Mongabay.co.id

She Creates Change: Perempuan-perempuan di Balik Petisi Penyelamatan Lingkungan Hidup

Pendendara motor di Kota Palangkaraya harus memakai masker untuk melindungi diri agar tidak terpapar asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Avry P/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Tahun lalu, platform petisi change.org mencatat, petisi penyelamatan lingkungan hidup jadi paling populer di Indonesia. Banyak petisi digagas soal penyelamatan hutan, penolakan tambang, penggunaan energi bersih, perlindungan hewan dan primata serta pengelolaan sampah hingga fashion dan musik bertemakan lingkungan. Uniknya, petisi-petisi ini digagas perempuan-perempuan dari berbagai daerah di Indonesia.

Change kemudian mengumpulkan 20 perempuan pembuat petisi untuk membantu mereka menyusun dan kampanye lebih besar.

“Kita melihat trend memang tahun 2018 paling populer adalah petisi soal lingkungan. Ini paling dekat dan banyak yang peduli,” kata Desmarita Murni, Partnership Director Change.org saat She Creates Change, sebuah Green Camp digagas lembaga ini akhir bulan lalu di Cipanas, Jawa Barat.

Banyaknya petisi lingkungan digagas oleh perempuan menjadi perhatian bagi Change. Menurut catatan Change, saat ini pengguna media sosial lebih banyak laki-laki. Pembuat petisipun, menurut Desma, lebih banyak laki-laki.

“Karena itu, kita ingin membantu perempuan pembuat petisi ini untuk mengenali potensi diri, menggali dan memperkuat kampanye dari sisi keterampilan, menggunakan teknologi, berjejaring agar meraih pendukung terbanyak,” katanya.

Change lantas memilih 20 orang, dari 1.200an pendaftar untuk berkumpul dan mengikuti Green Camp. Mereka yang terpilih adalah yang telah memulai berbagai petisi di change.org.

Beberapa peserta adalah mereka yang membuat petisi penyelamatan hutan untuk melindungi lingkungan baik untuk hewan maupun perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan. Beberapa terkait gaya hidup dan hobi misal fashion dan musik.

Desma mencontohkan, Yuli Sugihartati, perempuan dari Blitar, Jawa Timur yang membuat satu unit instalasi biogas mengubah limbah kotoran sapi jadi sumber energi terbarukan pengganti listrik pada 2014.

Saat ini, sudah 17 biogas yang dia dampingi. Dia membawa energi dan penerangan setidaknya kepada 25 keluarga. Apa yang dilakukan Yuli tak hanya membuat lingkungan jadi lebih bersih dan tak ada lagi bau tak sedap dari kotoran sapi, juga membantu ibu rumah tangga hingga tak perlu lagi mencari kayu bakar atau mengeluarkan uang untuk membeli gas.

“Karena inisiasi dan pendampingan Yuli, hutan terselamatkan dan perempuan setempat punya waktu lebih banyak untuk keluarga.”

Kampanye dan usaha Yuli, bagi Change perlu dukungan lebih besar agar dapat menyasar kelompok lebih besar serta area lebih luas.

 

Sesi bebas, kelas membuat pembalut kain bersama salah seorang peserta, Westiani Agustin dari Bantul. Foto: Nurul Fitria

 

Ada juga Nurul Fitria, Alfonsa Jumkon Wayap, Tantia Shecilia, Sri Haryanti, Vivi Dwi Santi, Alifi Rehanun Nisya yang bikin petisi untuk menyelamatkan hutan di Riau, Kalimantan dan Papua. Masing-masing punya alasan dan target berbeda meski visinya satu, menyelamatkan hutan.

Nurul Fitria, atau akrab disapa Yaya, misal, mengagas petisi fokus pada penegakan hukum bagi perusahaan pembakar hutan di Riau. Pemicunya, sangat personal bagi Yaya. Saat kebakaran hutan terjadi 2015, seorang keponakan masih usia lima bulan meninggal dunia karena menderita infeksi saluran pernapasan.

Yaya, aktif di sebuah organisasi jaringan pemantau hutan Riau, Jikalahari. Saban hari Yaya disibukkan membuat desain grafis, rilis media dan video yang disebarkan melalui media sosial untuk advokasi dan pendidikan bagi publik tentang pentingnya penegakan hukum bagi korporasi pembakar hutan.

Kalau Yaya bergerak dengan desain grafis, Tantia Shecilia juga aktif di Eyes on the Forest di Raiu, juga kampanye lewat jalur podcast bernama Akar Gaharu. Targetnya, mengedukasi anak muda peduli dengan isu lingkungan.

