Mongabay.co.id

Pa’totiboyongan, Ritual Tanam Padi Orang Mamasa di Rantetarima

Perempuan Rantetarima menanam padi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Nurma, bersama dua perempuan lain tengah menanam padi di sepetak sawah. Kaki mereka tenggelam lumpur setinggi lutut. Tangan mereka begitu cekatan, menancap benih padi dengan simetris.

“Kalau laki-laki, ini pasti lama,” kata ibu berusia sekitar 40 tahunan itu. Dia tertawa. “Mau coba tanam?” ajak Nurma.

Hari itu, 24 Oktober, giliran sawah milik iparnya, Bombing, yang dia tanami. Sehari sebelumnya, mereka menanam di sawah kepala desa, Toris.

Bombing dan Toris, punya hubungan keluarga dekat.

Saya bertemu dengan Nurma, jelang siang. Terik matahari kala itu belum menyengat kulit. Udara segar dan dingin. Para perempuan melilit kain di kepala, Nurma, memakai topi jerami. “Sebentar siang itu panas sekali,” katanya.

Letak sawah Bombing berada di teras gunung. Cukup tinggi. Untuk sampai ke sana, saya melewati jalur kecil yang kerap dipakai warga ke kebun. Jalan itu melewati pematang sawah, pemukiman, dan mendaki bukit.

Kanan kiri, depan dan belakang sawah milik Bombing, tampak pepohonan rindang. Pemandangan berbeda bila berada di sawah bagian lembah.

Saat tiba di Rantetarima, desa yang jadi tempat hidup Nurma, rangkaian Pa’totiboyongan, memasuki tahap mantanan–bahasa lokal berarti menanam.

Rantetarima, desa terletak di lembah gunung. Akses jalan ke sana cukup rusak. Orang-orang di sini, hidup bersama alam sejak lama. Sekitar 97% penduduk desa di Kecamatan Bambang, Mamasa, adalah penghayat kepercayaan Mapurondo.

Pa’totiboyongan adalah, serangkaian ritual menanam padi yang sejak dulu kala, dilakukan orang Mamasa. Pa’totiboyongan, juga salah satu dari empat ritus adat (Pemali Appa’ Randanna) yang menjadi aturan hidup bagi orang Mamasa.

Selain Pa’totiboyongan, tiga ritual lain, Pa’bannetauan, yang mengatur soal perkawinan dan kelahiran, Kaparrisan tentang nazar dan kesyukuran, dan Pa’tomatean soal bagaimana tata cara ritual penguburan. Bila dihitung, seluruh syarat dan tata cara dari keempat ritual tadi, ada 7.777 butir.

Di Rantetarima, Pa’totiboyongan mulai sejak akhir Agustus lalu. Ritual ini dibuka rapat para pemangku adat. Dulu, menanam padi akan dipimpin So’bok, seorang imam Pa’totiboyongan. Di Rantetarima, jabatan ini kini beralih ke tangan kepala adat, sejak keturunan So’bok tak lagi ada.

Rapat ini, melahirkan sebuah pengumuman. Kepala adat akan mengimbau ke warga, bahwa Pa’totiboyongan, segera dimulai. Kerbau lalu masuk kandang. Warga bersiap.

 

Suasana lembah di Desa Rantetarima . Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Sampai rangkaian usai, warga tak boleh menghelat ritual perkawinan. Bila, warga mangkat, Pa’totiboyongan dihentikan sementara.

Prosesi diawali kepala adat membajak sawah lebih dulu. Setelah itu warga mulai umbatta litak–membajak tanah–di sawah mereka masing-masing. Membajak hanya memakai cangkul, bukan mesin traktor maupun tenaga binatang.

Proses membajak pun berjenjang. Warga memulai dari bawah. Mula-mula warga, bajak sawah di lembah. Tahap ini bisa makan waktu dua bulan–dan punya banyak tahapan–sampai proses bajak di sawah di teras gunung.

