebar 4,5 meter, dan tinggi 18 meter itu, kata As’ad 250, kubik kayu? Lama pengerjaan kurang dari enam bulan.

Jenis kayu, katanya, antara lain kayu jati, ulin, nyamplong, kesambi (kayu besi), bungor, kalimpapa, dan bintagor. Kayu jati, kesambi, dan ulin menjadi material utama. Bambu antara lain digunakan pada layar dan bagian cadik.

Gagasan pembuatan kapal itu sendiri berasal dari Philip Beale. Dalam kunjungan ke Borobudur pada 1982, Beale kala itu prajurit muda angkatan laut kerajaan Inggris, terkesima melihat ada relief kapal di Candi Buddha, terbesar itu.

Dia memendam keinginan merekonstruksi kapal itu jadi nyata. Sekitar 20 kemudian, impian Beale untuk menghidupkan kapal mulai terwujud.

Dia menghubungi pemerintah Indonesia dan mempersiapkan tim. Pemerintah lewat Departemen Kebudayaan dan Pariwisasta, waktu itu menyambut positif. Keseriusan mereka mengantarkan untuk bertemu Nick Burningham, arkeolog asal Australia, yang mendalami ragam perahu di Indonesia.

Setelah memilih salah satu model dari lima relief kapal ukuran besar bercadik yang ada di Borobudur, mereka akhirnya memesan pembuatan kapal kepada As’ad. Uniknya, As’ad bekerja tidak berdasar gambar. Jadi, Burningham memberi contoh replika kapal menggunakan kayu sengon.

Kapal yang dibuat memakai cadik dua di kanan kiri, merujuk salah satu dari lima relief. Sebenarnya, semua memperlihatkan kapal dari arah samping, tulis Beale untuk situs resmi ekspedisi ini hanya bisa diakses melalui archive.org

 

I Gusti Putu Ngurah Sedana, General Manager Taman Wisata Borobudur. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu darinya, memastikan kapal memakai dua cadik, yang membedakan kapal bercadik dari India yang memakai satu cadik. Gunanya, menjaga keseimbangan dan mengurangi empasan ombak.

Dalam tulisan berjudul Surat dari Pagerungan, Burningham menyebut As’ad, pakai kayu kesambi dikenal kuat di air bergaram namun rapuh di air tawar. Dia juga mencatat, keunikan As’ad dalam menyatukan papan dengan rumus yang disebut ganjil. Tidak ada papan berukuran sama. Seperti itu pulalah Tuhan menciptakan perbedaan manusia, ada laki-laki dan wanita, terang As’ad kepada Burningham.

Beale menuliskan, nama untuk kapal saat di pagerungan adalah Lallai Beke Ellau dari bahasa Madari (India Utara) berarti mengejar matahari. Lalu nama Samudra Raksa disematkan yang berarti penjaga lautan. Untuk keperluan praktis, cukup menyebut kapal Borobudur.

 

Jalur kayu manis

Ekspedisi Samudra Raksa, terbagi menjadi empat tahapan. Pertama, dari Ancol, Jakarta menuju Mahe, Seychelles. Kedua, lalu menuju Mahajunga, Madagaskar. Ketiga, selanjutnya menuju Cape Town, Afrika Selatan. Keempat, menuju Accra, Ghana.

Kapal mengulang rute perdagangan yang pernah dilewati para pelaut Nusantara pada abad kedelapan yang dikenal sebagai jalur kayu manis. Sejak dulu Nusantara kaya akan rempah-rempah yang bernilai tinggi. Kayu manis diketahui menjadi bumbu masakan di zaman lampau dan wewangian.

Rute lain yang terkenal adalah jalur sutra yang menghubungkan Asia dan Eropa, namun lebih banyak melalui darat. Banyak rempah-rempah dari Nusantara yang dikirim ke China, selanjutnya diperdagangkan hingga Eropa. Akhirnya bangsa Eropa mendatangi langsung asal rempah-rempah itu.

Tim ekspedisi kapal Borobudur menyebut tiga bukti kuat hubungan antara Indonesia (Nusantara) dan Afrika, melalui perdagangan pada masa lampau. Dia sebutkan, pertama, pada masa Romawi kayu manis masuk ke Eropa lewat Afrika Timur yang dibawa oleh kapal yang melewati Samudera Hindia. Mereka berlayar menggunakan rakit atau perahu bercadik.

Seiring kemajuan pelayaran, kapal sebagaimana yang ada di relief Borobudur yang dibangun pada masa dinasti Syailendra ini besar kemungkinan digunakan pula untuk berlayar ke Afrika. Ketika pulangm kapal-kapal ini membawa gading, besi, kulit, dan budak. Di perkirakan perlu tiga tahun untuk menyelesaikan perjalanan pulang pergi.

Kemudian ada migrasi orang-orang nusantara ke Madagaskar, mungkin belum berpenghuni. Saat ini, penduduk Madagaskar meyakini leluhur mereka dari Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Di sana, banyak tradisi, bahasan, dan ciri fisik yang mirip dengan Indonesia.

Ketiga, beberapa tumbuhan Afrika diyakini berasal dari Timur, seperti jagung, talas, ubi, pisang, beras, dan pinang. Meski ini masih perdebatan, katanya, gambaran lebih baik mungkin bisa dicapai, antara lain lewat ekspedisi.

Madagaskar, adalah titik penting sebelum menuju Afrika Barat. Ia di tengah rute perjalan dari Indonesia ke Afrika Barat.

“Kami disambut hangat saat merapat. Di Madagaskar, kami diarak. Mereka menyebut nenek moyang mereka dari timur. Mereka menganggap saudara,” kata Putu, mengingat ekspedisi 15 tahun lalu.

Pengalaman di Cape Town, Afrika Selatan, awak kapal Indonesia, didatangi orang-orang Islam di sana.

“Mereka juga menyebut kami saudara, keluarga Syekh Yusuf. Sampai saya diajak ke pusaranya di Macassar Road.”

 

 

Keterangan foto utama:  Kapal Samudra Raksa, kini jadi koleksi museum. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Seorang pengunjung mengamati relief perahu di dinding Candi Borobudur. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version