Mongabay.co.id

Jejak Maleo di Tanjung Matop, Hidup di Alam hingga Perusahaan [Bagian 1]

 

 

Kamis yang terik, 8 Agustus 2019. Mansur Yasong bergegas mendorong perahu. Rekannya Suleman Gobel, bersiap menghidupkan mesin ketinting yang menempel di buritan. Keduanya adalah penjaga habitat burung maleo di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Kabupaten Toli-Toli. Setiap hari mereka membantu Thamrin Latery, Kepala Resort Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sulawesi Tengah, di pesisir Tanjung Matop.

Jarak Desa Pinjan ke Tanjung Matop, tempat maleo bertelur sekitar 20 menit menggunakan perahu. Di sini ada pos jaga, tempat penetasan telur, dan juga penangkaran. Tidak jauh dari tempat itu, sekira 500-an meter terlihat lubang-lubang pasir maleo bertelur.

Mansur yang berusia 70-an tahun, sejak 1985 sudah menjadi penggali telur maleo. Itu adalah tahun yang sama dengan Thamrin Latery, pertama kali ditugaskan di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop hingga kemudian menjadi kepala resort. Sedang Suleman yang 50 tahun itu, baru bergabung di 2012, sebagai penjaga habitat maleo.

Setiap hari mereka menggali telur dan memindahkan ke tempat penetasan. Jika sudah menetas, anakan maleo dipindahkan ke penangkaran. Mansur dan Suleman memberi makan buah kemiri dan buah kelapa pada anakan maleo hingga umurnya 1-2 bulan. Lalu dilepas ke hutan Tanjung Matop.

Baca: Mansur Yasong, Penjaga Habitat Maleo di Tanjung Matop

 

Maleo, burung khas Sulawesi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hari itu, di tempat penangkaran 4X7 meter ada 64 anakan maleo. Selang beberapa jam, ada telur maleo menetas. Suleman segera memindahkan piyik yang berhasil menembus timbunan pasir satu meter itu ke penangkaran. Malam hari, telur maleo kembali menetas. Jumlahnya pun bertambah.

“Setiap tahun, rata-rata 600 hingga 700 butir telur maleo kami tetaskan di sini,” kata Mansur yang diamini Suleman.

Maleo senkawor [Macrocephalon maleo] merupakan burung berstatus Genting [Endangered/EN] berdasarkan Daftar Merah IUCN [International Union for Conservation Nature], badan konservasi internasional, dan juga terdaftar juga dalam Cites Appendiks I.

Pesisir Tanjung Matop adalah satu lokasi terbaik peneluran telur maleo yang puncaknya Mei, Juni, dan Juli, dan menurun di Agustus. Dalam catatan Suleman, hingga Agustus 2019, tercatat 660 butir telur berada di penetasan.

Thamrin Latery bersama Mansur pun aktif memberikan penyadaran kepada masyarakat sekitar, pentingnya menjaga maleo. Perlahan, kesadaran masyarakat mulai terlihat dengan berkurangnya jerat penangkap, selain menurunnya perburuan telur untuk dikonsumsi.

 

Maleo merupakan burung berstatus Genting [Endangered/EN] berdasarkan Daftar Merah IUCN. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Puluhan tahun menjaga pelestarian maleo di Tanjung Matop, Thamrin mengaku berada pada satu titik kekecewaan. Ini karena anakan maleo hasil kerja keras mereka dibawa keluar, untuk dilepas bersama perusahaan di tempat lain. Hal itu bermula dari perintah atasannya melalui telepon. Namun Thamrin enggan menyebut nama pemberi instruksi itu

“Saya diminta untuk mengirim anakan maleo ke Luwuk di Kabupaten Banggai, yang akan dilepas di hutan Bakiriang untuk acara perusahaan,” kata Thamrin di rumahnya di Desa Pinjan, Toli-Toli Utara.

Permintaan anakan maleo itu terjadi pada 2017 dan 2018. Kepala desa yang mengetahui perintah itu mempertanyakan sekaligus melarang Thamrin. Namun menurutnya karena perintah atasan, mau tidak mau ia harus melaksanakan dan membuat suatu alasan agar kepala desa menerima.

Saat pertama kali mengirim anakan maleo, mereka memakai mobil rental. Anakan maleo umur 1-2 bulan itu diletakkan di bagian belakang mobil menggunakan styrofoam bekas pembungkus kulkas. Permintaan 60 ekor itu dilebihkan dua pasang. Total 64 individu. Yang berangkat ketika itu adalah Thamrin sendiri, ditemani Mansur dan Suleman Gobel, serta seorang sopir.

“Tujuannya ke Kota Luwuk di Kabupaten Banggai. Tapi karena jaraknya jauh, kami hanya membawa anakan maleo sampai Palu saja,” tambah Suleman.

