Mongabay.co.id

Kemarau Panjang, Warga Lombok Bisa Bertani dan Berternak di Bendungan

Seorang warga melintas di bekas jalan desa yang ditenggelamkan bendungan Pandan Duri. Di belakangnya terlihat beberapa bangunan bekas perkampungan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Suara riuh dari ribuan itik di kandang bambu, tampaknya mereka meminta makan. Seperti biasa, Minggu pagi Oktober itu, Fauzi dibantu kerabatnya memberi makan ribuan itik. Dedak diangkut pakai pick up. Satu persatu kandang setinggi satu meter didatangi. Begitu pintu dibuka, suara itu makin ribut. Mereka langsung menyerbu Fauzi begitu menumpahkan dedak.

Hari-hari Fauzi banyak dihabiskan di kandang itik ini. Pagi dan sore, dia harus memberi makan. Gubuk kecil tempat memarkir mobil jadi rumah Fauzi. Malam hari, dia menginap di dekat kandang itik untuk menjaga itik tak dicuri atau bebas berkeliaran.

Kandang itik itu tak memiliki pembatas. Berada di tanah luas, seperti bekas bukit. Dia memperkirakan, lokasi ini sekitar Kampung Lendang Re, Desa Terara, Kecamatan Terara, Lombok Timur.

“Itu tandanya, masjid itu sepertinya dulu Mesjid Lendang Re,’’ kata Fauzi, menunjuk tembok sisa mesjid yang sebagian masih terendam.

Fauzi bersama bapaknya, Sudirman membangun kandang itik di areal bendungan Pandan Duri. Bendungan terbesar di Lombok Timur ini, berada di Desa Suwangi, Kecamatan Sakra dan Desa Terara, Kecamatan Terara. Pembangunan bendungan ini harus memindahkan ribuan warga dan menenggelamkan dua desa itu.

Ada yang ditransmigrasikan ke Sumbawa, pindah ke Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, atau relokasi di Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur.

Fauzi dan orang tuanya memilih bertahan di kampung sekitar Pandan Duri. Sisa-sisa perkampungan yang tak ikut ditenggelamkan kini dikenal sebagai Desa Pandan Duri. Ia mengambil nama bendungan seluas 315,7 hektar dengan luas daerah tampungan air 64,51 kilometer persegi itu.

Keluarga besar Sudirman tak semua relokasi ke kecamatan lain di Lombok Timur atau Sumbawa. Sudirman memilih bertahan karena merasa sudah tua.

Dia tak kuat lagi membuka lahan baru di tempat baru. Dengan uang ganti rugi dari pemerintah Rp2,5 juta perare, Sudirman membeli tanah untuk membangun rumah. Sebelum ada bendungan Pandan Duri, luas sawah keluarga Sudirman sekitar satu hektar. Sekarang, mereka hanya memiliki 15 are tanah.

Sudirman hanya bisa menjadi petani. Sebagian warga lain yang kehilangan pekerjaan sebagai petani terpaksa jadi buruh migran di Malaysia. Jadi buruh di kebun sawit, buruh bangunan di berbagai proyek di Malaysia, dan lain-lain.

 

Fauzi, seorang petani dengan lahan ditenggelamkan memanfaatkan kondisi air bendungan yang surut untuk beternak itik. Dia membangun kandang di dekat kubangan yang masih ada airnya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ketika Sudirman kehilangan lahan pertanian, sempat terpikir menjadi buruh migran ke Malaysia.“Dengan badan setua ini, saya tidak kuat kerja berat,’’ katanya.

Sudirman memilih jadi peternak itik. Dia bangun kandang di tanah baru. Tidak banyak itik dia ternakkan. Dua tahun belakangan, ketika air Bendungan Pandan Duri, makin surut, Sudirman langsung mendapat ide baru. Beternak itik di bekas lahan dia dulu.

Setelah survei lokasi, Sudirman merasa cukup jauh. Jalan kampung dulu sudah rusak. Selain itu, beberapa areal itu dimanfaatkan warga lain. Ada yang bertanam jagung dan padi. Setelah keliling ke beberapa lokasi, akhirnya Sudirman menemukan tempat saat ini. Apalagi, bekas jalan desa masih ada dan bisa dilewati mobil.

“Kalau air naik lagi, nanti kami sudah punya tempat untuk mengungsikan ternak. Sudah kami cek, ada bukit yang tidak tenggelam,’’ katanya.

Sudirman dan beberapa petani lain membangun kandang di dalam bendungan yang kering. Ketika air bendungan penuh, mereka menempuh lokasi itu dengan perahu. Ketika bendungan surut seperti tahun ini, mereka bisa menjangkau dengan sepeda motor bahkan mobil. Bebeberapa bekas jalan desa masih bisa dilalui kendaraan.

Sudirman menunjukkan, beberapa bangunan yang muncul kembali. Dia menunjuk Mesjid Lantan dan bekas Kampung Lantan. Di bagian lain, Sudirman menunjuk Dusun Pondok Bila. Sebagian bekas rumah muncul kembali.

Di sisi utara bendungan, sisa kuburan warga kembali terlihat. Kuburan itu masuk dalam bendungan tak jauh dari aliran pintu masuk air sungai ke bendungan. Kalau bendungan sedang penuh, kuburan itu ikut tenggelam.

Batu nisan hitam terlihat menyembul di antara reremputan hijau. Ketika musim kemarau, rumput di sekitar kuburan masih tumbuh subur. Air masih sedikit tergenang tak jauh dari kuburan. Air itu dimanfaatkan warga becocok tanam, seperti jagung, kacang, dan sebagian padi. Sisa-sisa genangan bendungan jadi daerah yang sangat subur.

