Mongabay.co.id

Kasus Aniaya Aparat di Konsesi Perusahaan Berujung ‘Pembersihan’ Lahan Serikat Tani

Sidang para petani yang tergabung dalam Serikat Mandiri Batanghari di PN Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Puluhan perempuan mengantri di depan ruang tahanan Pengadilan Negeri Jambi pada Oktober lalu. Isak tangis terdengar keras mewarnai perjumpaan antara keluarga dan para terdakwa kasus penganiayaan, pencurian, dan kekerasan terhadap anggota TNI, Polri dan Satpam PT Wirakarya Sakti (WKS), Distrik VIII, Juli lalu. Para terdakwa ini adalah anggota Serikat Mandiri Batanghari (SMB) dan Suku Anak Dalam. Total terdakwa ada 59 orang, 11 orang Suku Anak Dalam.

Ayu, masih trauma ketika suaminya ditahan dan tak pernah kembali sejak akhir Juli 2019. Perempuan 24 tahun ini tak pernah tahu kasus suaminya bersama 59 tersangka lain ditahan hingga persidangan.

Ayu meninggalkan anak balita bersama keluarga besarnya untuk mendampingi persidangan suami. Pukul 10.00 antrian bubar, masing-masing keluarga tersangka berjejer di depan ruang arsip Pengadilan Negeri Jambi.

Satu jam berselang, 11 tahanan digiring ke ruang sidang Tirta. Duabelas tahanan lain ke ruangan sidang di sebelah timur Pengadilan Negeri Jambi. Saya memasuki ruang sidang dan duduk bersama dua penasehat hukum yang mewakili Suku Anak Dalam, juga terdakwa dalam kelompok SMB.

Sidang tak berjalan mulus, kekurangan kelengkapan administrasi dari penasehat hukum membuat sidang ditunda dua jam hingga pukul 14:00. Agenda sidang untuk 11 tersangka ini pembacaan eksepsi. Di ruang sidang lain, 12 tersangka ditunda satu minggu karena hakim sakit.

Pemicu penangkapan para petani ini dari peristiwa 13 Juli 2019 di Distrik VIII Kantor WKS, Sinar Mas Forestry.

Bermula dari viral video sejumah orang menganiaya oknum TNI yang memunculkan kemarahan publik. Dari sana, polisi menangkap terduga pelaku yang merupakan anggota SMB.

Dikutip dari CNN Indonesia, penyerangan itu bermula dari kebakaran hutan seluas 10 hektar di dua lokasi pada Jumat (12/7/19). Petugas pun padamkan api agar tak meluas.

Keesokan hari, puluhan orang diduga dari SMB memasuki kawasan Distrik VIII untuk mencari pemadam kebakaran. Anggota satgas dari TNI dan Polri yang bertugas pun mencegah langkah mereka karena khawatir membakar hutan lagi. Pencegahan itu berujung penyerangan.

Sebelum itu, konflik lahan antara warga dan WKS sudah berjalan lama. Data Walhi Jambi menyatakan, konflik petani (SMB) dengan WKS sudah berlangsung sejak lama. Sekitar 2006-2007, petani digusur WKS. Penggusuran berawal di Bukit Bakar sampai Bukit Rinting, di sana ada masyarakat menggarap kebun dan tanaman pertanian seperti karet, durian, duku, petai, padi, jagung, bambu, sawit, rambutan, rambe, kopi, kemiri dan lain-lain.

Setelah video itu, SMB, sebagai organisasi petani kemudian dicap negatif dengan perbagai pernyataan TNI, Polri maupun pemerintah (Tim Terpadu Penyelesaian Konflik).

 

 

Selama berminggu-minggu, berbulan-bulan cap negatif muncul. SMB dapat stigma sebagai kelompok kekerasan bersenjata, penipu yang memperjualbelikan tanah bukan miliknya. Dibangun pula sentimen lokal dan pendatang, kemudian suku anak dalam (SAD) dengan orang lokal. SMB disebut-sebut sebagai organisasi berisikan orang-orang pendatang yang menyingkirkan orang lokal dan memanfaatkan SAD.

Era, Penasehat hukum YLBHI yang mendampingi SMB dalam pembacaan eksepsi mengatakan, stigma negatif ini dibangun cukup kuat. Polisi mengatakan, mencegah kelompok kekerasan bersenjata tak lagi kembali maka dilakukan pembersihan. Pondok-pondok mereka dibakar, fasilitas sosial yang terbangun swadaya dihancurkan, baik sekolah, mesjid, gereja.

Target aparat tak lagi mencari pelaku kekerasan terhadap anggota TNI tetapi melebar menyerang SMB sebagai sebuah organisasi. Ratusan aparat polisi pada 18-19 Juli 2019, turun ke wilayah kelola SMB. Petani SMB ditangkapi, diburu dan disiksa. Ribuan orang terpaksa lari demi menyelamatkan diri dari tindakan sewenang-wenang. Ada yang lari ke hutan, pulang ke daerah asaln dan takut kembali karena isu akan ditangkap atau masuk daftar pencarian orang.

Ketakutan membuat petani SMB melarikan diri. Hantam rata, asal anggota SMB langsung dibawa. Tidak kurang 100 orang dibawa aparat ke Distrik VIII pada 18-19 Juli 2019, termasuk ibu-ibu, perempuan hamil, anak-anak hingga balita. Mereka menyaksikan penyiksaan terhadap suami, anak atau saudara mereka.

“Limapuluh sembilan yang sedang proses di persidangan saat ini. Yang lain dilepas begitu saja tanpa pernah tahu kenapa dan apa dasar mereka ditangkap,” kata Eri, membaca pembelaan.

Sebagian, katanya, dipaksa menandatangani surat tak akan masuk ke lahan, sebagian dipaksa pulang ke daerah asal. Situasi inilah yang memaksa mereka menyelamatkan diri meninggalkan harta benda, hasil pertanian yang belum panen.

Pada sidang eksepsi, penasehat hukum menyimpulkan, surat dakwaan JPU tak disusun cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (3), surat dakwaan JPU batal demi hukum.

Ada tiga amar disebutkan, pertama, menerima eksepsi para penasehat hukum dan menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tak dapat diterima. Kedua, menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum. Ketiga, menyatakan pemeriksaan dalam perkara a quo, tidak dapat lanjut dan mengeluarkan terdakwa dari tahanan.

Dari 59 terdakwa yang menjalani sidang bertahap, ada 11 SAD, antara lain, Sumi, Betilas, Nyandang dan Bujang Dalam, yang juga menjalani sidang di hari sama dengan 42 terdakwa lain.

Romel Siregar, kuasa hukum yang mendampingi SAD bilang, mereka korban atas penangkapan ini. Mereka tak mengerti apa-apa tetapi ditangkap begitu saja.

Selang seminggu, pada 30 Oktober, JPU Rosita Nababan memberikan tanggapan soal penolakan eksepsi yang disampaikan eh penasehat hukum terdakwa dari SMB. Dalam berkas penolakan tertuang, pemeriksaan dan berkas dakwaan mereka disusun cermat, teliti dan lengkap. Dia sebutkan, materi eksepsi dari penasehat hukum bersifat prematur, tak bernilai hukum serta harus ditolak.

 

 

Keterangan foto utama:  Sidang para petani yang tergabung dalam Serikat Mandiri Batanghari di PN Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Exit mobile version