Setelah umbatta litak, biasa kaum pria, menabur benih (mangngambok). Di Rantetarima, warga memakai dua jenis benih, pembagian pemerintah dan benih lokal yang sejak dulu mereka budidaya. Benih lokal ini, ada tiga macam: merah, hitam, dan putih.

Benih pun tak terasa tumbuh, menghijau, dan siap tanam.

Jelang subuh, Bombing, melakukan ritual di rumahnya, sebelum ke sawah. Nurma dan perempuan lain harus tiba di sawah sebelum pukul 07.00. Pagi buta, dengan terpaan udara dingin, mereka sudah jalan dengan membawa bekal.

Di gubuk tengah sawah, saya berbincang dengan Bombing. Nurma asyik menanam. Bombing bilang, proses tanam hanya perlu sehari. Esok hingga masa panen, lain soal dan ritual berbeda pula.

“Kenapa om, tidak bantu tante menanam?” tanya saya penasaran.

“Kita [laki-laki] itu pekerjaan yang kasar saja. Membajak, membersihkan parit, kuras air, sama pas panen. Kalau ini [menanam] perempuan. Itu dari dulu. Laki-laki boleh juga menanam,” katanya, seraya bilang, kalau laki-laki yang menanam kemungkinan lebih lambat, kalah lincah dengan perempuan.

 

Beras dari bibit lokal. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Merawat kesuburan

Di sela bajakan sawah, kesuburan tanah tak luput dari perhatian. Bombing bilang, pertumbuhan padi kelak bakal bergantung pada tahap ini.

Sawah milik dia, tak pernah memakai racun kimia. Begitu juga kebanyakan sawah di Rantetarima. “Ada yang pakai racun semprot, tapi sedikit sekali,” kata bapak dua anak itu.

Sebagai pupuk, Bombing hanya memanfaatkan rerumputan liar yang tumbuh sekitar pematang sawah, yang dia timbun dengan lumpur sampai membusuk. “Semacam fermentasi.” katanya.

“Jadi lebih murah juga nanti. Tidak beli lagi pupuk.”

Membuat pupuk alami seperti itu, katanya, masuk dalam rangkaian umbatta litak. Langkah pertama, disebut makbungkak, di sini Bombing, menimbun rumput dengan lumpur, lalu menempelkan ke dinding parit.

Selanjutnya, Manese. Tahap ini, Bombing mencabut rerumputan liar di pematang, lalu membuang ke sawah. Bercampur lumpur, rumput kelak, bakal berfungsi jadi pupuk.

Lalu, kata Bombing, mantepo, yaitu, memotong rumput-rumput (gulma) di parit sawah agar padi tumbuh subur.

Sebagian besar di Mamasa, termasuk Rantetarima, di tengah sawah ada lubang berdiameter dua hingga tiga meter. Ternyata, ini tempat hidup ikan tawar.

Saat Toris mengajak saya ke sawah, dia menjelaskan, fungsi kolam itu. Di kolam itu, hidup belasan ikan janggut, nila, dan mas berukuran sedang. Kedalaman setara pinggang orang dewasa. Ia punya pintu mirip pagar bambu.

“Jadi, kalau sawah tergenang air, ini ikan keluar sendiri cari cacing di dalam tanah–biasa juga makan serangga. Kalau sudah begitu, tanah jadi gembur,” kata Toris, sambil menangkap ikan buat menu makan siang kami.

“Terus, kalau airnya dikuras?”

“Masuk sendiri ikan ke kolam. Ikan kan kayak punya perasaan. Kalau rasa ada air di sawah, itu keluar cari makan. Kalau mulai rasa kering di sawah, pasti masuk sendiri ke kolam. Itu kenapa pintunya dibikin seperti itu,” kata Toris.

Toris bilang, sawah haram merusak ekosistem. Binatang yang ada, harus hidup sealami mungkin. Penggunaan racun kimia berlebih, katanya, bisa merusak. Dia akui, membiarkan tikus juga berakibat fatal.

Karena tak ingin pakai zat kimia, Toris, Bombing, dan penduduk lain, memasang perangkap tikus tradisional. Alat itu, terbuat dari sebatang kayu, dan bambu sepanjang 30 centimeter. Ia diikat bersama seutas ban dalam dan tali.