Langkah lain ditempuh Sri Haryanti, yang bergiat bersama Gemawan, sebuah organisasi masyarakat sipil yang mendampingi masyarakat agar dapat mengakses hak kelola hutan lewat pemetaan partisipatif. Anti, begitu sapaannya, melibatkan masyarakat adat, pemerintah daerah dan desa.

Menurut dia, perempuan kerap jadi korban karena kerusakan lingkungan dan seringkali terlupakan dalam dalam proses pengambilan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam.

Sisi lain, bagi Vivi Dwi Santi, seorang dokter hewan adat Kalimantan Tengah, dan Alifi Rehanun Nisya, yang bergabung dengan HAkA Sumatera, perlindungan hutan penting bagi satwa liar seperti orangutan.

Alfonsa Jumkon Wayap, menggagas petisi penyelamatan hutan Papua karena investigasi tentang penebangan Hutan Adat Suku Moi di Sorong untuk pengembangan perkebunan sawit.

Fonsa menemukan, banyak janji perusahaan tak ditepati, hutan adat terus tegerus, sementara masyarakat asli makin sulit mencari hewan buruan dan sagu.

Cerita lain datang dari Adetya Pramandira, yang mengagas petisi mendesak pemerintah menjalankan reforma agrarian. Dera, yang pernah tinggal di Tumpang Pitu, Jawa Timur, melihat konflik agraria yang memakan korban, merampas ruang hidup masyarakat, mendikriminasi petani dan aktivis.

Dera bergabung dengan Front Nahdliyin untuk kedaulatan sumber daya alam dan aktif kampanye di media massa dan aksi. Dia mengajar di sekolah yang tergusur di Tambak Rejo, dan mendampingi petani Surokonto, Wetan yang terpidana-karena mempertahankan lahan garapannya- hingga mendapat grasi dari presiden.

Ada juga pendekatan kampanye Linda Nursanti dari Gresik, Jawa Timur, Mariane Imel dari NTT, Westiani Agustin dari Bantul, Wijatnika dari Depok, dan Camelia Jonathan dari Jakarta.

Linda membuat film “Lakardowo Mencari Keadilan” yang menceritakan perjuangan warga Lakardowo yang tercemar limbah B3.

Mariane menginiasasi gerakan #bongkarpasang yang mengajak publik melakukan reuse dengan mendonasikan pakaian mereka lalu ‘dipasangkan’ dengan pembeli yang mau memperpanjang masa pakai. Dana yang terkumpul dari program ini untuk membiayai kegiatan Children See Children Do, sebuah komunitas belajar bahasa Inggris untuk anak-anak di Kota Kupang.

 

Desmarita Murni, Partnership Director Change.org bersama Ayu Oktariani saat sesi sharing pengalaman kampanye mendorong agar obat Hepatitis C dimasukkan dalam oabt-obatan yang ditanggung dalam JKN. Foto: Nurul Fitria

 

Ada pula kampanye menggunakan pembalut kain yang digagas Westiani Agustin. Ani ingin berkontribusi mengurangi dampak pembalut kain sekali pakai bagi perempuan dan lingkungan. Dia menggagas usaha pembalut kain bernama @b.i.y.u.n.g, juga jadi media edukasi pentingnya perempuan peduli pada diri sendiri, kemanusiaan dan kepada bumi.

Wijatnika, kampanye isu lingkungan lewat bahan bacaan populer seperti teenlit, novel remaja dan komik percintaan. Cerita fiksi, katanya, pendekatan lebih ceria dan menyenangkan bagi anak muda. Melalui petisi, Nika ingin mendesak para pemimpin agama di Indonesia untuk dakwah penyelamatan lingkungan.

Sementara itu, musik adalah cara unik Camelia Jonathan, dalam menyalurkan kecintaan sekaligus mengedukasi publik tentang lingkungan. Merilis beberapa lagu dan video bertema lingkungan, CJ, panggilan akrabnya, memenangkan beberapa penghargaan.

“Audio dan visual adalah medium yang sangat kuat dalam menyampaikan pesan,” kata CJ.

Konten video dan musik terkait perubahan iklim mewarnai karya-karya CJ.

Petisi-petisi penyelamatan lahan dan emisi juga digagas perempuan asal Sumatera Barat, Uslaini, Fera Diana dari Jambi, Blandina Patty dari Jayapura, Jessica Novia dari Jakarta dan Fitri Novita asal Cilegon.