 

Maleo disebut macrocephalon atau si kepala besar. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Jarak dari Desa Pinjan ke Kota Toli-Toli sekira 2 jam. Sementara dari Kota Toli-Toli ke Kota Palu, waktu normal hingga 10-12 jam. Waktu yang sama juga bisa ditempuh dari Kota Palu ke Kota Luwuk, Banggai. Anakan maleo itu diberi kepada salah seorang pegawai BKSDA di rumahnya di Kota Palu.

Thamrin mengira perintah itu akan berhenti. Ternyata di 2018, perintah yang sama ia terima. Suara telepon dari seberang meminta ia mengirimkan 30 anakan maleo dengan tujuan serupa.

“Saya iyakan. Tapi kali ini saya putuskan untuk tidak ikut mengantar.”

Thamrin memerintahkan Suleman membawa anakan maleo itu ke Palu, bersama sopir mobil rental. Setelah berangkat sekitar jam 10.00-an pagi dari Desa Pinjan, keduanya memutuskan istirahat siang di Kota Toli-Toli sambil minum kopi. Mobil diparkir dengan jendela tertutup, saat cuaca terik-teriknya.

“Sekitar satu jam kami istirahat, saya balik ke mobil untuk periksa anakan maleo. Saya kaget, 15 ekor mati,” kata Suleman.

Sempat panik, Suleman menelepon Thamrin dan menceritakan kejadian itu sembari menunggu perintah lanjutan. Thamrin menghubungi atasannya di Palu dan menanyakan langkah apa yang harus diambil.

“Suruh mereka balik dan ganti lagi anakan maleo yang mati,” kata Thamrin meniru perintah atasannya.

 

Mansur Yasong memperlihatkan telur maleo yang ia dapatkan di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Setelah itu, telur-telur dibawa ke tempat penetasan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Anak laki-laki Mansur bernama Kivlan ditugaskan mengambil 15 anakan maleo di penangkaran sebagai pengganti. Namun karena siang hari dan air laut surut, Kivlan harus dua jam jalan kaki ke pesisir Tanjung Matop. Setelah selesai, giliran Suleman yang berangkat ke Palu, menyerahkan permintaan itu. Menurut mereka, tidak ada berita acara untuk penyerahan tersebut.

“Tahun 2019 tidak ada lagi permintaan,” kata Thamrin.

Ia menduga, tidak ada lagi pesanan karena sudah ketahuan. Thamrin menyebut, suatu waktu seorang pejabat dari Kementerian Desa berkunjung ke Desa Pinjan. Ia menceritakan kekecewaannya tentang permintaan anakan maleo itu dan meminta untuk menyampaikan ke Direktorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.

“Dugaan saya karena sudah ada teguran sehingga tidak ada lagi permintaan,” ujarnya.

 

Suleman Gobel memperlihatkan anakan maleo yang baru menetas di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Setelah itu, dipindahkan ke tempat penangkaran dan tidak lama kemudia dilepas ke alam bebas. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Konservasi Ex Situ

Untuk mencari kebenaran informasi yang disampaikan Thamrin Latery, Mongabay Indonesia mendatangi Kota Luwuk di Kabupaten Banggai. Saat ini perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility [CSR] atau tanggung jawab sosial perusahaan untuk pelestarian burung maleo hanya ada dua, PT. Donggi Senoro Liquefied Natural Gas atau disingkat PT. Donggi Senoro LNG dan PT. Panca Amara Utama.

Lingkup bisnis PT. Donggi Senoro LNG adalah mengolah gas alam menjadi gas alam cair. Berdasarkan laporannya, kilang PT. Donggi Senoro LNG berkapasitas produksi dua juta ton per tahun, hasil kerja sama PT. Pertamina [Persero], PT. Medco Energi Internasional Tbk, Mitsubishi Corporation, dan Korea Gas Corporation. Perusahaan ini menyebut kilangnya menjadi proyek pertama di Indonesia yang menggunakan skema hilir, memisahkan produksi gas di hulu dengan pengolahan gas alam cair di hilir.

Sementara PT. Panca Amara Utama adalah perusahaan amonia dengan kapasitas 700.000 metrik ton per tahun. Proyek senilai US Dolar 830 juta ini terbesar di Indonesia Timur dengan memanfaatkan gas lapangan yang dipasok Donggi Senoro bekerja sama dengan JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi.

Amonia adalah senyawa kimia yang digunakan dalam pembuatan pupuk dan produk petrokimia lainnya. Dua perusahaan ini letaknya di pesisir pantai Desa Uso Kecamatan Batui dan saling berdekatan. Selain itu, dalam upaya pelestarian maleo, keduanya memiliki penangkaran atau yang dikenal dengan sebutan konservasi ex situ, model konservasi satwa di luar habitat alaminya.

 

Maleo Center milik PT. Donggi Senoro LNG di pesisir Desa Uso Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pada 28 September 2019, Mongabay Indonesia berupaya membuat janji pertemuan dengan Media Relations Officer PT. Donggi Senoro LNG, Rahmat Azis, via WhatsApp, sekaligus ingin melihat langsung Maleo Center perusahaan ini. Rahmat menjawab ia perlu konsultasi dengan manajeman karena tempat konservasi itu tangah direnovasi. Setelah itu tak ada kabar lagi.

