- Kekayaan dan keindahan sumber daya alam termasuk biota laut Kepulauan Banda, Provinsi Maluku terancam oleh abrasi pesisir karena masifnya pengambilan pasir pantai untuk bahan bangunan oleh masyarakat setempat dalam beberapa tahun terakhir
- Untuk mengatasinya, Pengelola Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda mempunyai program pembangunan rumah ramah lingkungan berupa rumah bambu
- Kelompok Kreatif Anak Banda (KKAB) di Desa Kampung Baru, Pulau Banda mempunyai program pemberdayaan masyarakat melalui daur lang sampah menjadi barang ekonomis.
- Program itu berhasil meningkatkan perekonomian warga dengan menambah penghasilan sampai Rp9 juta per bulan saat musim wisatawan ramai.
Kepulauan Banda, di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, kaya akan sumber daya alamnya. Terutama keindahan pesisir dan keanekaragaman hayati laut seperti berbagai macam ikan, biota laut dan terumbu karang.
Selain keanekaragaman hayati laut, Kepulauan Banda yang terdiri dari 11 pulau vulkanis seperti Pulau Banda Besar, Run, Ay dan Nailaka memiliki beragam destinasi wisata dan koleksi situs sejarahnya. Lantaran kekayaan dan keindahan alamnya, pulau ini menarik banyak investor dan wisatawan baik lokal maupun manca negara untuk datang ke sana.
Akan tetapi, keindahan dan kekayaan alam itu terancam oleh abrasi pantai di beberapa pulaunya, terutama di Banda Neira, pusat administrasi Kecamatan Banda. Abrasi terjadi karena masyarakat setempat secara masif mengeruk pasir pantai untuk bahan bangunan yang dilakukan beberapa tahun terakhir.
Abrasi pantai yang terjadi perlahan setiap tahun, justru mengancam keberadaan pemukiman dan kehidupan penduduk di Kepulauan Banda. Hal tersebut diungkapkan Sri Rahayu Mansur, Pengelola Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda, kepada Mongabay Indonesia, di Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu (2/11/2019).
“Akan terjadi abrasi jika sering angkut pasir. Misalnya yang terjadi di Desa Tanah Rata, (pantainya) akhirnya abrasi, bahkan jalan penghubung mulai patah,” ungkapnya.
baca : Abrasi Pesisir Terjadi, Apakah Mengancam Kedaulatan Negara?
Selain itu, juga masalah sampah yang dibuang sembarangan di pesisir pantai dan ke laut, dalam jangka panjang akan merusak biota laut seperti terumbu karang.
Sri mengakui sulit mengubah pola pikir masyarakat. Butuh sosialisasi yang intens dari semua pihak untuk penyadartahuan agar mereka mau menjaga wilayah ini.
Salah satu cara membatasi pengerukan pasir pantai untuk mencegah terjadinya abrasi, Pengelola TWP Laut Banda menawarkan program pembuatan rumah ramah lingkungan berupa rumah bambu sebagai pengganti rumah tembok permanen di Pulau Banda.
Sri mengatakan telah ada beberapa desa yang bersedia untuk bekerjasama dengan Pengelola TWP Laut Banda untuk membuat rumah bambu.
Awalnya masyarakat menolak mendirikan rumah bambu karena cepat rusak. Namun pihaknya meyakinkan rumah bambu adalah solusi menyelamatkan setiap orang dari bencana, sehingga masyarakat mau menerimanya.
“Kita bilang ke masyarakat, rumah bambu selain menghindari manusia dari bencana juga sebagai tujuan wisata. Isunya kita giring ke sana agar masyarakat mau mendirikan rumah bambu,” katanya.
baca juga : Bambu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Sepi Peminat
Guna meyakinkan masyarakat, TWP mendatangkan pakar rumah bambu dari Yogyakarta, memberikan pemahaman dampak pentingnya bangunan rumah bambu. “Alhasil mereka mau,” katanya.
Program rumah bambu yang berjalan dibuat dengan konten lebih modern ini, lanjut Sri, merupakan cara Pengelola TWP mengembalikan kearifan lokal yang sudah lama hilang dari budaya masyarakat Pulau Banda.