Sejak bertemu dengan komunitas ibu-ibu yang terpaksa harus menjadi pemulung batu bara di Sawahlunto karena tempat tinggal dikuasai perusahaan tambang, Uslaini tergerak untuk kampanye menolak izin tambang yang merusak lingkungan dan ruang hidup di Sumbar. Selain studi “Perempuan dan Batubara” untuk memahami latar belakang pilihan mata pencaharian masyarakat di sekitar tambang, dia juga membantu memetakan alternatif untuk mereka.

Hal lain yang jadi perhatian dan kampanye juga soal limbah berbahaya yang mengaliri daerah aliran sungai Batanghari karena tambang emas, batubara dan bijih besi. Dalam kampanye itu, Uslaini meminta Gubernur Sumatera Barat mencabut izin usaha tambang di hulu DAS Batanghari yang merusak lingkungan dan kesehatan warga.

Tak jauh dari Sumbar, Fera Diana dari Jambi, seorang fasilitator pendidikan tinggal berdampingan dengan Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi. Melihat dampak langsung pengambilan lahan oleh perusahaan di sekitar tempat tinggal SAD seperti penuruhan hasil hutan, tradisi tergerus.

Fera berkampanye agar pemerintah dapat mengatur kembali persyaratan penggunaan hutan untuk tanaman industri agar penggunaan lahan melibatkan masyarakat adat terpencil.

Kampanye di sekolah, media sosial dan masyarakat adat juga dilakukan Blandina Patty, yang punya mimpi agar satwa endemik seperti cenderawasih dapat dilindungi dan kawasan habitat jadi daerah ekowisata untuk mendukung ekonomi masyarakat lokal.

Dua anak muda lain, Jessica Novia dan Fitri Novita, fokus pada isu emisi dan kampanye untuk pengurangan emisi gas rumah kaca. Jessica bersama dua rekan, membuat perangkat Carbonethics untuk mengukur jejak karbon baik individu maupun perusahaan.

Komunitas yang kini sudah menjadi yayasan ini kemudian membantu perusahaan untuk menghitung jejak emisi.

Menurut Jessica, banyak masyarakat belum sadar tentang perubahan iklim dan bahayanya. Karena itu, pendidikan soal ini menjadi fokus kampanyenya. Dalam tiga tahun ke depan Jessica ingin membantu lebih banyak perusahaan menjadi carbon neutral dan banyak masyarakat mendapat manfaat dari upaya itu.

 

Penampilan musik dari Hutan itu Indonesia. Foto: Nurul Fitria

 

Fitri, yang kini aktif di Fossil Free Cilegon, juga punya misi meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap isu perubahan iklim dan energi terbarukan dengan menggerakan berbagai komunitas di berbagai kota.

Isu lain yang jadi fokus perempuan pembuat petisi ini adalah hubungan kerusakan lingkungan dan pencemaran, dengan disabilitas. Satu contoh, kampanye yang digagas Leni Febriati, Syalfitri dan Ilma Rivai.

Menurut Leni, pencemaran limbah pertambangan dan polusi udara karena kebakaran hutan berdampak buruk pada kehamilan ibu dan bayi. Untuk itu, penyandang disabilitas harus terlibat dalam upaya mencari solusi kasus kerusakan lingkungan.

Itu pula yang jadi semangat Ilma Rivai, penyandang disabilitas yang semangat menyuarakan perubahan untuk lingkungan inklusif dan bebas stigma.

Syalfitri, lewat inisiatif yang digerakkan ingin mengajak publik bertanggungjawab dan mulai berubah untuk menangani darurat sampah di Indonesia. Baginya, sampah bukan hanya tanggungjawab pemerintah namun tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi dan semua.

Dengan program She Creates Change ini, kata Desmarita, para perempuan pembuat perubahan ini kelak punya visi jelas, percaya pada kekuatan kolektif, bisa menajamkan keahlian dan keterampilan mereka. Juga, berpikir sistemik dan spesifik, serta terbuka untuk umpan balik.

“Dari strategi gerakan, taktik kampanye, riset isu, hingga menulis sesuatu yang dapat mengunggah siapapun yang membaca,” kata Desma.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan asap dan menggangu berbagai aspek, terutama kesehatan warga. Jutaam prang terdampak asap karhutla, dari menderita ISPA sampai meninggal dunia. Asap kebakaran hutan, salah satu isu yang muncul dalam petisi Change.org. Isu-isu lingkungan jadi topik populer di Change. Org, pada 2018, dengan pembuat para perempuan. Foto: Foto: Avry P/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version