Salah seorang warga Batui, Abdi Waldi Meleto, menawarkan jasa kepada Mongabay Indonesia, mengajak melihat langsung Maleo Center milik PT. Donggi Senoro LNG. Lokasinya tepat di pesisir pantai samping pabrik PT. Donggi Senoro, hanya dipisahkan jalan aspal selebar 10 meter.

“Tempat itu terbuka untuk masyarakat. Petugas yang jaga maleo juga orang Batui,” kata Abdi.

Di tempat 2.000 meter persegi itu, terdapat maleo dewasa dengan usia rata-rata 4 tahun, sebanyak 16 ekor. 10 ekor dikumpulkan satu tempat dan sisanya dipisahkan. Selain itu, terdapat inkubator penetasan telur yang ternyata ada satu telut.

 

Telur maleo di inkubator Maleo Center, PT. Donggi Senoro LNG. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan siaran pers PT. Donggi Senoro LNG 25 April 2019, dijelaskan bahwa perusahaan tersebut melepasliarkan 17 ekor anakan maleo dalam rangka peringatan Hari Bumi yang sering diperingati setiap 22 April. Pelepasliaran dilakukan di Suaka Margasatwa Bakiriang Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai.

Anakan maleo itu disebut sebagai hasil konservasi ex situ yang dilakukan perusahaan sejak 2013. Keseluruhan, PT. Donggi Senoro telah melepasliarkan 85 anakan maleo hasil konservasi ex situ dari telur-telur sitaan yang diserahkan BKSDA Sulawesi Tengah.

Mongabay Indonesia berupaya kembali menghubungi PT. Donggi Senoro LNG via email melalui Shakuntala Sutoyo, Senior Manager Relations and Communication, mengkonfirmasi penjelasan Thamrin Latery, Kepala Resort Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop.

“Kami dapat jelaskan bahwa berangkat dari kerja sama kami dengan pihak BKSDA dan Tenaga Ahli Pak Mobius Tanari dari Universitas Tadulako, bahwa pada 2017 dan 2018 jumlah keseluruhan anakan yang dihasilkan dari fasilitas inkubator sebanyak 57 ekor,” jelas Shakuntala.

 

Maleo dewasa di konservasi ex situ PT Donggi Senoro LNG di pesisir Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia pun bertemu Koordinator Lapangan Maleo Konservasi PT. Panca Amara Utama, Herman Tope, di Kota Luwuk.

Konservasi maleo ex situ di perusahaan amonia ini berdiri sejak 2016, sudah lima kali melepasliarkan anakan maleo: dua kali di Lowa, sebuah tempat keramat masyarakat adat Batui, dan sisanya di hutan Bakiriang. Saat pelepasan, mereka melibatkan perwakilan BKSDA dan dinas terkait dari pemerintah daerah setempat.

“Dalam catatan saya pelepasan di 2016 [20 ekor], 2017 [30 ekor], 2018 [35 ekor], serta 2019 dua kali pelepasan. Pertama 30 ekor dan berikutnya 40 ekor,” ungkap Herman.

Menurutnya, konservasi maleo ex situ di PT. Panca Amara Utama sama dengan apa yang dilakukan PT. Donggi Senoro LNG, karena penanggung awabnya adalah Mobius Tanari, dosen dan peneliti dari Universitas Tadulako, Palu. Bahkan katanya, pernah dalam pelepasan anakan maleo oleh PT. Donggi Senoro LNG tidak memenuhi kuota, maka dipasok dari konservasi ex situ milik PT. Panca Amara utama.

“Misalkan PT. Donggi Senoro LNG butuh 30 ekor anakan maleo dan tidak mencukupi, maka akan diberi atas persetujuan dari Pak Mobius Tanari, dan tentu saja lewat perusahaan. Tapi tidak banyak jumlahnya, biasanya 4 ekor,” ungkap Herman.

Terkait pelepasan anakan maleo oleh perusahaan PT. Donggi Senoro LNG, Herman Tope pada Jumat [8 November 2019], memberikan klarifikasi. Semula ia mengungkapkan, PT. Donggi Senoro LNG kekurangan anakan maleo dan dipasok dari PT. Panca Amara Utama. Setelah konfirmasi, dia menyatakan pihaknya tidak pernah memberikan anakan maleo.

“Itu milik sendiri [PT. Donggi Senoro LNG]. Pernah satu kali dibawa dari Luwuk dan singgah di PT. Panca Amara Utama karena kondisi kandang perusahaan waktu itu tidak memungkinkan,” tuturnya.

Herman juga membantah, anakan maleo yang dilepaskan perusahaan itu diambil dari Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. [Bersambung]

 

*Catatan: tulisan ini telah ditambahkan informasinya tanpa mengurangi isi keseluruhan

 

 

Exit mobile version