“Itu dulu kampung kami,’’ kata Sudirman.

 

Kuburan warga yang masuk dalam arela tampungan bendungan Pandan Duri terlihat ketika air bendungan surut. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bendungan Pandan Duri, terletak di Sungai Palung Desa Terara, Santong, dan Suwangi, Kecamatan Terara dan Sakra, Lombok Timur. Bendungan ini menyediakan air untuk lahan irigasi sawah dengan luas total 10.273 hektar, terutama di bagian Lombok Timur Selatan yang dikenal kering.

Proses pembebasan lahan mulai 1996 melalui dana APBN seluas 11,65 hektar. Tahun 2005–2011, melalui dana APBD NTB dan APBD Lombok Timur telah dibebaskan 313,35 hektar. Biaya pembangunan bendungan ini mencapai Rp548,831 miliar. Mulai 2011, pada 14 Oktober 2014, bendungan ini jadi peninggalan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di NTB. Kala itu, bendungan diresmikan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto.

Mamiq Rio, petani yang terdampak bendungan Pandan Duri juga memanfaatkan kondisi bendungan kering. Dia kembali menggarap lahan lama dengan menanam jagung. Dia bilang, jagung di bendungan yang mengering sangat bagus. Walaupun tidak ada air mengalir, tanah masih basah.

“Subur sekali tanah bendungan yang kering,’’ katanya.

Pantauan Mongabay, bendungan surut banyak di sisi timur, sisi Desa Terara, Kecamatan Terara. Di lokasi yang kering ini, jagung tumbuh subur. Sebagian sedang berbunga, ada juga yang sudah panen.

Para petani akan kembali menanam jagung di lokasi yang sudah panen. Mereka memperkirakan, musim hujan tahun ini tak akan membuat bendungan terisi penuh. Lahan yang mereka tanami bisa panen hingga akhir tahun.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) BPBD NTB Ahsanul Khalik mengatakan, data dari BMKG hari tanpa hujan di NTB akan cukup panjang di beberpa wilayah. Untuk Sumbawa, hampir merata hari tanpa hujan antara 30-60 hari, bahkan, ada wilayah antara 30-70 hari.

Di Pulau Lombok antara 20-30 hari, kecuali Lombok Bagian Selatan bisa hari tanpa hujan antara 30- 60 hari. Karena kemarau panjang ini, banyak sumber mata air kering. Sumber mata air ini juga mengalir ke sungai-sungai yang bermuara di beberapa bendungan di Lombok.

Kemarau panjang ini juga memicu kebakaran lahan. Ada sebagian lahan sengaja dibakar, ada juga terbakar karena kemarau panjang.

Pantauan Mongabay, kebakaran lahan terlihat di sekitar Taman Gunung Rinjani (TNGR) dari arah Tetebatu. Kebakaran terlihat pada malam hari, antara 4-5 Oktober 2019. Kalau melihat posisi kebakaran itu, berada di ketinggian di atas 1.500 mdpl, bukan kebun masyarakat.

 

Bangunan rumah yang ditenggelamkan bendungan Pandan Duri kembali terlihat ketika bendungan surut. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indoensia

 

Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB sampai akhir Juli 2019, kebakaran hutan dan lahan di Pulau Lombok dan Sumbawa seluas 1.933,5 hektar. Sebagian besar karhutla karena aktivitas warga merambah untuk perluasan tanam jagung.

Berdasarkan data Dinas LHK  dari Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH), seribuan hektar kawasan hutan dan lahan terbakar itu tersebar di Lombok dan Sumbawa. Di Balai Tahura Nuraksa seluas 25 hektar, BKPH Rinjani Timur 1.613,1 hektar, BKPH Sejorong Mataiyang Brang Rhea 6,3 hektar, BKPH Ropang 151 hektar.

Kemudian, BKPH Ampang Plampang 29 hektar, BKPH Ampang Riwo Soromandi 8,7 hektar dan BKPH Maria Donggo Massa tiga hektar.

Kekeringan yang melanda Lombok sangat terasa tahun ini. Selain kekurangan air bersih, juga membuat kering bendungan dan embung. Dampak yang didapatkan petani ganda, selain gagal tanam dan gagal panen, mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli air bersih.

Ketua Federasi Serikat Nelayan Tani Buruh (FSNTB) Lombok, Mahsar mengatakan, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi tidak bisa melakukan upaya biasa-biasa saja. Pasokan air bersih ke lokasi terdampak kekeringan bagus, tetapi bukan solusi jangka panjang.

Mahsar meminta, pemerintah memiliki program jangka panjang mengatasi kekeringan yang berdampak pada ketersediaan air bersih dan air irigasi ini.

Dia meminta, pemerintah mengoptimalkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Pada 2018, DBHCHT NTB dari pemerintah pusat Rp248,8 miliar lebih, naik jadi Rp295,6 miliar lebih pada 2019. “Mestinya dana ini untuk membantu petani.”

Sesuai PMK No.222/PMK.07/2017, peruntukan atau penggunaan DBHCHT untuk mendanai program atau kegiatan  peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, dan pembinaan lingkungan sosial. Juga, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai ilegal. Selain itu, 50% dari alokasi DBHCHT untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional.

Menurut Mahsar, sudah jelas dari peraturan itu dana sebesar-besarnya untuk petani, terutama petani tembakau. Saat petani selatan Lombok, sebagian besar petani tembakau terdampak kekeringan, sangat kecil bantuan mereka rasakan.

“Petani sampai harus membeli air,’’ katanya.

 

Keterangan foto utama: Seorang warga melintas di bekas jalan desa yang ditenggelamkan bendungan Pandan Duri. Di belakangnya terlihat beberapa bangunan bekas perkampungan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version