Awalnya, program rumah bambu bakal dibangun dari gaba-gaba (semacam pohon sagu), namun tidak ada pohonnya di Pulau Banda. Jika dibawa dari Ambon, butuh anggaran besar. Sehingga program diubah menjadi rumah bambu.
“Awalnya kita ingin rumah gaba-gaba. Saya kira bangunan-bangunan seperti itu harus kita kembalikan lagi dengan gaya modern. Dengan begitu, pasir, terumbu karang akan terjaga dengan baik,” ujarnya.
Sri mengatakan Pengelola TWP juga mengikuti program leadership yang diselenggarakan oleh Coral Triangle Center (CTC) untuk bisa mengadvokasi upaya penanggulangan penambangan pasir dan karang.
Dia berharap, masyarakat Pulau Banda peduli terhadap lingkungan sekitar baik di laut maupun darat. “Kalau tidak dari sekarang kapan lagi,” harapnya.
Program kampanye dan sosialisasi TWP itu dibantu berbagai pihak, seperti dari lembaga Coral Triangle Center (CTC) terkait konservasi laut. “CTC adalah mitra yang mendorong serta membantu kami dalam setiap proses konservasi,” lanjut Sri.
menarik dibaca : Menikmati Banda Neira: Dari Pala hingga Biota Lautnya
Kelompok Pengolah Sampah
Agar menjaga Pulau Banda tetap asri, komunitas lain seperti Kelompok Kreatif Anak Banda (KKAB) di Desa Kampung Baru, yang memungut sampah plastik dari laut dan perkampungan sekitar. Kemudian diolah menjadi barang bernilai ekonomis, seperti dompet dan keranjang.
“Sampah dari laut banyak yang harus dipilah, karena tidak semua sampah plastik. Kebanyakan sampah seperti popok makanya tidak bisa kita daur ulang,” kata Magatira Ali, Ketua KKAB kepada Mongabay Indonesia (3/11/2019)
Mereka juga melakukan edukasi ke delapan kampung yang menjadi desa binaan KKAB. “Sampahnya terlalu banyak jadi kita edukasi warga agar mau memanfaatkan sampah menjadi bahan bernilai ekonomi,” katanya.
KKAB yang disupport oleh TWP, Dinas Perikanan Maluku Tengah dan beberapa lembaga lain, juga punya program bersih laut dengan menugaskan 29 anggotanya ke beberapa tempat. “Mereka ini kita sebar untuk menjaga laut dan pesisir pantai,” katanya.
Dompet dan keranjang hasil daur ulang sampah dijual tidak hanya di Pulau Banda, juga diekspor ke Jerman. KKAB juga sedang mencari jaringan produksi sampah ke negara lain.
Penjualan produk daur ulang sampah, kata Ali, berhasil membantu perekonomian warga. Bahkan ada warga yang berhasil menyekolahkan anaknya. Dalam sebulan, bisa mendapatkan penghasilan sampai Rp9.000.000. “Penghasilnnya tidak menentu, tergantung ramainya wisatawan berkunjung ke Banda,” katanya.
perlu baca : Kertas Unik Berbahan Sampah dan Sagu dari Maluku
Sedangkan Usmiaty Usman, Ketua Recycling mengatakan bisa memproduksi lima hingga enam dompet atau keranjang, tergantung bahan sampah yang dipungut. Mereka menjual buah dompet mulai Rp80.000 hingga Rp350.000, tergantung jenis dan ukurannya. Sementara keranjang dijual seharga Rp100.000.
Saat ini mereka intens memberikan penyadaran tentang sampah dan pelatihan daur ulang sampah agar lebih kreatif menghasilkan produk kepada masyarakat.
Arifawati Yanlean, seorang pengrajin mengaku, sampah-sampah yang recycling sudah bisa membantu kebutuhan sekolah anaknya. “Satu bulan saya bisa dapat Rp 500.000. Syukur, bisa bantu-bantu untuk biaya pendidikan anak,” katanya.
***
Keterangan foto utama : Ilustrasi. Rumah di luar kota Ende, Pulau Flores, NTT, yang berdinding gedeg. Rumah anyaman bambu lebih ramah lingkungan dan lebih aman dari gempa. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
***
Catatan redaksi : Artikel ini telah diperbaharui pada Senin (11/10/2019).