“Kalau pakai racun, bahaya. Sawah yang di bawah juga kena, karena air yang dipakai ada satu sumber. Lebih bahaya kalau terkontaminasi dengan padi. Padahal, itu nanti yang dimakan,” kata Bombing.

 

Nurma, saat menanam padi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Memikat berkah sang penjaga belantara

Tambanok, Kepala Adat Rantetarima, tiba-tiba duduk. Sebelumnya, pria kelahiran Desa Saludengen 80 tahun silam itu membaringkan diri. Tiga pekan sudah, Tambanok, jatuh sakit.

“Apa yang mau ditanya?” katanya, setelah bercakap dengan Toris dalam bahasa daerah.

Pelan-pelan dia menyimak tiap pertanyaan. Meski Tambanok mengaku pikun, ingatan masih terbilang rapi.

Saya tanya, apa makna hutan itu bagi orang Rantetarima, yang masih memeluk kepercayaan Mapurondo.

“Hutan itu punya pupuk untuk padi dan kebun-kebun. Itu kenapa, hutan penting,” katanya.

“Kalau hutan itu dirusak?”

Ampurajang (dewa penjaga hutan) akan marah,” jawab Tambanok.

Dalam kepercayaan Mapurondo, merusak alam adalah ingkar terhadap dewa-dewa bumi yang menjaga belantara. Penghayat di Rantetarima, masih memegang kuat tallu loronna (tiga konsepsi hidup) yang atur perihal hubungan mereka terhadap Tuhan, manusia, dan alam.

Risiko merusak alam, bagi orang Rantetarima, selain mendapat dosa, juga membawa pengaruh buruk terhadap kebun. Selain padi, warga di sini juga bercocok tanam komoditas lain, seperti kakao dan kopi. Dua komoditas penting ini, sebagai sumber ekonomi.

Tambanok bilang, orang Rantetarima, tak boleh tidak wajib melestarikan alam. Mereka merawat alam dan memanfaatkan hutan secukupnya, tak mencemari sungai, dan tak sembarang membuka lahan.

Orang Rantetarima, katanya, juga tak boleh membuat kampung dan kebun di puncak gunung. Sebisa mungkin, kawasan itu jauh dari sentuhan tangan.

Mereka percaya, di puncak itu tempat paling disenangi Ampurajang. Kala Ampurajang marah karena terusik, berkat dari belantara tak bakal mereka peroleh. Segala urusan hidup dan pertanian, katanya, akan mendapat banyak cobaan. Mimpi buruknya, gagal panen. Inilah yang mereka yakini dan jadi pengetahuan ekologi tradisional.

“Itu harus beri persembahan lagi, sebagai penebusan. Biasa babi atau ayam,” kata Tambanok.

 

 

***

Pare, adalah sebutan lokal padi. Sedang totiboyong, merujuk pada sosok dewa yang punya sifat-sifat keibuan. Dia adalah dewa padi.

Kees Buijs, dalam Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit, bilang, Totiboyong, merupakan dewa yang mengontrol kawasan tiboyong. Kawasan itu, tulis Baus–nama akrab Kees di Mamasa, melingkupi seluruh daerah di mana padi tumbuh, termasuk hutan dan gunung-gunung yang menyediakan air untuk persawahan.

Sama yang ditulis Kees, orang Rantetarima, yakin, Totiboyong berdiam di atas gunung, di suatu daerah yang terhubung dengan hulu sungai, tempat air membawa kesuburan berasal dari belantara.

Bagi Bombing, menanam padi, seperti menghibur Totiboyong agar senang. Wargapun akan mengawasi ketat tiap pertumbuhan padinya.

“Kalau ada rumput, kita bersihkan. Dirawat seperti anak perempuan, dari bentuk benih, sampai masuk lumbung. Harus dimanja,” kata Bombing. “Itu supaya senang Totiboyong.

 

Lanskap kampung tua Saludengen dan Rantetarima. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Waktu lampau, saat menanam, para perempuan akan mendendangkan kidung yang memiliki 24 syair, sambil menari. Di sela itu, mereka mengajak laki-laki turun ke sawah dan bergembira bersama di sawah. Ini disebut sebagai, ma’dondi.

Seiring waktu, ma’dondi tak dilakukan lagi. Di Rantetarima, juga tidak. Saya berusaha mencari warga yang pernah melakukan, namun, tak satupun mengaku pernah ikut, atau paling tidak melihat.

Menurut Kees, alasan ma’dondi tak dilakukan karena ada praktik di dalamnya dilarang di masa kekinian. Tentu, dengan mengajak laki-laki–bukan suami, atau anak–akan memicu cemburu.

“Setiap orang setuju, permainan yang dimainkan dalam ma’dondi…. akan bertentangan dengan tingkah laku sepantas, yang diharapkan masyarakat,” tulis Kees.

Namun, Edward Norbeck, antropolog terkemuka pernah mengamati tradisi agama orang Toraja dalam Religion in Human Life (1988), termasuk ma’dondi ini. Dia berpendapat, fungsi penting dari tatacara ini, adalah upaya pendramatisiran peristiwa yang sedang berlangsung.

Menurut Edward, permainan demikian mempunyai arti, hubungan antara kuasa-kuasa berkat langit dan bumi, diperlukan untuk kesuburan, yang disimbolkan oleh permainan laki-laki dan perempuan di sawah.

Analisa Kees, terhadap syair pemujian hulu sungai dalam kidung ma’dond, pertemuan laki-laki dan perempuan di sawah, serupa sebuah perkawinan, di mana kesuburan dipertalikan. Ia sebagai simbol pertautan berkat langit–asal padi–dan bumi, tempat padi tumbuh.

Perempuan dan laki-laki dalam ma’dondi, kata Kees, merupakan penggambaran simbolik hubungan ini, hingga memelihara dan meningkatkan kesuburan padi.

Simbolisasi tentang perkawinan itu diperjelas ketika laki-laki membawa pangngan (pinang kunyah terbuat dari campuran pinang, daun sirih, kapur, dan sejenis pemerah) kepada perempuan di sawah.

“Dengan cara meniru kegiatan seksual berupa permainan yang diperagakan di persawahan itu sebagai tempat kesuburan diharapkan mengasilkan hasil panen melimpah.”

 

***

Beberapa bulan kedepan, Bombing, Toris, Nurma, dan orang-orang Rantetarima, menanti masa panen (mepare).

Saat padi mulai mendekati panen, buah akan menyemburkan aroma wangi. Saat ini, warga terlebih dahulu ritual sambut padi atau, ma’tammu pare. Mereka akan menyembelih tiga ayam. Seekor buat bulir-bulir padi yang sedang tumbuh. Seekor, untuk melawan hama serangga dan binatang, dan seekor terakhir untuk menangkal roh-roh jahat yang dituding merusak padi. Panen sekitar April.

Pada saat panen, serangkaian ritual, kata Toris, bisa sampai sebulan, sampai padi masuk ke lumbung. Semua orang bersuka cita. Sanak kerabat dan keluarga dari desa lain, datang dan bergembira bersama.

Dalam mepare, setidaknya ada tiga tahapan. Pertama, ma’karingngi. Orang-orang mengolah buah padi pertama secara khusus. Di sini, seluruh penduduk dan tamu memakannya dengan penuh suka cita.

Kedua, ma’tarade, orang-orang mengikat padi, lalu menggantung di tempat jemur. Ketiga, mantungka, sebelum masuk ke lumbung, orang-orang lebih dulu harus menyembelih satu ayam dan menyimpan di lumbung. Setelah padi tersimpan, barulah pesta panen dimulai.

Dengan memanjatkan syukur terhadap To Metampa, sang Pencipta dan dewa-dewa yang telah memberkati mereka.

Beras-beras yang ditanam melalui proses ritual ketat itu, tak mereka perjualbelikan, hanya buat konsumsi warga.

 

Keterangan foto utama:  Perempuan Rantetarima menanam padi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version